Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Vonis burung-burung anyan

PN Jakarta Barat memvonis Surya Manggaladipura alias Anyan denda Rp 12.500 subsider 3 bulan kurungan. Memiliki 66 ekor satwa yang dilindungi. Banyak yang protes kendati hakim menghukum maksimal.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA harga burung cenderawasih di meja hijau? Hakim Harifin di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin pekan lalu, ternyata hanya menghukum Surya Manggaladipura alias Anyan denda Rp 12.500 subsider 3 bulan kurungan berdasar Ordonansi Perlindungan Binatang Liar, 1931. Padahal, Anyan terbukti memiliki 41 ekor burung cenderawasih dan 25 ekor satwa lain yang dilindungi senilai Rp 82 juta. Banyak pihak kecewa dengan putusan tadi. Tak urung, Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap mempertanyakan vonis terhadap Anyan yang dinilainya terlalu ringan. Bahkan, ia akan melaporkannya ke Mahkamah Agung. "Maling ayam berharga Rp 2.000 saja mendapat hukuman tiga bulan penjara. Masa untuk pemilik 41 cenderawasih hanya dihukum segitu," kata Hasjrul kepada wartawan. Seharusnya, menurut Hasjrul, terdakwa bisa dikenai UU mengenai Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, 1982. Dengan UU ini, Anyan bisa dikenai denda 8.000 kali lebih tinggi, alias Rp 100 juta, dengan ancaman penjara 10 tahun. Undang-undang yang disebutkan Hasjrul itu memang pernah dipakai Jaksa Santoso dari Kejaksaan Negeri Sorong, Irian Jaya, pada 1984, untuk menuntut hukuman 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 20 juta atas seorang dokter yang menyelundupkan 163 burung cenderawasih. Ternyata, hukuman ini dikukuhkan oleh Mahkamah Agung. Berkat keberaniannya itu, Santoso tahun lalu dianugerahi penghargaan Kalpataru dari Presiden Soeharto. Menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Sutisna Wartaputra, seharusnya hakim mengikuti yurisprudensi dari Irian Jaya. "Pelaku kasus seperti ini harus dihukum berat supaya kapok," ujar Alam kepada TEMPO. Tapi Hakim Harifin mengaku sudah berbuat maksimal. "Saya sudah menjatuhkan hukuman maksimal," katanya. Harifin memang hanya mengadili kasus yang dibawa PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dari Sub-Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Dan petugas PPNS tersebut hanya menuduh Anyan melanggar pasal 1 ayat 1 Ordonansi Perlindungan Binatang Liar. Karena perkara itu termasuk kategori pelanggaran, bukan kejahatan, berkas perkara ini tidak lewat jaksa dan diproses secara cepat. Maka, hanya dalam tempo delapan hari, vonis sudah jatuh. "Perkara ini diajukan langsung oleh PPNS tanpa melewati jaksa, dan pengadilan yang menerima kasus itu tak boleh menolak mengadilinya " kata Harifin. Di persidangan itu, kata Harifin, terdakwa hanya terbukti memelihara binatang yang dilindungi tersebut. Tapi Anyan tidak terbukti memperdagangkan satwa peliharaannya. Dan sesuai dengan bunyi undang-undang yang dituduhkan -- ancaman hukuman tiga bulan dan denda setinggi-tingginya 500 gulden -- Harifin pun sudah memvonis perkara itu maksimal yaitu Rp 12.500 subsider 3 bulan kurungan. "Jumlah hukuman itu itu kan sama dengan 500 gulden di zaman sekarang," kata Harifin lagi. Anyan sendiri bukannya senang dengan putusan yang diterimanya. Ketika ditemui di rumahnya dalam kawasan kumuh Tambora, Jakarta Barat, wajahnya tampak kusut. Ayah enam anak ini merasa amat kehilangan binatang kesayangannya yang kini jadi tontonan di Taman Safari Indonesia. Yang lebih disesalkannya, sebagian hartanya tertanam di satwa itu. "Ya, saya cuma bisa pasrah. Hobi saya ternyata salah. Kalau disita negara, saya mau apa?" kata Anyan, yang mengaku telah bertahun-tahun hobi memelihara binatang. Yang aneh, Anyan mengaku tidak tahu ketika membeli burung-burung di Pasar Pramuka bahwa yang dibelinya adalah burung cenderawasih. Apalagi kalau memelihara burung itu terlarang. "Di sana burung-burung itu banyak," katanya. Yang juga aneh tentulah kebijaksanaan petugas penyidik dari KSDA yang mengajukan perkara itu ke pengadilan dengan kategori pelanggaran Ordonansi saja, tanpa mengaitkan dengan pelanggaran undang-undang lingkungan. Apalagi untuk kasus itu penyidik rupanya tak ingin melibatkan kejaksaan. Hakim memang hanya berhak memutus perkara itu sesuai dengan yang dituduhkan di sidang. Tapi seandainya hakim tak sependapat, toh hakim bisa mengembalikan perkara itu kepada penuntut agar dakwaan diperbaiki. Diah Purnomowati dan Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus