PERUSAHAAN Umum Pos dan Giro telah mengukuhkan kembali kekuasaannya untuk memonopoli semua bisnis pengiriman surat di Indonesia. Sebagai contoh soal, perwakilan perusahaan pemerintah itu di Bali, baru-baru ini, melancarkan sapu bersih (sweeping) terhadap 27 perusahaan angkutan umum dan perusahaan jasa titipan, yang "menyambi" bisnis surat. Kemudian pihak pengusut menyeret 16 pengusaha dari ke-27 perusahaan yang terjaring sweeping itu ke meja hijau. Bahkan lima orang di antara mereka, Senin pekan lalu, dionis Pengadilan Negeri Denpasar, masing-masing 1 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Kelima pengusaha tadi: Agus Sukidi (pemilik LTH Denpasar), Gde Nuraja (agen CV Sukini), Edy Darma Putra (angkutan bis Puspa Sari, I Gusti Ngr Oka Udayanan (dari PO Simpatik Paket Kilat), serta Made Asgita (PO Bali Indah), menurut Hakim Suyatno, terbukti melanggar Undang-undang Pos, 1984. Menurut undang-undang itu, jasa pengiriman surat hanya bisa dilakukan oleh satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni Pos dan Giro. Kepala Kantor Wilayah Parpostel Bali dan NTB I Gusti Ngurah Ketu membantah jika upaya menuntut pengusaha jasa angkutan itu dilakukan karena terdakwa menggerogoti lahan Pos dan Giro. "Tindakan itu semata-mata karena undang-undang -- bukan lantaran penghasilan Pos dan Giro menurun akibat disaingi mereka," katanya. Menurut Kepala Direktorat Pos dan Giro Ditjen Postel Usman Natadijaya, jasa pengiriman surat pos, warkat pos, dan kartu pos, memang hanya boleh diselenggarakan Pos dan Giro. Sementara itu, pihak swasta yang memperoleh izin dari Menteri Parpostel, katanya, hanya diperkenankan melakukan bisnis pengiriman terhadap surat pos jenis tertentu -- mulai dari barang cetakan, surat kabar, bungkusan kecil, paket, dan uang. Pada kiriman semacam itu, si pengirim tak boleh menyelipkan surat atau pesan yang lebih dari lima kata. Ketentuan itu, menurut Usman, dimaksudkan agar penyelenggaran pos bisa sampai ke semua pelosok daerah -- dengan biaya seragam dan terjangkau masyarakat. Hingga akhir tahun lalu, misalnya, jasa pos sudah menjangkau lebih dari 3.500 kecamatan dan 800-an lokasi transmigrasi di Indonesia. "Jika usaha ini dilakukan pihak swasta, mereka hanya akan melayani yang menguntungkan saja," kata Usman. Tapi salah seorang direksi PT Birotika Semesta -- perusahaan yang menyelenggarakan jasa titipan internasional, DHL World Wide Service -- Agus Sahab menganggap bahwa pihak Pos dan Giro terlalu kaku menerapkan Undang-undang Pos. Misalnya tentang pesan yang tak boleh lebih dari lima kata tadi, sangat sulit dilaksanakan dalam pengiriman surat-surat bank atau dokumen ekspor-impor. Padahal, menurut seorang pengusaha DHL lainnya, sebaiknya pengiriman surat dokumen ekspor-impor ke luar negeri dilakukan pihak swasta ketimbang Pos dan Giro. Banyak negara di dunia, seperti Inggris, Kanada, Amerika, Australia dan Filipina, katanya, sekarang ini telah meninggalkan prinsip monopoli negara dalam pengiriman surat. "Meskipun mahal, tapi lebih terpercaya dan terjamin. Kalau melalui pos, apa bisa dijamin sampai ke tujuan tepat dua hari, dan uang bisa kembali bila kiriman terlambat?" kata pengusaha itu. Gusti Ngurah Ketu membantah sinyalemen itu. Instansinya, katanya, bisa menjamin kecepatan dan ketepatan waktu untuk segala macam pengiriman surat. Sebab, selain menjadi anggota Uni Pos Sedunia (Union Postale Universelle), Pos dan Giro juga telah memiliki fasilitas Express Mile Chusus (EMC). Usman Natawijaya membenarkan bahwa pihaknya, kini, sedang berembuk dengan Asosiasi Perusahaan Pengiriman Barang dan Jasa Titipan Indonesia (Asperindo) untuk lebih menyempurnakan batasan dan kriteria barang yang dianggap surat pos. Di perundingan itu juga akan diputusan soal barang cetakan yang memuat tulisan tambahan lebih dari lima kata, atau kiriman paket yang memuat berita aktual dan bersifat pribadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini