Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tsunami dari <font color=#FF9900>Pengatur Proyek</font>

Lagi-lagi Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat lantaran suap. Akan merambat ke sejumlah anggota Dewan lainnya dan pejabat Departemen Perhubungan.

9 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM sudah larut ketika Honda Jazz milik Darmawati H. Dareho melintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Senin pekan lalu. Darmawati, pegawai Departemen Perhubungan, duduk di belakang sopir. Di sampingnya duduk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional, Abdul Hadi Djamal.

Saat mobil Darmawati melewati kolong jembatan layang Casablanca, tiba-tiba sebuah mobil Kijang menyalip dan berhenti di depannya. Sopir Darmawati langsung menginjak rem. Dalam hitungan detik, kendaraan Darmawati sudah terkurung lima mobil. Dari dalam mobil-mobil itu berhamburan belasan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi.

Di belakang Jazz bercat biru itu, secara otomatis, ikut pula tertahan mobil Nissan Terrano milik Abdul Hadi, yang hanya berisi sopir, yang membuntutinya. Tanpa menunggu, petugas memerintahkan Abdul Hadi, Darmawati, dan sopirnya keluar. Saat itu waktu di Jakarta sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Lalu lintas di jalan protokol Ibu Kota sudah sepi.

Sumber Tempo menceritakan, pengintaian terhadap Abdul Hadi dan Darmawati serta seorang pengusaha bernama Hontjo Kurniawan telah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Tapi baru Jumat dua pekan lalu mereka mulai dikuntit secara ”rapat” dan terus-menerus.

Rencananya, penangkapan akan dilakukan ketika tiga orang itu bertemu di Hotel Sultan, di kawasan Senayan. Tapi pertemuan dipindahkan ke Restoran Sari Kuring di Jalan Juanda di dekat Istana Negara, sekitar sepuluh kilometer dari Sultan. ”Mereka juga sempat berencana bertemu pada Jumat, 27 Februari, tapi batal,” ujar sumber Tempo itu.

Setelah bertemu di Sari Kuring, pukul empat sore Senin itu, Hontjo kembali ke apartemennya di Taman Anggrek, Jakarta Barat. Adapun Abdul Hadi dan Darmawati pergi berdua meninggalkan restoran. Lima mobil Komisi bergantian membuntuti dua orang tersebut. ”Dari restoran itu, keduanya keliling-keliling, hingga dihentikan di Jalan Sudirman itu,” kata sumber tersebut.

Di dalam mobil, petugas mendapati sebuah tas kulit cokelat berisi uang Rp 54,5 juta dan US$ 80 ribu. Setelah mobil digeledah lebih lanjut, di bawah jok depan didapati amplop berisi uang US$ 10 ribu. ”Bisa jadi uang itu disisihkan dulu sebelum transaksi di restoran,” kata sumber tersebut. Jika dikurskan, total nilai duit yang ditemukan dalam mobil Jazz biru itu sekitar Rp 1 miliar.

Berdasarkan keterangan dari Darmawati dan Abdul Hadi, malam itu juga petugas menciduk Hontjo di apartemennya. Keesokan harinya, petugas menggeledah apartemen itu, tapi tidak ada barang bukti yang diperoleh. Hontjo adalah Komisaris PT Kurniadjaya Wirabhakti, Surabaya. Menurut sumber Tempo di Departemen Perhubungan, pengusaha ini merupakan ”penguasa” proyek di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar menyatakan uang yang didapat di mobil itu diduga sebagai imbalan peran Abdul Hadi mengatur pemenang tender proyek. Proyek yang dimaksud adalah pengembangan pelabuhan dan bandar udara di sejumlah wilayah di kawasan timur Indonesia dengan nilai Rp 100 miliar. ”Nama programnya adalah lanjutan pengembangan fasilitas laut dan udara,” kata Antasari.

Setelah menjalani pemeriksaan hingga Selasa tengah malam pekan lalu, tiga orang itu ditetapkan sebagai tersangka. Abdul Hadi dan Hontjo dititipkan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sedangkan Darmawati dijebloskan ke Rumah Tahanan Pondok Bambu.

Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Pencegahan M. Jasin, saat diperiksa, Abdul Hadi mengaku uang itu berasal dari Hontjo, yang diberikan lewat Darmawati. Sebelumnya, Abdul Hadi juga mengaku pernah menerima sejumlah uang yang kemudian ia serahkan kepada Jhonny Allen, anggota Dewan dari Partai Demokrat. Tapi Jhonny membantah keterangan Abdul Hadi, meskipun keduanya sama-sama berada di Panitia Anggaran. ”Tidak semua proyek dibahas di panitia itu,” katanya kepada Eko Ari Wibowo dari Tempo.

Antasari memastikan semua pihak yang terlibat dalam kasus ini tidak akan lolos dari kejaran anak buahnya. ”Proses masih berlangsung,” katanya. Sumber Tempo di Komisi mengatakan kasus ini bakal melibatkan sejumlah nama dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Departemen Perhubungan. ”Tidak mungkin cuma tiga orang itu saja yang bermain. Kasus ini akan melebar,” katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bidang Penindakan Chandra M. Hamzah mengatakan suap tersebut merupakan imbalan untuk lobi pencairan dana stimulus Rp 100 miliar dalam proyek lanjutan pengembangan fasilitas laut dan udara di Indonesia timur. Ini terkait dengan posisi Abdul Hadi sebagai anggota Panitia Anggaran dari Komisi Perhubungan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai anggota Panitia, Abdul Hadi berwenang memutuskan alokasi dana stimulus bagi proyek-proyek yang diajukan. ”Uang itu untuk lobi supaya stimulus bisa dialokasikan ke proyek tertentu,” katanya.

Setelah diperiksa, Abdul Hadi mengatakan uang yang ditemukan di mobil itu bukan untuk dirinya, juga bukan untuk partai. Kuasa hukum Abdul Hadi, Heri Parani, mengatakan anggota Fraksi Amanat Nasional itu hanya sebagai broker. Tapi, siapa yang akan diberi, Heri tutup mulut.

Direktur Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Sunaryo mengatakan proyek yang melibatkan anak buahnya, Darmawati, adalah pengembangan Pelabuhan Selayar di Sulawesi Selatan. ”Proposal proyek itu kami masukkan ke dalam perencanaan anggaran stimulus. Kami mengusulkan nilai proyek Pelabuhan Selayar Rp 5 miliar,” katanya.

Menurut Sunaryo, sampai akhir pekan lalu, anggaran stimulus untuk departemennya belum diputus Dewan. Karena itu, tender proyek belum dilakukan. ”Aneh, proyeknya belum ada, tapi sudah terjadi ’perselingkuhan’ antara pengusaha dan penguasa,” ujar Sunaryo. Nah, menurut sumber Tempo, uang suap yang diberikan Hontjo lewat Darmawati itu merupakan deal awal untuk mendapat proyek-proyek lain yang lebih besar.

Darmawati H. Dareho adalah Kepala Bagian Tata Usaha Distrik Navigasi Tanjung Priok. Tugasnya, yakni mencatat kondisi peralatan keselamatan di perairan khusus di Tanjung Priok, sama sekali tidak ada hubungannya dengan proyek-proyek pembangunan pelabuhan, apalagi bandara. Sunaryo sendiri mengaku heran bagaimana mungkin anggota stafnya ini bisa demikian jauh berhubungan dengan Abdul Hadi. ”Saya tidak tahu-menahu bagaimana Ibu Darma bisa terlibat di kasus ini,” ujar Sunaryo. ”Yang jelas, saya akan menegur atasannya karena tidak menjalankan pengawasan melekat.” Sunaryo telah menonaktifkan Darmawati dan memerintahkan kantornya disegel. ”Untuk mempermudah pemeriksaan,” katanya.

Atasan langsung Darmawati, Kepala Divisi Distrik Navigasi Tanjung Priok Besar, Waluyo, menyatakan tidak tahu apa yang dilakukan anak buahnya. Menurut Waluyo, ia siap diberi sanksi jika dianggap bersalah. Darmawati sendiri baru dua tahun bertugas di Tanjung Priok. Sebelumnya, ia Kepala Seksi Divisi Perencanaan Pusat Departemen Perhubungan. ”Saat bertugas di Divisi Perencanaan itulah ia mengenal Hontjo,” ujar sumber Tempo di Departemen Perhubungan.

Adapun Abdul Hadi adalah sosok yang tidak asing di kalangan pejabat Sulawesi Selatan. Ia tercatat sebagai calon anggota legislatif dari ”Provinsi Angin Mamiri” itu. Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo menyebutkan Abdul Hadi berjasa dalam pengembangan infrastruktur di wilayahnya. ”Dia banyak menguntungkan Sulawesi Selatan,” kata Syahrul kepada koresponden Tempo, Irmawati. Hingga akhir pekan lalu, spanduk yang bergambar Abdul Hadi masih bertebaran di sejumlah lokasi di Makassar.

Bagi Abdul Hadi, penangkapan ini bisa mengakhiri riwayat politiknya. Sehari setelah di gelandang ke kantor Komisi, Abdul Hadi dicoret dari keanggotaan partai. Ketua Umum Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir mengatakan kadernya itu melanggar anggaran dasar partai yang berkaitan dengan citra partai. Soetrisno mengatakan penangkapan terhadap kadernya menjadi pukulan telak bagi partai. ”Ini bukan hanya musibah, tapi tsunami.”

Adek Media, Anne L. Handayani, Cheta Nilawaty, Dwi Rianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus