Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Vonis "berat" pemerkosa

Pn malang memvonis 20 tahun penjara atas hendrik. ia terbukti mencabuli & membunuh seorang bocah perempuan, lina asmawati, 5. mayat korban dibuang di pos kamling desa tangkil, blitar.

19 Agustus 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kabar "baik" dari pengadilan: vonis hakim terhadap pemerkosa dan pembunuh semakin berat. Agaknya, inilah pertama kali pengadilan memvonis seorang tertuduh pemerkosa yang kemudian membunuh korban - dengan hukuman 20 tahun penjara. Vonis berat itu, Selasa pekan lalu, dijatuhkan Pengadilan Negeri Malang terhadap Hendrik alias Ambon, 37 tahun, yang terbukti telah mencabuli dan membunuh seorang bocah perempuan, Lina Asmawati, 5 tahun. Kejahatan Hendrik memang keterlaluan. Pada awal Februari lalu, mayat anak malang itu teronggok begitu saja di pos kamling di Desa Tangkil, Kecamatan Wlingi, Blitar. Bocah itu mati dalam keadaan mengerikan. Batok kepalanya pecah, darahnya berlelehan menutup mukanya yang mungil. Lehernya memar menghitam, bekas cekikan tangan yang kukuh. Lalu, kemaluannya robek sampai anus, ada bekas darah yang sudah kering. Ajal anak itu sampai, pada siang 2 Februari, ketika ia seperti biasanya - bermain-main di rumah tetangganya, Hendrik, sekitar 100 meter dari rumahnya di Jalan Juanda, Malang, Jawa Timur. Ia tak ragu-ragu masuk rumah itu, karena Hendrik yang sudah setahun tinggal di situ - sering bertandang ke rumahnya untuk mengajak ayahnya, Andi Riva, bermain catur. Tapi pada siang itu, kebetulan, Kalsumi, 52 tahun, pasangan kumpul kebo Hendrik, lagi pergi. Hendrik pun merasa aman. Lelaki pengangguran ini pun langsung menutup pintu begitu Lina berada di dalam rumahnya. Ia menyetel tape-recorder-nya yang mengalunkan lagu-lagu India berirama dang-dut. Dengan janji akan diberi uang seratus rupiah, Lina menari meliuk-liuk bak penari India. Eh, rupanya Hendrik terangsang melihat bocah itu megal-megol. Matanya jadi nyalang. "Saya bergairah melihatnya," kata Hendrik. Tiba-tiba ia mengangkat bocah berpipi montok itu, merebahkannya di ranjang. Celana dalam Lina dilorotnya. Diperkosa? Hendrik hanya mengaku berbuat cabul dengan gadis itu dengan mempermainkan kemaluan Lina dengan jari tangannya. Tapi, katanya, anak yang masih bau kencur itu menjerit-jerit kesakitan. Bajingan itu memperkeras bunyi tape recorder-nya. Kendati jerit Lina makin menyayat, dan dari kemaluan anak itu bercucuran darah, ia meneruskan perbuatannya. Karena jerit Lina semakin keras, katanya, ia menjadi kalap. Mulut Lina dibekapnya dan kemudian leher Lina dicekiknya. Anak kecil bertubuh bongsor itu pun kelojotan. Eksekusi pun dilakukan: Pruk.. . pruk... dua kali Hendrik menghantamkan barbel 3,5 kilogram ke tengkuk Lina. Anak penarik becak dan tukang cuci ini langsung mati di situ juga. Setelah itu, dengan tenang Hendrik menyulut rokok sembari memandangi mayat Lina yang berlumur darah di ranjangnya. Kemudian ia memasukkan mayat Lina ke dalam tas parasut hijau--milik Kalsumi dan menenteng tas itu keluar rumah. Ketika ditanya tetangganya, Hendrik menjawab enteng, "Mau pergi membetulkan tape." Ternyata dari terminal bis Malang, ia naik bis jurusan Blitar - dengan maksud hendak membuang mayat itu di Bendungan Karangkates. Tapi, Hendrik terlelap di bis, dan ketika bangun, ia sudah sampai di Kecamatan Wlingi - sekitar 21 kilometer sebelum Blitar. Di situ, ia turun dan naik becak. Kepada tukang becak, ia mengaku menenteng tas berisi ikan asin. "Tapi, saya curiga, ikan asin, kok, kelihatan berat dan benjol-benjol," ujar tukang becak itu, Sucipto. Ketika hari mulai gelap, Hendrik meletakkan tas parasutnya di pos kamling Desa Tangkil, dan dengan bis, kembali ke Malang. Esoknya, gegerlah Desa Tangkil. Mayat Lina segera dibawa ke RSU Wlingi. Sementara itu, di Jalan Juanda, Malang, Andi Rivai dan Riyati sibuk mencari anak sulungnya yang mendadak lenyap. Sungai kecil di kampung itu sudah diubek-ubek, barangkali Lina hanyut. "Orang-orang pandai" sudah dihubungi. Hasilnya nihil. Tiga hari kemudian, 5 Februari, di koran Jawa Pos Andi Rivai membaca berita tentang ditemukannya mayat bocah di Wlingi. Bagai mendapat petunjuk, ia segera berangkat ke Blitar. Sayang, mayat bocah yang dicarinya sudah dikubur. Tapi, dari foto yang dibuat RSU Wlingi, Andi memastikan bahwa mayat bocah itu anaknya. Lina. Polisi tak sulit menemukan jejak sang pembunuh. Apalagi, dua hari setelah Lina hilang, Hendrik juga menghilang - setelah sebelumnya pura-pura sibuk ikut mencari anak itu. Polisi menangkap Hendrik di rumah salah seorang keluarganya di kawasan Bendul Merisi, Surabaya. Hendrik, yang nama aslinya Misari, mengaku terus terang telah membantai Lina. "Saya memang membunuhnya, saya yang salah," katanya kepada TEMPO. Ia, yang mengaku berasal dari Ambon, sebenarnya punya tiga anak hasil pernikahannya dengan Kamriyah, 33 tahun, asal Tulungagung. Tapi keluarganya itu ditinggalkannya sejak ia kumpul kebo dengan Kalsumi. Dengan Kalsumi, ia cukup ongkang kaki sambil "melayani" wanita yang kini menjadi wiraswasta itu. Dalam "pelayanan" selama setahun itu, keluhnya, ia diperbudak "istrinya" untuk memenuhi nafsu wanita itu. Dan akibatnya, katanya ia selalu terangsang melihat anak-anak kecil. Apa pun alasannya, majelis hakim, diketuai Eddy Suradji, menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara untuk Hendrik. "Pembunuhan itu dilakukan dengan tak mengenal rasa kasihan," kata Eddy dalam vonisnya. Vonis hakim itu memang angin segar dalam penanganan kasus "perkosaan diikuti pembunuhan". Selama ini vonis hakim dalam soal begitu, terutama yang cuma perkosaan, memang hanya berkisar 1 atau 2 tahun. Baru beberapa tahun belakangan ini vonis pemerkosa sedikit diperberat. Pada 1988, di Kediri, Karno, 40 tahun, diganja 15 tahun penjara karena mendalangi perkosaan dan pembunuhan gadis Murtifir yang baru berusia 12 tahun.Toriq Hadad dan Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus