MEREKA menganggap Islam dan Kristen sebagai agama impor. Agama Budha, walau sealiran dengan mereka, dianggap sebagai agama bangsa India - bukan untuk orang Jawa. Sebab itu mereka meyakini bahwa agama yang khusus diperuntukkan bagi "bangsa Jawa" adalah Budha Jawi Wisnu (BJW). Karena keyakinan itulah Sabtu lalu pemimpin agama itu, Pandito Romo Ki Somoleksono, bersama 17 orang pengikutnya, dihukum di Pengadilan Negeri Kisaran. Kegiatan keagamaan mereka dianggap melanggar Surat Keputusan Jaksa Agung, 18 Desember 1976, yang melarang kegiatan BJW. Selain itu, mereka juga dihukum karena dianggap mencemarkan agama yang diakui negara, yaitu Islam dan Kristen. Namun, Romo Somoleksono, 65, yang dihukum 9 bulan penjara dalam masa percobaan 2 tahun, ternyata tidak bergeming mendenar vonis inl "Ini nasib dari Gusti," ujar Somo, yang bersama pengikutnya tidak naik banding atas putusan itu. Bahkan, sang pandito masih tetap bersemangat hendak mengembangkan BJW. "Sukar bagi kami meninggalkan BJW begitu saja," kata Somo lagi. Kemungkinan masuk penjara - bila dalam dua tahun ia tetap melakukan kegiatan yang sama - tidak pula melemahkan semangat Somo. "Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan," katanya lagi. Somo mantap dengan keyakinan yang sudah dianutnya sejak 1951 itu. Selalu memakai blangkon, ia mengembangkan BJW di Kabupaten Asahan, selama 20 tahun. Menurut keyakinannya, seorang resi juga dilahirkan di Pulau Jawa, seperti Sidharta Budha Gautama yang datang untuk bangsa India. Resi itu, Romo Kusumodewo, yang konon telah berusia 200 tahun, sampai kini masih memimpin umatnya di pusat BJW di Rejomulyo, Madiun, Jawa Timur. Selain mempunyai pandangan bermusuhan terhadap agama-agama yang diakui negara, penganut BJW juga mempunyai peraturan yang agak ganjil: semua penganutnya dilarang bekerja di pemerintahan. "Aku dilarang pandito untuk jadi hansip," ujar seorang pengikut, Subliman, yang pada persidangan kedua menyatakan diri kembali ke agamanya semula, Islam. Dalam hal perkawinan, penganut harus mutlak mengikuti tata cara yang diatur BJW, dan tidak ada campur tangan pihak pemerintah, seperti kepala desa. petugas catatan sipil, atau pejabat kantor agama. Sedikit demi sedikit, BJW dikembangkan Somo di Kabupaten Asahan. Sebagian besar pengikutnya berasal dari Jawa dan bekas penganut agama Islam. Beberapa pengikut BJW mengaku memilih keyakinan baru itu karena tidak bisa mengikuti peraturan Islam yang mereka anggap berat, misalnya salat lima waktu sehari semalam. "Dalam BJW cuma dua kali seminggu, kok," kata Semino, yang tetap bertahan di BJW. Kegiatan Somo baru terhenti setelah masyarakat di kelurahan tempat tinggalnya mulai resah. Kepala desa Terusan Tengah, Wahab Sitorus, mengadukan kegiatan BJW kekejaksaan. Pihak kejaksaan pun meneruskan perkara itu ke pengadilan. Tapi pukulan yang paling berat bagi BJW, seperti yang diadukan pemimpin pusat BJW Resi Kusumodewo kepada presiden, 23 Desember lalu, adalah ancaman hakim yang mengadili perkara itu. "Bila kalian bertahan dalam BJW, kalian akan diusir dari Indonesia atau dipenjarakan. Tapi bila mau beralih ke salah satu agama yang sah, sidang ini akan dibatalkan," ujar Somo menirukan Hakim Haji Ali Sabi, yang memimpin persidangan itu. Ancaman itu tidak digubris Somo. "Kami hanya mau menegakkan pasal 29 UUD 1945, tentang kebebasan beragama," ujar Somo. Pendeta itu juga mengutip pembukaan UUD 45 mengenai penjajahan yang harus dihapuskan dari muka bumi. Lantas? "Kenapa Islam dan Kristen yang dibawa penjajah bisa hidup di negara ini, sedang kami yang asli, dilarang?" ujar Somo. Tapi ancaman hakim itu ternyata dapat mengubah keyakinan sebagian pengikutnya. Pada persidangan berikutnya, setelah ancaman itu, menurut Somo ada delapan pengikut BJW muncul di sidang dengan pernyataan kembali memeluk agama Islam. Pihak pengadilan kaget juga mendengar pengaduan BJW kepada presiden yang tembusannya sampai juga ke Kisaran. Ketiga anggota Majelis Hakim, Haji Ali Sabi, Herman Yohanes, dan Yahya Harahap, menyangkal mengeluarkan ancaman serupa itu. "Saya hanya menyarankan agar mereka kembali ke agama semula," ujar Haji Ali Sabi. Menurut ketua Majelis Hakim, sarannya itu serupa dengan nasihat kepada seorang pembunuh untuk segera bertobat dan menyesali perbuatannya. Begitu juga dalam perkara BJW itu, "jika mereka kembali bertobat ke agamanya semula, tentu bisa meringankan hukuman," ujar Haji Ali Sabi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini