Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA tak percaya, dan saya tak pernah mengatakan saya percaya,” kata Shirley Shackleton di seberang telepon. Ia tak yakin makam yang dikunjunginya dua pekan lalu di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, adalah makam suaminya, Grego ry John Shackleton.
Karena itu, ketika ditawari bunga untuk diletakkan di makam tersebut, dia menolak. ”Saya tak bisa menaruh bunga di makam itu,” kata perempuan 78 tahun itu ketika dihubungi, pekan lalu. ”Saya tidak yakin itu makamnya.” Ia juga mengaku sangat sulit mendapatkan perasaan spiritual ketika berada di makam itu.
Shirley datang ke Jakarta untuk bersaksi dalam persidangan gugatan Aliansi Jurnalis Independen Jakarta atas surat pelarangan Lembaga Sensor Film terhadap film Balibo. Baru pertama kalinya mendatangi makam bernisan dengan tatahan nama suaminya, setelah 35 tahun, ia langsung ragu.
Ia menemukan sebuah makam dengan nisan marmer bertulisan nama lima orang. Mereka adalah Gary James Cunningham, Gregory John Shackleton, Mal colm Harvie Rennie, Anthony John Stewart, dan Brian Raymond Peters. Di bawah nama mereka tertulis tanggal la hir, dan tanggal kematian yang sama: 16 Oktober 1975. Kelimanya tewas saat meliput masuknya pasukan Indonesia ke wilayah Timor Portugis, tepatnya di Balibo.
Malcolm Harvie Rennie adalah reporter Channel 9 Sydney, Peters juru kamera, dan Cuninngham teknisi. Greg Shac kleton reporter Channel 7 Melbourne, dan Stewart juru kamera Channel 7. Tak hanya Shirley yang meragukan makam itu. ”Keluarga saya tidak pernah diundang ke pemakaman, jadi kami tidak pernah bisa yakin,” kata Paul Stewart, adik Anthony John Stewart.
Menurut Stewart, pemerintah Indonesia dan Australia membuat keputusan tanpa berkonsultasi dengan keluarga korban. ”They have told us nothing,” katanya lewat surat elektronik.
Dalam buku Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur yang ditu lis wartawan TVRI yang meliput pe nyer buan pasukan Indonesia ke Ti mor Timur, Hendro Subroto, kelima war tawan Australia itu dimakamkan di Tanah Kusir pada 5 Desember 1975, atas permintaan keluarga. Duta Besar Australia untuk Indonesia ketika itu, Richard Woolcott, dikatakan hadir dalam acara pemakaman.
Menurut Paul Stewart, Kedutaan Australia di Jakarta hanya menelepon ibunya satu kali, beberapa pekan setelah insiden. ”Mereka hanya menanyakan ke mana harus mengirim bill peti mati,” kata Stewart, yang pada saat insiden terjadi masih berusia 15 tahun. Dia menambahkan, pemerintah Australia tidak pernah membicarakan penguburan, makam, ataupun ihwal kematian kakaknya.
Bahkan, ketika ia mendatangi Ke dutaan Australia di Jakarta pada 1998, ia diberi tahu tak perlu ke makam karena lokasi makam sangat jauh. ”Mereka bohong, karena ternyata dekat dan saya tak mengalami kesulitan menemukannya.”
Shirley tak kalah marah. ”Saya hanya menerima rintangan dari pemerintah Australia, dan bungkam seribu bahasa dari pemerintah Indonesia,” katanya. Itulah sebabnya dia memberi judul bukunya The Circle of Silence.
Meski keluarga tak yakin dengan makam di Tanah Kusir, tak demikian halnya dengan pemerintah Australia. Menurut juru bicara Kedutaan Australia di Jakarta, Jenny Dee, Duta Besar Australia saat itu, Richard Woolcott, menghadiri pemakaman sisa jasad kelima wartawan di Tanah Abang pada 1975. ”Kami tahu sisa jasad kemudian dipin dahkan ke pemakaman Tanah Kusir pada 1979,” katanya.
Kedutaan Australia bahkan membayar orang untuk merawat makam tersebut. ”Saya merawat makam ini sejak 1989,” kata Anim. Ia menerima bayaran Rp 200 ribu setiap tahun. Anim menggantikan perawat makam sebelumnya telah meninggal yang merawat makam sejak pemindahan dari Tanah Abang. Menurut dia, setiap tahun ada orang kedutaan yang menengok makam itu.
Penjelasan kedutaan dan Anim belum menepis tanda tanya. Dalam buku Hendro Subroto disebutkan, pemakaman dilangsungkan di Tanah Kusir pada 5 Desember 1975. Juga dalam catatan Gereja Anglikan All Saints di Menteng, yang mengurus misa pemakaman, tertulis misa dilakukan pada Jumat, 5 Desember 1975. Pemakaman dilakukan di Kebayoran Lama. Pendeta yang bertugas waktu itu adalah Rev. Kenneth G. Yapp.
Bahkan yang dicatat dalam misa itu hanya empat wartawan. ”Pemakam an di Kebayoran Lama meliputi jasad yang diyakini milik empat dari lima wartawan yang tewas di Timor Portugis,” demikian ditulis di buku catatan gereja, tanpa menyebut nama keempat wartawan yang dikuburkan.
Jenny tetap menegaskan, makam sa tu liang itu berisi sisa jasad lima war tawan. Ini berdasarkan laporan Deputi Koroner New South Wales, Dorelle Pinch, pada pertengahan November 2007, bah wa sisa jasad kelima jurnalis dikuburkan bersama dalam satu liang lahat di Jakarta (Tanah Kusir).
Kementerian Luar Negeri Indonesia tak bisa memberikan penjelasan me nge nai kesahihan sisa jasad dan ma kam. ”Kementerian tidak mengetahui soal makam tersebut,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah.
Ketika dicoba dirunut ke mantan perwira Komando Pasukan Khusus yang menjadi saksi peristiwa Balibo, Gatot Purwanto, ia juga tidak mengetahui nasib sisa-sisa mayat kelima wartawan tersebut. Dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu, dia menyatakan para wartawan asing itu dikumpulkan, kemudian ditembaki karena ada provokasi tembakan.
Jenazah mereka kemudian dibawa ke Kota Balibo dan dibakar. ”Saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu,” katanya, pekan lalu. Menurut dia, setelah peristiwa itu, timnya pindah ke daerah lain. ”Baru sekitar Desember kami benar-benar menguasai daerah itu.”
Makam di Tanah Kusir memang belum diyakini keluarga. Tapi Shirley Shackleton berkukuh meminta pemulangan ”Greg”, selain terus memperju angkan keadilan atas kematian suami nya. ”Tapi sampai sekarang mereka (pe merintah Australia) tidak melakukan apa-apa,” katanya.
Pemerintah Indonesia sebetulnya mem buka tangan. ”Sejauh dari sisi pro sedural, tak ada masalah,” kata Teuku Faizasyah. ”Bisa dimintakan jasa baik perwakilannya di sini untuk mengkomunikasikannya dengan pemerintah.”
Menurut Jenny, pemerintah Australia telah menawarkan upaya pemulangan sisa jasad jika keluarga memang meminta. Tapi semua keluarga harus sepakat tentang apa yang akan dilakukan dengan sisa jasad yang telah dikubur di satu liang lahat itu. ”Mereka belum melakukannya.”
Keluarga para korban memang tak satu suara kecuali tentang satu hal: tidak yakin akan keberadaan sisa jasad. ”Saya tidak mau sisa jasad kakak saya diserahkan ke Shirley Shackleton,” kata Paul Stewart. Ia bahkan menunjukkan keengganan membawa pulang sisa jenazah ”Tony”. ”Bagaimana dengan semua anak Indonesia yang tewas di Timor Timur,” ia bertanya. ”Apakah jasad mereka dibawa pulang?”
Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo