Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Proyek mengkorup kusta

Dr. tadjuddin chalid, mph, bekas kakanwil depkes sul-sel, kini anggota DPR RI, diadili di PN ujungpandang dengan tuduhan korupsi Rp 389 juta pada proyek pengembangan rumah sakit kusta ujungpandang.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKAS Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, yang kini anggota DPR RI, dr. Tadjuddin Chalid, M.P.H., pekan-pekan ini diadili di Pengadilan Negeri Ujungpandang dengan tuduhan korupsi Rp 389 juta. Jaksa Gunawan Diapari, yang membawa perkara itu ke pengadilan, menuduh Tadjuddin, 55 tahun, telah memanipulasikan pengadaan tanah proyek pengembangan Rumah Sakit Kusta Ujungpandang. Perbuatan itu, kata Jaksa, dilakukan Tadjuddin, 1981-1984, bersama pimpinan proyek dr. Andi Antara Munru dan istrinya sendiri, dr. Sri Adriati Tadjuddin, serta bendahara proyek, almarhum Tumin Suradi. Kasus itu memang baru diusut setelah Tumin meninggal pada 1985. Semula tim Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ketidakberesan. Gubernur Sulawesi Selatan A. Amiruddin lantas memerintahkan Satgas Pengawasan Provinsi agar mengusut lebih lanjut. Hasilnya: Tadjuddin tak hanya disangka telah "memainkan" proyek pembebasan tanah itu, tapi juga menyelewengkan anggaran rutin rumah sakit kusta tersebut. Berdasarkan itu, Gubernur meminta kejaksaan tinggi daerah itu supaya meneruskan kasus tersebut ke pengadilan. Pada 1979, menurut jaksa, setelah mengetahui rencana pengembangan rumah sakit kusta tersebut, Tadjuddin memborong tanah-tanah penduduk di Kampung Berua, Kelurahan Daya, Kodya Ujungpandang. Pada 1981, misalnya, ia membeli tanah seluas 30 ribu meter di kampung itu. Hanya saja, untuk amannya, tanah itu diatasnamakan istri, anak, dan keponakannya. Setelah itu, masih dalam tuduhan Jaksa, ia bersama Tumin mengusulkan pemindahan lokasi RS Kusta dari Jongaya ke tanahnya di Kampung Berua tersebut. Begitu usul itu disetujui, pada tahun-tahun berikutnya ia kembali memborong tanah di kampung itu. Modalnya, kata jaksa, justru dicomotnya dari anggaran bendahara proyek. "Terdakwa juga telah menggunakan cek proyek dari BNI 1946 cabang Ujungpandang," ujar jaksa. Pada Mei sampai November 1982, selaku kepala wilayah, Tadjuddin mengeluarkan uang panjar dari proyek masing-masing sebesar Rp 112,5 juta, Rp 50 juta, dan Rp 39,5 juta untuk pembelian tanah-tanah itu. Pengeluaran yang tak sesuai dengan ketentuan pemerintah itu, menurut jaksa, diterima adik kandung terdakwa. Berkat "permainan" itu, kata jaksa, seluruh tanah seluas 87 ribu meter persegi yang dibelinya Rp 70,28 juta itu dijual kepada pemerintah Rp 449,28 juta. Berdasarkan itu, jaksa menghitung "untung" Tadjuddin atau kerugian negara sedikitnya Rp 389 juta. Dengan uang itu pula, Tadjuddin bisa membeli rumah permanen di Ujungpandang senilai Rp 25 juta, dan beberapa bidang tanah seluas 60 ribu meter persegi senilai Rp 72,5 juta. Untuk mendapatkan kekayaan sebanyak itu, menurut jaksa, Tadjuddin melakukan berbagai pelanggaran dalam jabatannya. Ia, misalnya, tak melakukan pengadaan tanah untuk proyek pemerintah yang seharusnya melalui Panitia Pembebasan Tanah. Selain itu, pembayaran tanah itu tak pula dilakukan Tadjuddin di hadapan sekurangnya empat orang anggota Panitia Pemhebasan Tanah. Juga tak ada berita acara pelepasan hak atas tanah itu serta pertimbangannya. Akibatnya, sertifikat tanah itu tak dapat diterbitkan untuk atas nama Departemen Kesehatan RI. Namun, segala tuduhan itu dibantah dr. Tadjuddin. "Saya sudah dua kali dirugikan. Nama saya dicemarkan, dan harga tanah saya tidak dibayar sepenuhnya," kata Tadjuddin -- didampingi istrinya, dr. Sri Adriati, dan pengacaranya, H.M. Ali Abbas -- kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Malah, menurut anggota Fraksi Karya Pembangunan itu, tanahnya senilai Rp 90 juta belum dibayar proyek. Bahkan, katanya, ada pula tanah miliknya senilai Rp 60 juta yang dicaplok proyek. Menurut Tadjuddin, ia sama sekali tak tahu-menahu soal penentuan lokasi proyek, bahkan juga pengangkatan istrinya sebagai pimpinan proyek. "Proyek itu ditangani langsung Departemen Kesehatan," katanya. Tanah di Kelurahan Daya itu, kata Tadjuddin, sudah dibelinya dari warga setempat secara berangsur-angsur sejak 1978. Harganya, waktu itu, mulai dari Rp 300 sampai Rp 5 ribu per meter. Pembelian itu, katanya, sengaja dipersiapkan untuk Perumahan Pemuda. "Tapi belakangan atasan mendesak saya agar menjual tanah itu kepada proyek pembangunan RS Kusta, yang sulit memperoleh tanah. Saya terpaksa melepaskan tanah itu," ujarnya. Jadi, yang benar. "Proyek yang mengemis pada saya," tambahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus