Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat *
ADA gonjang-ganjing dari Athena hingga Beijing. Inilah?akhir dramatis paruh pertama 2015.?Yang mencemaskan, di balik tabir ketidakpastian, masih ada lagi ancaman pada rupiah dan bursa saham di paruh kedua 2015.
Ada baiknya kita tengok dulu apa yang terjadi.?Tepat akhir Juni 2015, Yunani resmi mengemplang pembayaran US$ 1,7 miliar ke Dana Moneter Internasional (IMF). Perdana Menteri?Yunani Alexis Tsipras mengakhiri perundingan yang gagal dengan gagah, mencemooh para kreditor seraya menolak tawaran manis yang ia anggap palsu.?
Rakyat Yunani yang compang-camping. Mereka harus antre berjam-jam di mesin-mesin anjungan tunai mandiri (ATM), yang maksimal hanya boleh memuntahkan jatah 60 euro sehari untuk setiap rekening. Semua transaksi perbankan berhenti. Ekonomi yang cuma berbasis transaksi tunai jelas terseok-seok.
Investor di seluruh penjuru dunia pun mencemooh pemerintah Yunani bertingkah kekanak-kanakan, sehingga menggagalkan negosiasi. Tapi yang paling penting buat pemain di pasar hanya satu: akankah krisis Yunani menular pada paruh kedua 2015 dan ke negara mana??
Lain lagi heboh di pasar saham Cina. Otoritas keuangan di Beijing tengah mencoba segala cara untuk menghentikan longsornya harga saham yang sudah ambrol sekitar 30 persen sejak pertengahan Juni. Jumat pekan lalu, misalnya, indeks saham di Shanghai dan Shenzhen, dua bursa utama di sana, rontok masing-masing 5,8 persen dan 5,7 persen hanya dalam sehari.
Bank Sentral Cina sudah menurunkan suku bunga, toh harga saham masih luruh. Kini pemerintah Cina mulai memakai tangan besi: mengincar spekulator yang gemar memakai?short selling, transaksi derivatif yang memberikan keuntungan kepada pemain yang benar menebak ketika harga saham merosot.
Tak ada yang berani menjamin apa yang bakal terjadi setelah referendum Yunani, Ahad lalu. Semua juga belum yakin pasar saham Cina tak akan tergulung lebih jauh lagi. Lagi pula kedua faktor ini boleh jadi sudah tecermin dalam pergerakan rupiah ataupun harga saham di Bursa Efek Indonesia.
Maka yang perlu kita amati dengan saksama adalah satu sinyal buruk yang lamat-lamat terdengar lagi. Kenaikan suku bunga The Fed tampaknya tak terelakkan pada September nanti.?
Sejarah sepertinya akan berulang. Pada 2013, pengumuman The Fed menghentikan program pembelian obligasi pemerintah Amerika Serikat alias?tapering?membuat mata uang berbagai negara kelojotan kehilangan nilai. Kala itu JPMorgan menatahkan istilah?fragile five?untuk lima negara (Brasil, India, Indonesia, Turki, dan Afrika Selatan) yang paling parah terkena?tapper tantrum.?
Kini Richard Iley, Kepala Ekonom Emerging Markets di BNP Paribas, membuat kelompok baru lima negara yang bisa menggelepar lagi jika bunga The Fed jadi naik. Kelimanya adalah PICTS-singkatan dalam bahasa Inggris untuk Peru, Indonesia, Kolombia, Turki, dan Afrika Selatan.?
Kenaikan bunga The Fed memang belum pasti. Tapi masuknya Indonesia ke kelompok PICTS membuat mikroskop investor mulai mengarah kemari. Sudah waktunya kita mengupas semua analisis untuk mengambil posisi.
*) Kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo