DRAMA dalam persidangan kasus subversi H.M. Fatwa dan A.Q. Djaelani usai sudah. Selasa pekan lalu, hanya beberapa Jam sebelum masa penahanan keduanya berakhir pada pukul 24, majelis hakim memvonis mereka masing-masing 18 tahun penjara. "Saya gembira, bukan karena hanya dihukum 18 tahun, tapi karena sudah dipertontonkan sebuah sandiwara pada masa Orde Baru ini," ujar Fatwa, selesai sidang yang menegangkan itu. Ia sebelumnya dituntut hukuman penjara seumur hidup. Sandiwara apa dan bagaimana, Fatwa, 46, tak menjelaskannya. Yang jelas, persidangan perkaranya benar-benar tidak ada duanya dalam sejarah peradilan. Bekas pejabat DKI yang dituduh subversi dengan pidato dakwahnya dan terlibat "Lembaran Putih" peristiwa Tanjung Priok itu, misalnya, membuat persidangan yang sejak semula sudah tegang menjadi semakin panas dengan meminta izin untuk membacakan pledoinya setebal 1.188 halaman. Majelis Hakim, yang menargetkan persidangan itu harus selesai 24 Desember, terpaksa menempuh proses persidangan - yang tidak biasa - sampai malam hari. Buntutnya, yang juga membuat suasana tambah tegang, Fatwa sempat terjungkal dan pingsan di ruang sidang. Sehari sebelum vonis jatuh, ketika pembelanya membacakan pledoi, kembali sidangnya tertunda akibat ia tiba-tiba mencret di ruang sidang. Semua kejadian itu bagaikan puncak berbagai keanehan sidang subversi. Bulan lalu persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu menjadi geger akibat ulah pemogokan tim pembela Fatwa, yang terdiri dari Luhut Pangaribuan, Denny Kailimang, Abdul Hakim Nusantara, dan Suroto, setelah majelis hakim menolak memanggil saksi a de charge, Ali Sadikin. Sementara itu, Abdul Qadir Djaelani, 47, yang diadili di pengadilan yang sama - karena dituduh terlibat peristiwa pengeboman BCA - meninggalkan sidang gara-gara pengacaranya, H.M. Dault dan Armansyah, tidak hadir. (TEMPO, 23 November). Semua gelagat itu sempat dituding aparat peradilan dan kejaksaan sebagai ulah pembela dan terdakwa untuk mengulur-ulur sidang agar masa penahanan habis sesuai dengan pasal 29 KUHAP. Artinya, secara hukum terdakwa harus lepas dari tahanan, walau sidang belum selesai. Sebab itu ketika masa waktu penahanan hanya tinggal seminggu, ulah Fatwa dan Djaelani mengajukan pledoi terpanjang itu membuat hakim dan jaksa seperti dikerjain. Karena itu pula hakim membuat proses sidang yang tldak biasa - sidang sampai tengah malam. Berikut ini sepekan babak terakhir drama yang menegangkan itu. Senin, 16 Desember Kedua sidang subversi itu memasuki tahap pledoi, setelah Fatwa dituntut jaksa dengan hukuman penjara seumur hidup, dan Djaelani dengan hukuman mati. Hakim dan jaksa memperkirakan pledoi itu akan selesai pada hari itu juga, agar jaksa bisa mengajukan replik dua hari kemudian, dan terdakwa kembali mengajukan duplik di akhir pekan. Hakim mengancar-ancar vonis akan dibacakan pada Senin berikutnya. Ancar-ancar hakim itu tiba-tib buyar. Sebab, Fatwa membawa pledoi yang tebalnya lebih dar 1.000 halaman, dengan judul "Demokrasi dan Kebebasan Beragama Diadili". Sementara itu, Djaelani mengajukan pledoi setebal 430 halaman. Ternyata, pukul 17, Fatwa tidak sanggup lagi meneruskan pembacaan pledoinya. Ia meminta hakim menunda sidang dan memberi kesempatan baginya untuk me nyelesaikan seluruh pledoinya. Majelis, yang diketuai B.E.D. Siregar, terpaksa memperingatkar Fatwa: "Kami tidak bisa menunda sidang tanpa batas waktu untuk pembelaan Saudara. Jadwal sidang harus ditepati - kalau perlu, sidang sampai malam hari," ujar Siregar. Masalah yang sama juga muncul di perkara Djaelani, dengan majelis yang diketuai Imam Soekarno. Tantangan hakim untuk sidang sampai malam hari itu disanggupi kedua terdakwa. Selasa, 17 Desember Pagi-pagi Fatwa muncul di sidang seperti sudah siap tempur Gagah dengan safari abu-abunya ia menyiapkan pula berbagai makanan dan obat-obatan. Di tas plastik yang dibawanya tersedia dari minuman Aqua sampai madu dan obat-obat, seperti obat sariawan, maag, sakit kepala, tekanan darah rendah sampai ke obat saraf dan vitamin. Sidang hari itu memang melelahkan - dari pukul 9.30 sampai pukul 21.30, dengan beberapa kali istirahat untuk makan dan salat. Menjelang magrib, semua yang hadir di sidang benar-benar kelihatan layu. Tapi Fatwa, dengan sisa-sisa tenaga, masih mencoba bersemangat. Sementara itu, pembelanya, Suroto, menyenderkan kepala ke kursi dan sekali-sekali menguap. Rekannya, Luhut, malah tertidur pulas di samping Fatwa. Keadaan Jaksa Susilo Oeripto tidak berbeda: tersandar lemas di kursinya. Begitu pula majelis hakim. Pengunjung pun hanya berkisar 20 orang. Sebelum menutup sidang, majelis masih sempat memperingatkan Fatwa agar membatasi pledoinya pada hal-hal yang relevan saja. Sebab, terlihat banyak lembaran yang berisi guntingan koran. "Apa Saudara tidak capek?" tanya Siregar. Fatwa mengangguk. Tapi, katanya, ia tidak ingin dianggap memperlambat jalannya sidang. "Kalau saya sampai mati di sidang ini, saya mati syahid," katanya. Tapi akhirnya ia setuju tidak membacakan 370 halaman pledoinya. Rabu, 18 Desember Uji tangguh kembali diperagakan. Majelis menutup sidang Fatwa sekitar pukul 21, setelah Fatwa membacakan sekitar 824 halaman pembelaannya. "Saya sudah siap membacakan pledoi saya sampai pukul tiga pagi, tapi ternyata mereka kalah. Pak Ogah kalah," seloroh Denny pembela Fatwa. Kamis, 19 Desember Rencananya, hari itu, baik pledoi Fatwa maupun Djaelani bisa diselesaikan. Tapi itulah yang terjadi. Ketika Fatwa membalik halaman ke-1.188 - hanya tinggal 16 baris lagi menjelang berakhir - ia tiba-tiba tumbang. Bersamaan dengan ucapan "Allahu Akbar" dari mulutnya, ia terjungkal ke belakang. Hakim Siregar dan Abdul Razak segera menggotongnya. Ia dilarikan ke Rumah Sakit Islam Jakarta. Menurut dr. Kusnadi, yang merawat terdakwa di ruang gawat darurat rumah sakit itu, tekanan darahnya hanya 100/50. Hakim pun mengundurkan sidang sampai Sabtu. Sementara itu, persidangan Djaelani dapat diselesaikan. Terdakwa mengakhiri pembacaan pledoinya yang berjudul "Musuh-musuh Islam Melakukan Serangan Ofensif terhadap Umat Islam". Untuk itu Djaelani mengutip 115 buku dengan 222 catatan kaki. "Pokoknya, ilmiah, deh," kata Djaelani, bangga. Sabtu, 21 Desember Ketika hakim membuka sidang pukul 11.30, Fatwa belum bisa didatangkan dari rumah sakit. Ia baru muncul dengan kursi roda sekitar pukul 12: berkaus oblong, sarung batik, dan tanpa alas kaki. Tubuhnya kelihatan lemas dan wajahnya pucat. Dengan suara lemah Fatwa memang masih sanggup menyelesaikan pledoinya dalam waktu seperempat jam. Tapi, ketika giliran pembela membacakan pledoi, Fatwa semakin lemas. Dokter LP Cipinang yang disiapkan di persidangan, Lintong Napitupulu, segera memeriksa Fatwa dan memutuskan terdakwa tidak bisa lagi meneruskan sidang. Ia kembali dibawa ke LP Cipinang. Senin, 22 Desember Hari itu Fatwa muncul dengan dipapah dua orang petugas. Pembelanya memulai pembacaan pledoi sekitar pukul 10. Satu jam kemudian, sidang terhenti: Ada yang menetes di bawah tempat duduk Fatwa. Ternyata, terdakwa mencret. Melihat keadaan itu, Denny Kailimang langsung menyerahkan pledoinya kepada majelis hakim. "Demi kelancaran sidang dan menjaga wibawa pengadilan, lebih baik pledoi ini kami serahkan kepada Hakim," ujar Denny. Atas sikap Denny itu, Hakim menyatakan acara pembacaan pledoi selesai. Seperti juga dalam perkara Djaelani, jaksa juga seketika menyatakan tidak mengajukan repliknya. Sebab itu, hakim bisa memastikan akan membacakan vonisnya keesokan harinya. Selasa, 24 Desember Hari menentukan. Ternyata, kedua terdakwa hadir di sidang. Fatwa bahkan tampak gagah dengan safari abu-abunya. Ia malah sempat membaca majalah yang dibawanya, senyum-senyum mendengarkan putusan hakim. Menjelang vonis jatuh, ia malah berkaca dan menyisir rambutnya. Hari itu majelis hakim perkara Fatwa dan Djaelani menyelesaikan kerja beratnya. Baik Jaksa Basrief Arief maupun Soesilo Oeripto langsung menyatakan banding atas putusan itu. Sebab, dengan bandingnya jaksa, perpanjangan penahanan bisa dimintakan dari pengadilan tinggi. Dan hari itu juga Hakim Tinggi Nyonya Aslamiyah Sulaeman memperpanjang masa penahanan Fatwa dan Djaelani selama 30 hari. Fatwa dan Djaelani juga banding. Tapi persoalan ternyata belum selesai. Proses persidangan ditanggapi koordinator tim pembela perkara subversi, Adnan Buyung Nasution dan Harjono Tjitrosoebono, sebagai "melampaui batas kewajaran": "Persidangan cepat tidak harus diartikan dengan memforsir persidangan sampai malam hari secara berturut-turut sampai beberapa hari dengan mengabaikan kemampuan dan keselamatan terdakwa." Harjono Tjitrosoebono, yang juga Ketua Ikadin, menyesalkan sikap hakim dan jaksa yang hanya mengejar waktu dengan mengesampingkan hal-hal yang pokok. "Misalnya tentang vonis sehari setelah pledoi, itu 'kan tidak wajar - sebab perkara itu menyangkut terdakwa yang diancam hukuman berat. Alasan waktu itu bukan pertimbangan hukum," ujar Harjono. Ketidakwajaran juga dituduhkan tim pembela ke alamat kejaksaan. "Bagaimana bisa kejaksaan tidak mengajukan replik, padahal ketika saya menyerahkan pledoi secara tertulis--karena Fatwa sakit--jaksa belum tahu apa isinya," ujar Denny Kailimang. Fatwa menuduh ketidakwajaran proses persidangan itu hanya akibat pengadilan sudah disetel. "Sebenarnya saya kasihan kepada jaksa dan hakim, mereka 'kan terpaksa melakukan semua ketidakwajaran itu. Akibatnya, merusakkan citra peradilan," ujar Fatwa, yang membantah keras telah berpura-pura sakit untuk mengulur-ulur sidang. Mepetnya waktu vonis dengan masa penahanan, menurut Fatwa, akibat terlalu lamanya proses pemeriksaannya di tingkat penyidikan dan persidangan pertama. "Setelah ditahan selama tuJuh bulan, saya baru disidangkan, dan sidang pertama itu terlalu santai. Kenapa saat terakhir harus diforsir?" ujar Fatwa. Pihak kejaksaan sebaliknya menuduh Fatwa penyebabnya. Seorang jaksa penuntut umum malah menuduh Fatwa yang bermain sandiwara sehingga persidangan terpaksa pula melanggar proses yang normal. "Ia benar-benar pemain watak. Ia, yang semula sakit, tiba-tiba bisa sembuh dan bergurau dengan menyerahkan kado berupa Quran kepada jaksa ketika vonis selesai dibacakan," ujar jaksa itu. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob Nasution, bahkan menuding semua permainan itu diatur para pengacara di belakang terdakwa. Sasarannya Jelas, sesuai dengan pasal 29 KUHAP, terdakwa akan lepas demi hukum bila vonis melewati batas waktu 24 Desember. Pasal KUHAP itu, boleh jadi, di masa mendatang akan merupakan "celah" hukum acara yang bisa dimanfaatkan pembela yang lihai atau terdakwa yang mampu (lihat Cara Baru Menerobos Tahanan). Ketua Majelis Hakim B.E.D. Siregar juga menuduh Fatwalah yang membuat dirinya sakit. "Dia itu mencari penyakit, misalnya dengan tidak mau makan. Diberi obat juga tidak dimakan, ya, tentu saja tambah sakit," ujar Siregar. Begitu juga ketika Fatwa pingsan. "Waktu ia mau pingsan, saya suruh duduk tidak mau, disuruh minum tidak mau. Ia malah membaca pledoinya tambah keras melengking. 'Kan itu memerlukan tenaga, ya, pingsanlah dia," kata Siregar, yang mengaku baru pertama kali menghadapi perkara seberat kasus Fatwa itu. Siregar, yang mengaku sering sakit kepala dan tidak bisa tidur memikirkan perkara itu, "Setiap hari saya selalu memikirkan apa yang akan terjadi besok. Bayangkan, pledoinya lebih dari 1.000 halaman," ujar Siregar, yang konon berpuasa penuh ketika menangani perkara itu. Ketua Majelis Hakim Imam Soekarno juga mengakui pledoi Djaelani merupakan pembelaan terpanjang dalam sejarah kariernya. Tapi Imam beruntung tidak kepepet oleh waktu. "Sebab, ketika Djaelani membikin ulah dengan sakit-sakitan, kami peringatkan tentang kesanggupan ia dulu berkotbah berjam-jam. Rupanya, ia sadar," ujar Imam. Hakim anggotanya, Hasan Basri, malah memuji Djaelani, "Ia gentleman, memegang prinsip, dan sportif." Persoalannya, kenapa hakim dan jaksa harus panik jika masa tahanan habis sebelum vonis. Padahal, hakim bisa memerintahkan agar terdakwa segera masuk ketika memvonis terdakwa. Apalagi, sesuai dengan Surat Edaran Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Dirjen Pemasyarakatan, 19 November 1983, untuk kasus semacam itu hakim berwenang memperpanjang penahanan. Bahkan, seandainya terdakwa terpaksa dilepas pun, proses perkara tidak akan berhenti. Majelis bukan tidak menyadari soal itu. Tapi, seperti diakui semua majelis perkara subversi itu, soal batas waktu merupakan target. "Kalau vonis terlambat dari masa tahanan, berarti ada kesalahan kami. Tentu ada yang tidak tertib," ujar Imam Soekarno. Rekannya, Hasan Basri, terus terang menyatakan terpaksa menyidangkan Djaelani sampai malam hari karena memang diberi batas waktu sampai 24 Desember. "Itu terpaksa, karena kami diberi target untuk menyelesaikan perkara itu. Kalau tidak selesai, 'kan kami malu," ujar Hasan Basri. Menteri Kehakiman Ismail Saleh membenarkan bahwa persidangan subversi itu ditargetkan tidak melewati batas waktu penahanan. "Kalau tidak demikian, sebelum proses peradilan selesai terdakwa harus keluar tahanan demi hukum. Padahal, untuk mengajukan terdakwa yang ditahan saja susah, apalagi kalau sudah dl luar," kata Ismail Saleh kepada wartawan, pekan lalu. Inilah pengadilan sampai mencret, namanya. Karni Ilyas Laporan Agus Basri & A. Luqman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini