Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARGA Kecamatan Temon bisa bernapas lebih lega setelah menga-lahkan Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X di pengadilan tata usaha negara. "Kami menolak pembangunan di lahan milik masyarakat," kata Martono, koordinator Paguyuban Wahana Tri Tunggal, organisasi bentukan warga Temon, Rabu pekan lalu.
Pada 11 Mei lalu, 43 warga Temon menggugat Surat Keputusan Gubernur Nomor 68/KEP/2015 tentang Izin Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Kulon Progo. Karena penduduk menolak, peletakan batu pertama proyek bandar udara yang sejatinya berlangsung pada Mei lalu itu tertunda.
Selasa dua pekan lalu, majelis hakim PTUN Yogyakarta mengabulkan gugatan masyarakat. Menurut ketua majelis hakim Indah Tri Haryanti, rencana pembangunan bandara baru tak tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ataupun Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Yogyakarta Tahun 2009-2029. Majelis hakim meminta Sultan membatalkan surat keputusan gubernur yang dia tanda tangani pada 31 Maret lalu.
Kebahagiaan warga Temon bertambah setelah, pada Jumat pekan lalu, empat tetangga mereka-Saridjo, Wasiyo, Tri Marsudi, dan Wakidi-juga bebas sesudah divonis empat bulan penjara. Keempat orang itu dituduh merusak fasilitas umum dan menghasut penduduk dalam unjuk rasa menolak pembangunan bandara beberapa waktu lalu. "Kami akan ke Pantai Glagah untuk buang sial," ujar Martono.
PROYEK bandara di Temon berawal dari nota kesepahaman (MOU) antara PT Angkasa Pura I (Persero) dan investor asal India, Grama Vikasih Kendra Power and Infrastructure Limited. Kerja sama dalam bentuk perusahaan patungan (joint venture) itu ditandatangani di India pada 25 Januari 2011. Nilai investasinya Rp 7,5 triliun.
Grama Vikasih Kendra merupakan perusahaan infrastruktur raksasa yang telah membangun sejumlah bandara. Selain membangun bandara internasional Mumbai, perusahaan ini membangun Bengaluru International Airport dan terlibat dalam operasional lalu lintas udara di bandara Bali.
Sekretaris PT Angkasa Pura I (Persero) Farid Indra Nugraha mengatakan pembangunan bandara baru untuk penerbangan sipil di Yogyakarta tidak bisa ditawar lagi. "Bandara Adisutjipto sudah melebihi kapasitas," kata Farid, Rabu pekan lalu.
Berdasarkan data dari PT Angkasa Pura I, jumlah penumpang di Bandara Adisutjipto melonjak tajam. Tiap tahun bandara ini kedatangan 5,8 juta penumpang dari daya tampung yang hanya 1,2 juta orang. Padahal lapangan terbang ini juga masih dipakai untuk kegiatan Akademi Angkatan Udara Adisutjipto. "Perlu lapangan terbang lain untuk membagi beban," ujar Farid.
Dalam perjalanannya, terpilihlah Kecamatan Temon sebagai area calon lapangan terbang baru. Menurut Farid, pesisir selatan Kulon Progo itu paling cocok untuk pembangunan bandara baru. Di samping dekat laut, Kulon Progo tak jauh dari lintasan kereta api yang masih aktif. Kulon Progo juga menyisihkan kandidat lain, yaitu Bantul dan Gunungkidul.
Berdasarkan catatan Tim Persiapan Pembangunan Bandara Kulon Progo, ada 2.603 keluarga yang bakal terkena dampak proyek bandara. Dari jumlah tersebut, 2.234 keluarga menyatakan menerima. Selebihnya menolak.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Yogyakarta Tavip Agus Rayanto menuturkan, sejak awal, warga Temon sudah dilibatkan dalam sosialisasi rencana bandara. Pemerintah juga berkali-kali berunding dengan penduduk yang menolak, tapi tak membuahkan hasil. Pemerintah daerah menjalankan rencana semula karena menganggap penduduk yang berkeberatan tak memiliki posisi hukum yang kuat. "Mereka hanya penggarap lahan," kata Tavip.
Martono menolak jika penduduk yang menolak proyek bandara dituding hanya sebagai penggarap lahan. Menurut dia, warga Temon memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat dan letter C. Karena itu, menurut dia, posisi hukum warga Temon secara hukum sangat kuat. "Makanya kami berani menggugat ke PTUN," ujar Martono.
Di pengadilan, majelis hakim menilai surat keputusan pembangunan bandara baru lemah karena hanya berlandaskan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Kabupaten Kulon Progo Tahun 2012-2032. Pasal 18 aturan ini menyebutkan rencana pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kecamatan Wates, Kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Galur.
Menurut hakim, Peraturan Tata Ruang Kulon Progo itu bertentangan dengan induknya-Rencana Tata Ruang Wilayah Yogyakarta. Pasal 22 huruf b Peraturan Daerah Tata Ruang Yogyakarta hanya menyebutkan strategi pengembangan jaringan transportasi udara. Salah satu langkahnya adalah menyediakan ruang untuk pengembangan Bandara Adisutjipto. Selanjutnya, Pasal 23 ayat 2 Undang-Undang Tata Ruang Yogyakarta hanya menerangkan bahwa pengembangan Bandara Adisutjipto akan memadukan fungsi terminal angkutan bus antarwilayah, kereta api, dan angkutan perkotaan.
Karena kedua pasal itu sama sekali tak menyebutkan lokasi pengembangan bandara, majelis hakim PTUN meminta Sultan mencabut Surat Keputusan Gubernur tentang Izin Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Pengembangan Bandara Baru di Kulon Progo itu. Menurut Tavip, penilaian hakim PTUN bahwa kedua peraturan tata ruang itu bertentangan tidak tepat. Namun ia membenarkan bahwa rancangan tata kota provinsi tak menyebutkan lokasi pasti pembangunan bandara.
Tavip beralasan, ketika Peraturan Daerah Tata Ruang Yogyakarta disusun pada 2010, belum ada studi kelayakan pembangunan bandara. "Makanya tidak dicantumkan dulu," katanya. Hasil studi kelayakan baru ada pada 2012. Karena itu, menurut Tavip, wajar bila lokasi persis bandara baru tercantum dalam tata ruang Kulon Progo.
Tavip menambahkan, penyusunan Peraturan Daerah Tata Ruang Kulon Progo sesuai dengan Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal itu menyebutkan penetapan rancangan tata ruang wilayah kabupaten/kota harus mendapat persetujuan substansi dari menteri setelah mendapat rekomendasi gubernur.
Nah, menurut Tavip, Peraturan Daerah Tata Ruang Kulon Progo telah memperoleh rekomendasi Gubernur Yogyakarta pada 28 Oktober 2010. Adapun persetujuan substansi dari Menteri Pekerjaan Umum keluar pada 26 Juli 2011. "Sehingga posisi kami sebenarnya kuat," ujar Tavip.
Kuasa hukum warga Temon, Rizki Fatahillah, punya pendapat berbeda. Jika merujuk pada tata ruang wilayah Yogyakarta, menurut dia, pemerintah seharusnya mengembangkan Bandara Adisutjipto, bukan membangun bandara baru. Masalahnya, kata Rizky, Peraturan Daerah Tata Ruang Kulon Progo seperti berdiri sendiri.
Secara hierarki, menurut Rizky, Perda Kulon Progo seharusnya merujuk pada peraturan tingkat provinsi. Peraturan Daerah Tata Ruang Yogyakarta ditetapkan pada Maret 2010, sedangkan Tata Ruang Kulon Progo ditetapkan dua tahun setelahnya. "Yang terjadi, kedua aturan malah bertentangan," ucap Rizky, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Meski kalah di PTUN, Sri Sultan berkukuh akan melanjutkan pembangunan bandara di Temon. "Itu karena perbedaan penafsiran dari hakim saja," kata Sultan, Rabu pekan lalu. Menurut Sultan, aturan tata ruang di wilayah Yogyakarta juga tidak tumpang-tindih karena sudah diperiksa Kementerian Pekerjaan Umum. "Nanti kami akan banding," ucapnya.
PT Angkasa Pura I mendukung langkah pemerintah Yogyakarta yang akan mengajukan permohonan banding. "Akan kami perkuat dengan data yang belum terungkap di pengadilan," kata Farid. Termasuk data itu adalah dokumen notulensi rapat dengan Kementerian Pekerjaan Umum.
Sebaliknya, masyarakat Temon tetap akan menolak pembangunan bandara di wilayah mereka. Alasan mereka pun tak berubah. "Lahan pesisir ini menghidupi kami dan anak-cucu. Silakan cari lahan lain," ujar Martono.
Syailendra Persada (jakarta), Pito Agustin Rudiana (yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo