Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Di Persimpangan Dua Putusan

Sekolah milik Yayasan Pembinaan Anak Cacat Bandung terancam digusur. Menang di jalur perdata, Yayasan kalah di pengadilan tata usaha negara.

6 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keriangan yang selalu menghangatkan sekolah luar biasa di Jalan Mustang, Sukajadi, Bandung, terancam menghilang untuk selamanya. Pasalnya, sebagian lahan sekolah itu akan segera dieksekusi pengadilan tata usaha negara. "Pekan ini kami diundang PTUN Bandung untuk membicarakan eksekusi lahan itu," kata pengacara Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Kota Bandung, Agustinus Pohan, Selasa pekan lalu.

Terletak di tengah perumahan elite Sukajadi, sekolah yang berdiri sejak 1965 itu menempati lahan seluas 4.600 meter persegi. Sebagian besar lahannya berupa taman bermain berkanopi pepohonan rimbun. Sehari-hari, taman itu menjadi tempat bermain para siswa dengan kebutuhan khusus (difabel) bersama pembimbing mereka.

Konflik lahan sekolah YPAC bermula pada 1987. Seorang perempuan bernama Christine Chandra mengajukan gugatan perdata atas hak guna bangunan (HGB) di atas lahan YPAC ke Pengadilan Negeri Bandung. Christine mengklaim di dalam kompleks sekolah terdapat lahan miliknya seluas 625 meter persegi. Klaim itu berdasarkan sertifikat hak milik nomor 1722/Kecamatan Sukajadi, 21 Juni 1978.

Setahun berselang, Pengadilan Negeri Bandung mengabulkan gugatan Christine. Hakim juga menetapkan sita jaminan terhadap tanah sengketa itu. Namun putusan itu dibatalkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dalam putusannya, majelis hakim banding menyatakan YPAC berhasil membuktikan tanah itu milik Yayasan yang diperoleh secara sah. Sedangkan Christine dianggap gagal membuktikan kesahihan klaim kepemilikannya. Di tingkat kasasi, pada 1991, Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan tinggi.

Meski sudah berkekuatan hukum tetap, status tanah YPAC terus diributkan. Ketika YPAC hendak memperpanjang hak guna bangunan pada 2004, Christine mengirim surat ke Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat. Ia meminta BPN memblokir dan menahan sertifikat HGB lahan itu. "Alasannya, saat itu dia sedang mengajukan permohonan peninjauan kembali," ujar Agustinus.

Upaya Christine kembali kandas setelah Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang dia ajukan pada 2006. Kantor Pertanahan Bandung pun akhirnya memperbarui HGB atas nama YPAC, dengan mengeluarkan sertifikat nomor 1077/Kelurahan Sukawarna, 30 Oktober 2006.

Rupanya, langkah Christine belum berhenti. Pada 2012, melalui pengacara Yoky M. Sulaiman, Christine mengajukan gugatan ke PTUN Bandung. Ia meminta sertifikat HGB 1077/Kelurahan Sukawarna dinyatakan tidak sah. Dalilnya, hak guna bangunan yang dikantongi YPAC seharusnya habis pada 2003. Kantor Pertanahan Bandung, menurut Christine, juga tak memberi tahu dia ketika memperbarui HGB pada 2006.

Meski pihak YPAC telah berusaha menjelaskan duduk persoalan kasus ini, majelis hakim PTUN justru memenangkan gugatan Christine. Hakim PTUN juga meminta Kantor Pertanahan menghapus HGB nomor 1077/Kelurahan Sukawarna pada 12 Desember 2012.

Upaya YPAC mengajukan permohonan banding gagal setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jawa Barat menguatkan putusan PTUN Bandung pada 9 Juli 2013. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung kembali membuat YPAC kalah. Majelis hakim yang diketuai Imam Soebechi menguatkan dua putusan pengadilan tata usaha negara itu.

Christine tak bisa dimintai tanggapan soal kemenangan dia di jalur PTUN serta rencana eksekusi lahan sekolah itu. Jumat dua pekan lalu, Tempo mengunjungi rumahnya di Jalan Sukajadi. Namun rumah itu tampak sepi. Tak ada seorang pun yang menyambut Tempo.

Yoky M. Sulaiman juga tak bisa dimintai komentar. Panggilan telepon dan pesan pendek yang Tempo layangkan tak berbalas. Jumat pekan lalu, Tempo menyambangi kantor sekaligus rumah Yoky di Jalan Sari Manis, Sukasari. Seorang perempuan yang mengaku sebagai istri Yoky keluar menemui Tempo. Namun perempuan itu hanya mengatakan suaminya tak bersedia diwawancarai.

Febriyan (jakarta), Iqbal T. Lazuardi S. (bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus