MENURUT jaksa, Liem Keng Eng telah 3001 kali melakukan
penyelundupan tekstil. Jumlahnya sampai puluhan ribu yard,
sehingga negara dirugikan cukainya milyaran rupiah sehingga
petugas Bea Cukai menjulukinya sebagai "Dirjen BC Bayangan",
karena pengaruhnya yang kuat dan ditakuti petugas pelabuhan.
Ditambah lagi kemudian ia berani buron dari jerat Tim 902 (anti
penyelundupan) sehingga pengadilan terpaksa memeriksa perkaranya
secara in-absentia. Namun ia dibebaskan dari tuduhan subversi
maupun korupsi oleh Pengadilan Tinggi Jakarta.
Pengadilan tingkat pertarna memang memvonis Keng Eng dengan
hukuman cukup berat: 11 tahun penjara di samping menyita barang
bukti berupa puluhan ribu yard tekstil dan harta benda lainnya.
Menurut majelis hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dua
tahun lalu, hal itu untuk kejahatan subversi dan ekonomi yang
dianggap terbukti secara meyakinkan. Pengadilan juga mengenakan
9 tahun penjara atas Keng Yan, adik Keng Eng yang juga ikut
buron, yang sebelumnya dituduh turut membantu kejahatan
abangnya.
Diantar oleh pengacaranya, Albert Hasibuan, mendadak Keng Eng
muncul di kejaksaan untuk menolak putusan pengadilan yang jatuh
empat hari sebelumnya dan menyatakan apel. Beberapa hari
kemudian Keng Yan juga menyusul.
Bersifat Politik
Dan memang tak sia-sia. Mendahului putusan banding perkara eks
Tim 902 lain, perkara Keng Eng dan Keng Yan diputus lebih dulu
oleh Pengadilan Tinggi Jakarta 29 Desember 1979 lalu. Sebuah
keputusan menarik: kakak-beradik yang sebelumnya dituduh
penyelundup kelas berat itu, sehingga perlu diancam hukuman
mati, dibebaskan dari semua tuduhan subversi maupun korupsi.
Sebelumnya pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin H.M.
Soemadijono, antara lain menyatakan: Walaupun kejahatan Keng Eng
dan Keng Yan tidak mempunyai latar belakang politik, misalnya
ada hubungannya dengan kekuatan asing, perbuatannya cukup dapat
disimpulkan sebagai tindak pidana subversi. yaitu, dapat
dibuktikan telah mengganggu atau menghambat industri dan
produksi tekstil, yang tengah dilindungi pemerintah.
Pertimbangan tersebut, menurut majelis, pernah juga dikeluarkan
oleh Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara subversi
(yurisprudens 1971).
Pengadilan Tinggi berpendapat lain. Majelis di tingkat banding
ini juga menggaet yurisprudensi Mahkamah Agung tentang hal yang
sama (tapi terbit 1968). Katanya, tindak pidana subversi,
haruslah "perbuatan yang mempunyai sifat politik". Dan sepanjang
pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama, menurut Pengadilan
Tinggi: "tidak ternyata adanya latar belakang politik yang
merupakan unsur esensial . . ."
Tuduhan korupsi, menurut Pengadilan Tinggi, juga tidak
selayaknya dikenakan terhadap Keng Eng dan Keng Yan. Sebab,
katanya, keduanya adalah "pedagang swasta" yang oleh karenanya
"bukanlah termasuk subyek dari tindak pidana korupsi" seperti
yang dimaksud UU Anti Korupsi (UU No. 3/1971). Tuduhan korupsi
menurut undang-undang yang dikutip Pengadilan Tinggi, hanya
dapat dikenakan terhadap pegawai negeri dan orang-orang yang
menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau yang
menerima bantuan dari negara.
Tapi bukankah badan peradilan yang sama, Pengadilan Tinggi
Jakarta, pernah juga menghukum Robby Tjahjadi -- penyelundup
mobil yang swasta -- beberapa tahun lalu dengan tuduhan korupsi?
Betul, tapi menurut Imam Anis, salah seorang anggota majelis
Pengadilan Tinggi, "itu perkembangan hukum kita". Maksudnya?
Imam Anis sulit menjelaskannya. "Itulah pendapat kami," katanya
dan "etisnya, baik sebagai hakim maupun humas, saya tidak boleh
mengomentari keputusan yang sudah diambil."
"Perkembangan hukum kita," seperti dikemukakan Anis, belakangan
muncul dalam peradilan terhadap beberapa kasus subversi -- yang
oleh sementara orang boleh jadi dianggap sebagai sikap lembaga
peradilan yang tidak berketentuan. Hakim Soemadijono yang
mengadili Keng Eng, misalnya, belakangan malah membebaskan
terdakwa lain -- sama-sama eks 902 -- dari tuduhan subversi
maupun korupsi. Penyelundup sukucadang kendaraan bermotor, dari
PT Insan Apollo, yang dituduh merugikan negara Rp 300 juta dan
dituntut jaksa 13 tahun penjara, ternyata oleh Soemadijono hanya
dikenakan pasal-pasal pidana ekonomi dengan hukuman 3« tahun
penjara dan denda Rp 20 juta.
Ada atau tidak "perkembangan hukum" yang pasti memperciut
lingkup jaring penerapan UU Subversi, walaupun dalam hal
kejahatan yang bermotif politik, sikap Pengadilan Tinggi Jakarta
boleh menggembirakan. Asal, seperti kata Albert Hasibuan,
"putusan-putusan pengadilan berikutnya harus konsisten." Jangan
sampai, katanya, mengesankan ada terdakwa yang sial karena
ditimpa UU Subversi dan ada pula yang mujur karena lolos dari
jeratnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini