Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hitam putih di Sala

Ricuh masalah arisan call di sala antara dua kelompok keturunan cina (golongan hitam dan golongan putih). (hk)

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Sutadi Ramli, dari beberapa berkas perkara yang masuk ke pengadilannya tercium bau kegiatan subversi di antara kericuhan dua kelompok keturunan Tionghoa di sana. Pihak tentara, yang dimintanya bertindak, turun tangan. "Supaya tak terjadi pertumpahan darah," ujar Komandan Kodim Surakarta Letkol. Kadarman. Di Pasar Klewer bursa tekstil yang terkenal itu, terasa tegang. Kodim melakukan patroli kota hampir tiap malam. Begitulah suasana Kotamadya Surakarta belakangan ini. Seperti telah bersepakat, walaupun tanpa tanda pengenal khusus tiba-tiba saja masyarakat keturunan Cina di Sala telah berkelompok. Yang satu menyebut diri sebagai "golongan hitam" dan yang lain "golongan putih." Mereka, pada mulanya, adalah pengusaha berbagai bidang yang berhimpun dalam bermacam kelompok arisan yang berkaitan satu dengan lain. Sampai-sampai tak jelas siapa membandari siapa. Sebab seorang peserta biasa pada suatu kelompok arisan kadang-kadang juga berfungsi sebagai bandar atau penghimpun satu dua arisan yang lain. Berbagai arisan itu pada mulanya hanya merupakan arisan biasa dengan tujuan saling memperkuat modal sesama pengusaha keturunan Cina. Belakangan, seperti yang juga muncul di Jakarta dan di kota-kota lain, bentuk arisan berkembang menjadi seperti yang laim disebut arisan call (yang berhak menarik arisan adalah peserta yang melakukan penawaran dan mau menerima bagian terendah pada periode tertentu). Arisan model begitu memang bisa panas. Apalagi bila mulai ada yang berani menawar di bawah 75%. Makin hari ternyata penawaran makin rendah saja. Tanda-tanda tidak beres mulai tercium. Yang sudah pernah menarik mulai enggan membayar dan akhirnya benar-benar tak mau bayar. Kelompok inilah, yang terjepit kewajiban membayar, menyebut dirinya golongan hitam. Kelompok lain, yang bertahan tidak mengajukan penawaran untuk memperoleh sejumlah uang secara utuh, disebut golongan putih. Kelompok terakhir ini umumnya terdiri dari pengusaha bermodal kuat dan sengaja memutarkan uangnya dengan cara mengumpani rekannya untuk menarik lebih dulu -- terutama bagi mereka yang nekad mau menerima kurang dari separuh. Dan pada akhir masa penarikan mereka (golongan putih) akan menerima secara utuh. 25% Saja Kelompok yang terjerat uang arisan tersebut ternyata lebih nekad lagi tak mau bayar. Alasan mereka "tidak mampu bayar," seperti dikemukakan golongan hitam ini di Restoran Madukoro (Sala) akhir tahun lalu. Secara tak langsung golongan ini menunjuk Kenop-15lah yang membuat mereka mati kutu. Uang yang macet diperkirakan Rp 3,5 milyar dari sekitar 400 kelompok arisan yang masing-masing beranggotakan Z030 orang. Karena itu usul mereka baiknya begini saja: setiap peserta arisan yang belum menarik harus mau menerima bagiannya 25Oio saja dari semestinya. Artinya, peserta yang sudah menarik duluan, cukup membayar 25% kewajibannya pada setiap masa penarikan. Mana bisa begitu, sambut golongan putih. Golongan ini menuduh rekannya sengaja tak mau membayar. Bukan karena tak mampu, seperti kata Ting dari golongan putih, tapi golongan hitam memang melakukan kesalahan besar dalam menggunakan uang arisan mereka beli rumah mewah, mobil dan berfoya-foya. "Mana ada yang rela dibayar 25% sedangkan kita tahu sebelumnya untuk apa digunakan uang itu .... ," kata Ting. Uang Ting yang 'nyangkut' di arisan call, katanya, ratusan juta rupiah. Urusan makin meruncing. Perdagangan jadi seret. Di Pasar Klewer, misalnya, sesama pedagang saling curiga-mencurigai. Uang seperti enggan singgah di sana. Karena si empunya khawatir melepaskannya di tengah para pedagang yang sedang terjerat "utang" arisan. Di sana-sini muncul apa yang di Sala disebut guli-guli alias tukang pukul menjaga cukong masing-masing Apalagi setelah pihak yang berwajib turun tangan. Berdasarkan pengaduan -- menurut golongan hitam pengaduan datang dari golongan putih -- kejaksaan menahan dua orang dari golongan hitam dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Pengadilan yang mengurus perkara perdata, tiba-tiba menyita harta-benda para tergugat golongan hitam. Ada rumah dan toko yang disegel. Beberapa kendaraan bermotor sitaan diparki di halaman pengadilan. Semuanya untuk 6 buah perkara perdata yang diajukan golongan putih. Pihak Kodim pun tak lepas tangan. Salah seorang di antara mereka, GY, atas petunjuk pengadilan diperiksa dengan sangkaan melakukan kejahatan subversi. Apa itu? Sutadi Ramli, Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, hanya menjawab: "Kita lihat dalam persidangan, semuanya akan terkorek nanti." Yang jelas, katanya, dari berkas-berkas di pengadilan terdapat petunjuk kekisruhan di Sala belakangan ini tercium bau kegiatan subversi. Golongan hitam merasa terjepit oleh tindakan yang berwajib. Mereka, diwakili 20 orang pedagang, mengadu ke DPR-RI di Jakarta dan diterima Wakil Ketua DPR, R. Kartidjo, dan V.B. da Costa dari Fraksi PDI. Mereka merasa ditekan dan ditakut-takuti. V.B. da Costa menanggapi. Ia mengecam tindakan pejabat di Surakarta, yang katanya, tidak menempatkan persoalan pada posisi yang sebenarnya. Urusan arisan, katanya, hanyalah perkara perdata semata-mata. "Kita ingin tahu," kata da Costa, "kenapa unsur Muspida sampai ikut campur masalah arisan." Mahkamah Agung, katanya, akan dimintanya mengoreksi tindakan pengadilan. Hankam, lanjutnya, juga akan dilaporinya sekitar tindakan Kodim terhadap para pengusaha. Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menyanggah: "Orang-orang yang ke DPR itulah yang memutar-balikkan fakta. Merekalah bandar arisan yang belum bayar. Muspida turun tangan supaya tak terjadi akibat yang lebih parah lagi." Perkara arisan memang perkara perdata, akan diurusnya pula secara perdata. Sedangkan yang pidana, katanya, karena memang perkara kriminal. Yaitu, ada dua orang di antara peserta arisan melakukan penipuan: menerbitkan cek kosong untuk membayar arisan. Komandan Kodim ikut menambahkan: yang lapor ke DPR itulah "mereka yang mau menyelamatkan keuntungan dan mengadakan penekanan." Yang dilakukan pihaknya, kata Kadarman, "demi kebaikan, demi keamanan masyarakat Sala, supaya tak terjadi pertumpahan darah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus