MENURUT Ketua Pengadilan Negeri Surakarta, Sutadi Ramli, dari
beberapa berkas perkara yang masuk ke pengadilannya tercium bau
kegiatan subversi di antara kericuhan dua kelompok keturunan
Tionghoa di sana. Pihak tentara, yang dimintanya bertindak,
turun tangan. "Supaya tak terjadi pertumpahan darah," ujar
Komandan Kodim Surakarta Letkol. Kadarman. Di Pasar Klewer bursa
tekstil yang terkenal itu, terasa tegang. Kodim melakukan
patroli kota hampir tiap malam. Begitulah suasana Kotamadya
Surakarta belakangan ini.
Seperti telah bersepakat, walaupun tanpa tanda pengenal khusus
tiba-tiba saja masyarakat keturunan Cina di Sala telah
berkelompok. Yang satu menyebut diri sebagai "golongan hitam"
dan yang lain "golongan putih." Mereka, pada mulanya, adalah
pengusaha berbagai bidang yang berhimpun dalam bermacam kelompok
arisan yang berkaitan satu dengan lain. Sampai-sampai tak jelas
siapa membandari siapa. Sebab seorang peserta biasa pada suatu
kelompok arisan kadang-kadang juga berfungsi sebagai bandar atau
penghimpun satu dua arisan yang lain.
Berbagai arisan itu pada mulanya hanya merupakan arisan biasa
dengan tujuan saling memperkuat modal sesama pengusaha keturunan
Cina. Belakangan, seperti yang juga muncul di Jakarta dan di
kota-kota lain, bentuk arisan berkembang menjadi seperti yang
laim disebut arisan call (yang berhak menarik arisan adalah
peserta yang melakukan penawaran dan mau menerima bagian
terendah pada periode tertentu). Arisan model begitu memang bisa
panas. Apalagi bila mulai ada yang berani menawar di bawah 75%.
Makin hari ternyata penawaran makin rendah saja. Tanda-tanda
tidak beres mulai tercium. Yang sudah pernah menarik mulai
enggan membayar dan akhirnya benar-benar tak mau bayar. Kelompok
inilah, yang terjepit kewajiban membayar, menyebut dirinya
golongan hitam. Kelompok lain, yang bertahan tidak mengajukan
penawaran untuk memperoleh sejumlah uang secara utuh, disebut
golongan putih. Kelompok terakhir ini umumnya terdiri dari
pengusaha bermodal kuat dan sengaja memutarkan uangnya dengan
cara mengumpani rekannya untuk menarik lebih dulu -- terutama
bagi mereka yang nekad mau menerima kurang dari separuh. Dan
pada akhir masa penarikan mereka (golongan putih) akan menerima
secara utuh.
25% Saja
Kelompok yang terjerat uang arisan tersebut ternyata lebih nekad
lagi tak mau bayar. Alasan mereka "tidak mampu bayar," seperti
dikemukakan golongan hitam ini di Restoran Madukoro (Sala) akhir
tahun lalu. Secara tak langsung golongan ini menunjuk
Kenop-15lah yang membuat mereka mati kutu. Uang yang macet
diperkirakan Rp 3,5 milyar dari sekitar 400 kelompok arisan yang
masing-masing beranggotakan Z030 orang.
Karena itu usul mereka baiknya begini saja: setiap peserta
arisan yang belum menarik harus mau menerima bagiannya 25Oio
saja dari semestinya. Artinya, peserta yang sudah menarik
duluan, cukup membayar 25% kewajibannya pada setiap masa
penarikan.
Mana bisa begitu, sambut golongan putih. Golongan ini menuduh
rekannya sengaja tak mau membayar. Bukan karena tak mampu,
seperti kata Ting dari golongan putih, tapi golongan hitam
memang melakukan kesalahan besar dalam menggunakan uang arisan
mereka beli rumah mewah, mobil dan berfoya-foya. "Mana ada yang
rela dibayar 25% sedangkan kita tahu sebelumnya untuk apa
digunakan uang itu .... ," kata Ting. Uang Ting yang 'nyangkut'
di arisan call, katanya, ratusan juta rupiah.
Urusan makin meruncing. Perdagangan jadi seret. Di Pasar Klewer,
misalnya, sesama pedagang saling curiga-mencurigai. Uang seperti
enggan singgah di sana. Karena si empunya khawatir melepaskannya
di tengah para pedagang yang sedang terjerat "utang" arisan. Di
sana-sini muncul apa yang di Sala disebut guli-guli alias tukang
pukul menjaga cukong masing-masing
Apalagi setelah pihak yang berwajib turun tangan. Berdasarkan
pengaduan -- menurut golongan hitam pengaduan datang dari
golongan putih -- kejaksaan menahan dua orang dari golongan
hitam dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Pengadilan yang
mengurus perkara perdata, tiba-tiba menyita harta-benda para
tergugat golongan hitam.
Ada rumah dan toko yang disegel. Beberapa kendaraan bermotor
sitaan diparki di halaman pengadilan. Semuanya untuk 6 buah
perkara perdata yang diajukan golongan putih.
Pihak Kodim pun tak lepas tangan. Salah seorang di antara
mereka, GY, atas petunjuk pengadilan diperiksa dengan sangkaan
melakukan kejahatan subversi. Apa itu? Sutadi Ramli, Ketua
Pengadilan Negeri Surakarta, hanya menjawab: "Kita lihat dalam
persidangan, semuanya akan terkorek nanti." Yang jelas,
katanya, dari berkas-berkas di pengadilan terdapat petunjuk
kekisruhan di Sala belakangan ini tercium bau kegiatan subversi.
Golongan hitam merasa terjepit oleh tindakan yang berwajib.
Mereka, diwakili 20 orang pedagang, mengadu ke DPR-RI di Jakarta
dan diterima Wakil Ketua DPR, R. Kartidjo, dan V.B. da Costa
dari Fraksi PDI. Mereka merasa ditekan dan ditakut-takuti.
V.B. da Costa menanggapi. Ia mengecam tindakan pejabat di
Surakarta, yang katanya, tidak menempatkan persoalan pada posisi
yang sebenarnya. Urusan arisan, katanya, hanyalah perkara
perdata semata-mata. "Kita ingin tahu," kata da Costa, "kenapa
unsur Muspida sampai ikut campur masalah arisan." Mahkamah
Agung, katanya, akan dimintanya mengoreksi tindakan pengadilan.
Hankam, lanjutnya, juga akan dilaporinya sekitar tindakan Kodim
terhadap para pengusaha.
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta menyanggah: "Orang-orang yang
ke DPR itulah yang memutar-balikkan fakta. Merekalah bandar
arisan yang belum bayar. Muspida turun tangan supaya tak terjadi
akibat yang lebih parah lagi." Perkara arisan memang perkara
perdata, akan diurusnya pula secara perdata. Sedangkan yang
pidana, katanya, karena memang perkara kriminal. Yaitu, ada dua
orang di antara peserta arisan melakukan penipuan: menerbitkan
cek kosong untuk membayar arisan.
Komandan Kodim ikut menambahkan: yang lapor ke DPR itulah
"mereka yang mau menyelamatkan keuntungan dan mengadakan
penekanan." Yang dilakukan pihaknya, kata Kadarman, "demi
kebaikan, demi keamanan masyarakat Sala, supaya tak terjadi
pertumpahan darah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini