Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

UU subversi & anti korupsi: yang ...

Sikap badan peradilan terhadap beberapa kasus subversi & korupsi tidak berketentuan, mulanya para penyelundup dihukum berat, tapi belakangan dibebaskan misal kasus penyelundupan tekstil oleh liem keng eng.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT jaksa, Liem Keng Eng telah 3001 kali melakukan penyelundupan tekstil. Jumlahnya sampai puluhan ribu yard, sehingga negara dirugikan cukainya milyaran rupiah sehingga petugas Bea Cukai menjulukinya sebagai "Dirjen BC Bayangan", karena pengaruhnya yang kuat dan ditakuti petugas pelabuhan. Ditambah lagi kemudian ia berani buron dari jerat Tim 902 (anti penyelundupan) sehingga pengadilan terpaksa memeriksa perkaranya secara in-absentia. Namun ia dibebaskan dari tuduhan subversi maupun korupsi oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Pengadilan tingkat pertarna memang memvonis Keng Eng dengan hukuman cukup berat: 11 tahun penjara di samping menyita barang bukti berupa puluhan ribu yard tekstil dan harta benda lainnya. Menurut majelis hakim dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dua tahun lalu, hal itu untuk kejahatan subversi dan ekonomi yang dianggap terbukti secara meyakinkan. Pengadilan juga mengenakan 9 tahun penjara atas Keng Yan, adik Keng Eng yang juga ikut buron, yang sebelumnya dituduh turut membantu kejahatan abangnya. Diantar oleh pengacaranya, Albert Hasibuan, mendadak Keng Eng muncul di kejaksaan untuk menolak putusan pengadilan yang jatuh empat hari sebelumnya dan menyatakan apel. Beberapa hari kemudian Keng Yan juga menyusul. Bersifat Politik Dan memang tak sia-sia. Mendahului putusan banding perkara eks Tim 902 lain, perkara Keng Eng dan Keng Yan diputus lebih dulu oleh Pengadilan Tinggi Jakarta 29 Desember 1979 lalu. Sebuah keputusan menarik: kakak-beradik yang sebelumnya dituduh penyelundup kelas berat itu, sehingga perlu diancam hukuman mati, dibebaskan dari semua tuduhan subversi maupun korupsi. Sebelumnya pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dipimpin H.M. Soemadijono, antara lain menyatakan: Walaupun kejahatan Keng Eng dan Keng Yan tidak mempunyai latar belakang politik, misalnya ada hubungannya dengan kekuatan asing, perbuatannya cukup dapat disimpulkan sebagai tindak pidana subversi. yaitu, dapat dibuktikan telah mengganggu atau menghambat industri dan produksi tekstil, yang tengah dilindungi pemerintah. Pertimbangan tersebut, menurut majelis, pernah juga dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dalam memutus suatu perkara subversi (yurisprudens 1971). Pengadilan Tinggi berpendapat lain. Majelis di tingkat banding ini juga menggaet yurisprudensi Mahkamah Agung tentang hal yang sama (tapi terbit 1968). Katanya, tindak pidana subversi, haruslah "perbuatan yang mempunyai sifat politik". Dan sepanjang pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama, menurut Pengadilan Tinggi: "tidak ternyata adanya latar belakang politik yang merupakan unsur esensial . . ." Tuduhan korupsi, menurut Pengadilan Tinggi, juga tidak selayaknya dikenakan terhadap Keng Eng dan Keng Yan. Sebab, katanya, keduanya adalah "pedagang swasta" yang oleh karenanya "bukanlah termasuk subyek dari tindak pidana korupsi" seperti yang dimaksud UU Anti Korupsi (UU No. 3/1971). Tuduhan korupsi menurut undang-undang yang dikutip Pengadilan Tinggi, hanya dapat dikenakan terhadap pegawai negeri dan orang-orang yang menerima tugas tertentu dari suatu badan negara atau yang menerima bantuan dari negara. Tapi bukankah badan peradilan yang sama, Pengadilan Tinggi Jakarta, pernah juga menghukum Robby Tjahjadi -- penyelundup mobil yang swasta -- beberapa tahun lalu dengan tuduhan korupsi? Betul, tapi menurut Imam Anis, salah seorang anggota majelis Pengadilan Tinggi, "itu perkembangan hukum kita". Maksudnya? Imam Anis sulit menjelaskannya. "Itulah pendapat kami," katanya dan "etisnya, baik sebagai hakim maupun humas, saya tidak boleh mengomentari keputusan yang sudah diambil." "Perkembangan hukum kita," seperti dikemukakan Anis, belakangan muncul dalam peradilan terhadap beberapa kasus subversi -- yang oleh sementara orang boleh jadi dianggap sebagai sikap lembaga peradilan yang tidak berketentuan. Hakim Soemadijono yang mengadili Keng Eng, misalnya, belakangan malah membebaskan terdakwa lain -- sama-sama eks 902 -- dari tuduhan subversi maupun korupsi. Penyelundup sukucadang kendaraan bermotor, dari PT Insan Apollo, yang dituduh merugikan negara Rp 300 juta dan dituntut jaksa 13 tahun penjara, ternyata oleh Soemadijono hanya dikenakan pasal-pasal pidana ekonomi dengan hukuman 3« tahun penjara dan denda Rp 20 juta. Ada atau tidak "perkembangan hukum" yang pasti memperciut lingkup jaring penerapan UU Subversi, walaupun dalam hal kejahatan yang bermotif politik, sikap Pengadilan Tinggi Jakarta boleh menggembirakan. Asal, seperti kata Albert Hasibuan, "putusan-putusan pengadilan berikutnya harus konsisten." Jangan sampai, katanya, mengesankan ada terdakwa yang sial karena ditimpa UU Subversi dan ada pula yang mujur karena lolos dari jeratnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus