Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis bersalah pengadilan tak menyurutkan ambisi politik bekas Bupati Dharmasraya Marlon Martua Situmeang. Tiga jam sebelum penutupan pendaftaran bakal calon bupati, Rabu malam pertengahan Juni lalu, Marlon mendatangi kantor Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra di Jalan Lintas Sikabu, Dharmasraya, Sumatera Barat.
Bersama delapan anggota tim suksesnya, Marlon membawa setumpuk berkas, seperti data diri, uraian visi dan misi, serta formulir pendaftaran yang telah terisi. Lelaki 56 tahun itu kembali mendaftarkan diri sebagai bakal calon bupati melalui Partai Gerindra. "Kami sempat mempertanyakan status hukumnya," kata Sekretaris Dewan Perwakilan Cabang Partai Gerindra Dharmasraya Erizal ketika menceritakan kembali kedatangan Marlon, Kamis pekan lalu.
Sepekan sebelum Marlon mendaftar, hakim Pengadilan Negeri Padang memvonis dia bersalah dalam kasus korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah Sungai Dareh. Dalam perkara yang merugikan negara sekitar Rp 4,2 miliar itu, Marlon dihukum satu tahun penjara.
Kepada panitia seleksi Partai Gerindra, menurut Erizal, Marlon menjelaskan bahwa dia telah berkonsultasi dengan pengacara dan Komisi Pemilihan Umum. Marlon pun menyebutkan peraturan KPU yang membolehkan orang seperti dia ikut pemilihan kepala daerah. Alasannya, hukuman yang dijatuhkan hakim masih di bawah lima tahun penjara.
Ditemui Tempo di Pengadilan Negeri Padang pada Jumat pekan lalu, Marlon membenarkan akan maju lagi dalam pemilihan Bupati Dharmasraya. Ia pun mengklaim tidak berstatus terpidana karena putusan Pengadilan Negeri belum berkekuatan hukum tetap. "Jadi saya yakin bisa mengikuti pemilihan kepala daerah," ujar Marlon.
KASUS hukum yang membelit Marlon bermula ketika Pemerintah Kabupaten Dharmasraya menganggarkan proyek pengadaan tanah untuk pembangunan RSUD Sungai Dareh pada 2009. Sekretariat Daerah Kabupaten Dharmasraya kala itu menganggarkan uang ganti rugi lahan sebesar Rp 8,5 miliar.
Semula RSUD Sungai Dareh akan dibangun di Jalan Baru Kilometer 5, Pulau Punjung. Di sana akan berdiri bangunan utama rumah sakit, perkantoran, rumah dinas direktur, rumah dinas dokter spesialis, lapangan parkir, dan sekolah perawat. Namun Marlon, yang kala itu menjabat bupati, menolak rencana pembangunan rumah sakit di atas lahan tersebut.
Marlon rupanya punya lahan lain untuk tempat pembangunan rumah sakit. Lokasinya tak jauh dari rencana semula, di Jalan Baru Kilometer 4. Dia pun menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Lokasi Pembangunan RSUD di bekas lahan perkebunan Sungai Kambut itu.
Marlon lantas mematok harga pengganti lahan sebesar Rp 160 ribu per meter. Padahal nilai jual obyek pajak tanah di sana hanya Rp 36 ribu per meter. Nah, ketika kasus ini diusut jaksa, selisih harga sekitar Rp 4,2 miliar itu dihitung sebagai kerugian negara.
Pada 26 April 2011, penyidik Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat menetapkan Marlon sebagai tersangka. Namun, sejak ditetapkan sebagai tersangka sampai divonis bersalah, Marlon tak pernah berlama-lama di tahanan.
Semasa penyidikan, Marlon hanya satu kali memenuhi panggilan jaksa. Selebihnya, ia selalu mangkir. Sejak Juli 2012, jaksa pun memasukkan Marlon ke daftar buron. Kejaksaan Agung lalu mencegah dia bepergian ke luar negeri.
Sewaktu Marlon buron, kejaksaan menjerat tiga bawahan dia. Mereka adalah bekas Sekretaris Kabupaten Dharmasraya Busra, bekas Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Agus Akhirul, dan bekas Kepala Subbagian Tata Pemerintahan Umum Agustin Irianto.
Ketiga anak buah Marlon itu telah divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara sejak 2012. Busra dihukum empat tahun penjara, Agus Akhirul tiga tahun enam bulan, dan Agustin Irianto tiga tahun.
Pada 1 April 2013, jaksa menangkap Marlon di Jakarta. Tak lama kemudian, Marlon dilepaskan dengan status tahanan kota. Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Sugiyono beralasan Marlon meminta penangguhan penahanan dengan alasan sakit. "Ada keterangan dari rumah sakit di Jakarta," ucap Sugiyono.
Marlon menolak disebut melarikan diri. Dia mengaku sedang berada di sebuah apartemen di Malaysia ketika surat pencekalan atas dirinya keluar. "Setelah pencekalan dicabut, saya bisa kembali ke Jakarta," kata Marlon. Selanjutnya, Marlon mengaku berada di Jakarta untuk berobat penyakit penyempitan saraf belakang. "Makanya, ketika sidang, saya selalu pakai penyangga leher," ujarnya.
Di persidangan, jaksa menjerat Marlon dengan pasal berlapis. Pada dakwaan primer, jaksa menjerat Marlon dengan Pasal 2 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan kerugian negara. Ancaman hukumannya minimal empat tahun.
Adapun pada dakwaan sekunder, jaksa menjerat Marlon dengan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur penyalahgunaan wewenang dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Ancaman hukumannya minimal satu tahun penjara. Pada sidang tuntutan, jaksa meminta hakim menghukum Marlon tiga tahun penjara serta membayar denda Rp 200 juta dan uang pengganti Rp 4,2 miliar.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Padang memvonis Marlon bersalah pada 9 Juni lalu. Namun vonis hakim jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa. "Menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun dan denda Rp 100 juta dikurangi masa tahanan kota yang dijalankan terdakwa," ujar ketua majelis hakim Reno Listowo. Hakim pun tak memerintahkan penahanan Marlon.
Menurut majelis hakim, dakwaan primer jaksa atas Marlon tidak terbukti. Marlon hanya terbukti bersalah melakukan korupsi bersama-sama sesuai dengan dakwaan subsider jaksa.
Yang meringankan hukuman, menurut hakim Reno, Marlon sebelumnya tak pernah terlibat permasalahan hukum. Ia pun pernah mengabdi kepada negara sebagai bupati. Hakim juga tak mewajibkan Marlon membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 4,2 miliar. Pertimbangan hakim: Marlon tak menikmati uang tersebut.
Jaksa mengajukan permohonan banding atas vonis hakim yang kurang dari dua pertiga tuntutan mereka. Adapun Marlon mengajukan permohonan banding dengan alasan berbeda. Ia berkukuh merasa tak bersalah dan tak menerima uang dari pembelian tanah itu. "Saya menolak semua dakwaan jaksa," kata Marlon.
Pegiat lembaga antikorupsi Integritas, Arief Paderi, mempertanyakan vonis hakim yang ringan tanpa perintah menahan Marlon. "Putusan setengah hati itu akan membuat publik curiga," ujar Arief.
Yuliawati, Andri El Faruqi (padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo