Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tudingan Kawan Sekantor

Hakim Ibrahim membuat kesaksian baru. Ia menunjuk sejawatnya, sesama hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, juga terlibat kasus yang menyeretnya ke pengadilan.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGAKUAN mengejutkan itu muncul dari mulut Ibrahim di depan majelis hakim. Senin pekan lalu, hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang kini menjadi tersangka kasus suap itu menyebut satu nama yang juga terlibat: Santer Sitorus. Menurut Ibrahim, rekannya itulah—juga hakim di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta—yang justru aktif bernegosiasi soal duit. Bersama Santer Sitorus, Ibrahim memegang perkara banding gugatan kepemilikan tanah di Jakarta Barat.

Pernyataan Ibrahim ini tak pelak mengagetkan pengunjung sidang, termasuk tim pengacaranya. ”Saya kaget. Dia tak pernah bercerita soal ini,” kata Junimart Girsang, anggota tim pengacara Ibrahim. Menurut Junimart, selama dia mendampingi Ibrahim, kliennya itu tak pernah menceritakan keterlibatan Santer dalam perkara ini.

Di hadapan penyidik Komisi Pembe rantasan Korupsi, cerita ini juga tak pernah muncul. Memang selama ini Ibrahim menolak memberikan keterangan kepada penyidik. Dalam tiga kali pemberkasan kasusnya, ia memilih bungkam. Alasannya, ia dalam kondisi sakit. Hakim yang kini dinonaktifkan itu memiliki penyakit gagal ginjal dan darah tinggi.

Kepada Tempo, Junimart, yang menyatakan terheran-heran atas pengakuan kliennya itu, sempat menanyakan alasan Ibrahim baru mengungkapkan nama rekannya tersebut. Ibrahim, kata Junimart, hanya menjawab singkat, ”Barangkali sudah petunjuk-Nya, saya harus mengatakan yang sebenarnya.”

Di persidangan, Ibrahim menyatakan Santer Sitoruslah yang selalu berkomunikasi dengan Adner Sirait. Menurut dia, Santer dijanjikan akan diberi uang oleh Adner dengan syarat memenangkan gugatan Adner. Adner merupakan pengacara Darianus Lungguk Sitorus, pemilik PT Sabar Ganda, yang meng ajukan gugatan kepemilikan dua sertifikat tanah seluas 7.554 meter persegi di Perumahan Taman Palem Lestari, Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Pemerintah Provinsi DKI mengklaim tanah tersebut miliknya, maka kasus ini pun masuk Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Menurut Ibrahim, komunikasi antara Adner dan Santer lebih sering dalam bahasa Batak. Dan dia tidak paham apa yang mereka bicarakan. Hanya, belakangan, Santer bercerita, Adner telah menyediakan uang Rp 300 juta agar perkaranya dimenangkan. Ibrahim meminta harga itu dinaikkan menjadi Rp 500 juta. Tapi Adner menolak. Ibrahim sendiri ditangkap sejumlah petugas Komisi Pemberantasan Korupsi pada 30 Maret lalu di Jalan Mardani Raya, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, beberapa saat setelah ia menerima duit dari Adner. Petugas menemukan duit Rp 300 juta dibungkus tas kresek hitam di mobil Ibrahim.

Pernyataan Ibrahim pada Senin pekan lalu itu membuat Komisi Yudisial bereaksi. Saat awal kasus ini muncul, Komisi Yudisial pernah berniat memeriksa para hakim yang memegang kasus tanah itu. Tapi kemudian rencana ini dibatalkan. Kini, dengan pengakuan terakhir Ibrahim, Komisi Yudisial akan segera memanggil para hakim yang menangani kasus perebutan lahan tersebut. ”Undangan untuk para hakim itu sudah kami siapkan,” kata anggota Komisi Yudisial, Soekotjo Soeparto. Menurut Soekotjo, dalam kasus penyuapan seperti ini, tidak lazim jika pemainnya tunggal. ”Supaya aman, mereka biasanya mengajak yang lain.”

Berbeda dengan Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi belum mengambil sikap atas munculnya peng akuan Ibrahim. Menurut Wakil Ketua KPK Muhammad Jasin, lembaganya masih menunggu laporan jaksa penuntut. Laporan itu biasanya akan disampaikan lebih dulu oleh jaksa kepada Direktur Penuntutan, lalu kepada Deputi Penindakan. Lewat Deputi Penin dakan, laporan itu baru dilanjutkan ke pimpinan KPK, kemudian dibahas. Di sinilah kelak akan diputuskan apakah Santer akan diperiksa lagi atau tidak. Di luar itu, ada mekanisme lain, yakni jika ada perintah majelis hakim. ”Karena belum ada laporan, kami belum membahasnya,” ujarnya.

l l l

SANTER Sitorus, 53 tahun, bersama Ibrahim dan Arifin Marpaung merupakan tiga hakim yang ditunjuk Sudarto Radyosuwarno, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, memeriksa perkara banding nomor 36/B/2010 atas perkara tingkat pertama nomor 86/2009 dari Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Perkara rebutan tanah ini mulai disidangkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada 24 Februari lalu. Ketua majelis hakim kasus ini Ibrahim. Adapun Santer hakim anggota. Selain pernah diperiksa KPK, hakim kelahiran Rawang Baru, Kisaran, Sumatera Utara, itu pernah dihadirkan sebagai saksi persidangan Ibrahim.

Santer sendiri tak bisa dimintai komentar perihal penyebutan namanya oleh Ibrahim. Doktor ilmu hukum Universitas Padjadjaran itu tak merespons permintaan wawancara Tempo. Tapi, sebelumnya, kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, ia menyebutkan awalnya berkas perkara banding itu memang diantar Ibrahim kepada dia. Ibrahim meminta dia mempelajari berkas itu. Namun, karena kesibukannya, antara lain menjadi anggota panitia Pelaksanaan Bimbingan Teknis Peradil an Direktorat Jenderal Badan Peradil an Militer dan Tata Usaha Mahkamah Agung, dia meminta hakim lain mempelajari lebih dulu perkara tersebut.

Menurut seorang penyelidik, saat diperiksa beberapa waktu setelah Ibrahim ditangkap, Santer mengaku bahwa hingga Ibrahim ditangkap ia sama sekali belum mempelajari ”berkas tanah Cengkareng”. Kepada penyidik, ia menyatakan, kendati sempat beberapa kali bertemu dengan Ibrahim, ia tak sempat membicarakan penanganan perkara nomor 36 itu, apalagi sampai dimu syawarahkan antar-anggota majelis.

Berbeda dengan Ibrahim, kesaksian Adner, yang juga tersangka dalam kasus suap ini, tetap menunjuk Ibrahim sebagai otak suap-menyuap ini. Menurut Adner, inisiatif meminta uang datang dari Ibrahim sendiri. Permintaan itu disampaikan saat Adner menemui Ibrahim untuk berkonsultasi soal perkaranya karena ia harus menyusun kontra-memori banding.

Nah, menurut Adner, saat itu Ibrahim mengatakan tidak perlu membuat kontra-memori banding karena kasus itu di bawah penanganannya. Bahkan, kata Adner, Ibrahim malah meminta uang. Awalnya, ujar Adner, Ibrahim meminta Rp 500 juta. Namun, setelah tawar-menawar, harga pun deal di angka Rp 300 juta.

Adner mengaku hanya sekali bertemu dengan Santer Sitorus. Saat itu, sekitar Maret, ia memperkenalkan diri kepada Ibrahim sebagai pengacara D.L. Sitorus. Mengetahui Adner pengacara D.L. Sitorus, Ibrahim mengundang Santer dan memperkenalkannya kepada Adner. ”Nah, ini Doktor Santer Sitorus,” kata Adner menirukan Ibrahim. Saat itu, seperti pengakuan Adner kepada penyidik, Santer mengaku kenal D.L. Sitorus dan minta Adner menyampaikan salamnya kepada D.L. Sitorus. Sejak pertemuan Maret itu, Adner mengaku tak pernah lagi berkomunikasi dengan Santer.

Dalam kacamata Junimart, kliennya dijebak dalam kasus ini. Ibrahim, kata Junimart, tak pernah berbicara soal uang. Kliennya juga tidak pernah berkomunikasi langsung dengan Adner. Bahkan, saat Adner akan menemuinya, Ibrahim meminta Adner menunggu di ruang tamu saja. ”Justru Santer yang pernah bertanya kepada Ibrahim apakah sudah terima uang,” ujar Junimart.

Junimart menegaskan, Ibrahim tidak pernah memegang berkas perkara yang ditangani Adner. Berkas itu, kata dia, di tangan Santer. ”Ibrahim tidak mengetahui pokok perkara sama sekali.” Ibrahim, ujarnya, saat itu baru memeriksa kelengkapan berkas dan dia melihat tidak ada memori banding.

Sekeras apa pun Junimart membela kliennya, bagi Sarjono Turin, jaksa penuntut kasus ini, peran Ibrahim terang-benderang. ”Jawaban Santer klop dengan Adner,” kata Sarjono, ”bahwa yang meminta uang adalah Ibrahim, bukan Santer.” Pada sidang pekan sebelumnya, Santer juga mengaku tak tahu-menahu soal permintaan uang itu.

Menurut Sarjono, dari semua hasil penyadapan, memang terlihat Ibrahimlah yang giat ”melobi” Adner. ”Dari bukti-bukti dan hasil tapping atau penyadapan, yang aktif memang Ibrahim,” katanya.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus