KEREPOTAN para advokat mencapai puncaknya tepat pukul sembilan tiga puluh pada Minggu malam. Harjono Tjitrosoebono, tokoh advokat senior, segera diserbu dan digendong para pendukungnya, begitu ia memastikan diri terpilih sebagai Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) pertama. Melalui acara pemungutan suara yang memakan waktu sekitar empat jam, Ketua Umum Peradin (organisasi advokat terbesar) itu meraih kemenangan mutlak, 184 suara dari 429 pemilih. Saingan kuatnya sesama unsur Peradin, Yan Apul, hanya memperoleh 86 suara. Sementara Albert Hasibuan dan R.O. Tambunan (yang terakhir itu non-Peradin) mendapatkan 69 dan 30 suara. Terpilihnya Harjono dan ketukan palu Ketua Sidang, Denny Kailimang, pada malam itu menandai pula berakhirnya ingar bingar pertarungan antara berbagai kelompok pengacara di musyawarah nasional (munas) itu. Selama empat hari munas, yang dibuka semua petinggi hukum - Ketua Mahkamah Agung Ali Said, Menteri Kehakiman Ismail Saleh, Jaksa Agung Hari Soeharto - dan Pangab Jenderal Benny Moerdani, diwarnai berbagai isu dan kasak-kusuk. Hampir di semua pojok Hotel Indonesia, tempat munas berlangsung, menjadi ajang lobi kelompok-kelompok yang ikut bermain. Yang sempat menegangkan hampir semua peserta, selain isu dana panitia yang bocor, juga tentang siapa calon ketua umum. Sebagian menyebutkan bahwa pengurus Ikadin sudah disusun dari "atas", tapi kelompok lainnya membantahnya. Suasana semakin tegang, karena munas wadah tunggal ini pulalah untuk pertama kalinya acara para advokat harus dijaga ketat oleh petugas-petugas keamanan berpakaian preman. Saling tarik urat leher antara berbagai kelompok di munas itu bahkan beberapa kali nyaris menimbulkan baku hantam di antara sesama peserta. Pertentangan bukan lagi antara Peradin dan non-Peradin, tapi juga meningkat di antara sesama kelompok orgamsasi itu. Semula, sejak 1964, para advokat bergabung dalam satu-satunya organisasi, Peradin. Wadah itu, kata seorang pendirinya, Soekardjo, merupakan gabungan dari balai-balai advokat yang ketika itu berdiri di kota-kota besar Indonesia. Pada masa awal Orde Baru, Peradin pulalah satu-satunya organisasi pengacara yang diakui pemerintah, dan menjadi rekan dekat penguasa dalam mengadili tokoh-tokoh PKI. Namun, pada 1979, organisasi pengacara yang berwibawa itu mulai retak. Bermula dari tindakan pimpinan pusat (DPP) Peradin memecat Ketua Cabang (DPC) Peradin Jaya, Soenarto Soerodibroto, menyusul ribut-ribut isu "mafia peradilan". Soenarto, ketika itu, dituduh DPP menghimpun dana untuk jaksa dan hakim dalam perkara korupsi Kepala Dolog Kalimantan Timur, Budiaji, yang pernah menghebohkan. Tindakan DPP Peradin itu mendapat reaksi keras dari beberapa anggota. Akibatnya, lima orang anggota, di antaranya Amin Arjoso dan Nurbani Yusuf, terkena pemecatan serupa. Mereka itu belakangan, 1980, menghimpun kekuatan dan membentuk Fosko (Forum Studi dan Komunikasi) advokat, bersama-sama dengan organisasi-organisasi pengacara di luar Peradin - yang juga menjamur pada masa-masa itu - seperti HPHI (Himpunan Penasihat Hukum Indonesia) yang dipimpin Budhi Soetrisno dan Pusbadhi (Pusat Bantuan dan Pengabdian Hukum Indonesia) yang diketuai R.O. Tambunan. Belakangan organisasi di luar Peradin bertambah lagi dengan LPPH, Golkar, yang diketuai Albert Hasibuan. Semula Fosko advokat itu bagai mendapat angin baik dari pemerintah. Semua petinggi hukum hadir ketika Fosko itu terbentuk. Sementara itu, Peradin seakan-akan tersisih, karena banyak pernyataannya yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah. Hanya saja, sampai ide wadah tunggal tercetus, tidak satu pun organisasi itu - termasuk Peradin - yang diakui pemerintah sebagai satu-satunya organisasi para advokat. Akhirnya, sekitar 1982, berbagai pihak menyadari perlunya wadah tunggal. Adalah Ali Sald, waktu itu menteri kehakiman, yang mencetuskan perlunya hanya sebuah wadah. Atas prakarsanya pula, 1984, tokoh-tokoh pengacara dari berbagai organisasi berkumpul di rumahnya. Pada kesempatan itu, semua tokoh pengacara yang hadir melahirkan ikrar bersama, untuk membentuk wadah tunggal. Tapi, rupanya, tidak mudah bagi para pangacara - yang biasa berdebat - untuk bersatu. Persoalan muncul: Siapa nantinya anggota wadah tunggal itu? Tiga kelompok yang ikut merumuskan rencana munas, Peradin, Golkar (R.O. Tambunan dan Budhi Soetrisno), serta kelompok purnawirawan ABRI, yang belakangan muncul dan bergabung dalam Bina Bantuan Hukum (BBH), pada berbeda pendapat. Peradin menghendaki hanya advokat yang diangkat Menteri Kehakiman yang berhak masuk dalam wadah itu, sementara kelompok purnawirawan ABRI (Duriat Rahario, Amiruddin Syarif, dan R.F.X. Soedardi) menghendaki penasihat hukum non-advokat ikut, bahkan juga kaum pokrol. Pihak Golkar, yang semula sependapat dengan purnawirawan ABRI, belakangan berbalik dan sependapat dengan Peradin (TEMPO, 10 November 1984). Perbedaan pendapat itu seperti tidak akan berakhir. Sebab, kedua pihak sama-sama bersiteguh dengan pendapatnya. Kelompok Peradin khawatir akan kalah di pemilihan bila semua penasihat hukum dan pokrol ikut bersuara. Sebaliknya, kelompok purnawirawan ABRI, tentu saja, merasa akan kalah jika hanya advokat yang ikut. Sebab, sebagian besar dari sekitar 800 pengacara adalah anggota Peradin (saat itu diperkirakan anggota Peradin 600 orang). Di tengah semua itu Ali Said, yang waktu itu sudah menjadi Ketua Mahkamah Agung, melantik 17 orang panitia Munas yang terdiri dari 9 anggota Peradin dan 7 orang dari non-Peradin. Munas pun diancar-ancarkan akan berlangsung November 1984. Ternyata, rencana itu gagal total. Sebab, perbedaan pendapat antara kedua pihak belum terselesaikan. SETELAH tertunda-tunda selama setahun, akhirnya panitia bisa juga menyelenggarakan munas yang ditunggu-tunggu segenap advokat itu. Kedua pihak bisa menyepakati jalan tengah: para peserta munas adalah advokat, atau penasihat hukum yang sudah mendapat izin pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, serta sudah berpengalaman selama tiga tahun. Namun, ganjalan-ganjalan kecil masih muncul. Misalnya, pihak non-Peradin meminta agar munas itu memilih enam orang formatir yang terdiri dari tiga Peradin dan tiga non-Peradin, ditambah seorang formatir netral, yaitu Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Tapi, lagi-lagi, Peradin menolak. Organisasi advokat tertua itu hanya bersedia ikut munas bila formatir nantinya terdiri dari empat orang anggota Peradin dan tiga non-Peradin. Konsep Peradin itu akhirnya bisa disepakati panitia munas. Kesepakatan-kesepakatan itu ternyata tidak mencegah terjadinya ketegangan-ketegangan di munas. Ketegangan itu semakin memuncak menjelang pemilihan formatir pengurus yang direncanakan Sabtu malam. Ketika itu, semakin nyata bahwa pihak Peradin pecah, antara kelompok Harjono dan Yan Apul. Sementara itu, kelompok non-Peradin, khususnya dari Golkar, kaget dengan munculnya calon baru, Albert Hasibuan, yang diisukan pula sebagai calon ketua umum. Gara-gara itu pimpinan sidang mengundurkan acara pemilihan sampai Minggu siang. Malam itu, kabarnya, Yan "disidangkan" oleh DPP Peradin bersama sesepuhnya. Tapi Yan bertahan dan tetap berniat mencalonkan diri sebagai ketua umum. "Sebab, saya diminta anggota DPC. Dan lagi, wajar saja, di masa kini generasi muda harus naik menggantikan generasi tua agar pimpinan lebih segar," kata Yan kepada TEMPO. Kecuali itu, Yan merasa pihak DPP terlalu menganggap enteng pihak DPC. "Kalau mereka rapat, kami tidak pernah diundang. Akibatnya, tidak ada komunikasi," kata Yan Apul. Sementara itu, kemunculan Albert juga menimbulkan pertentangan di kalangan kelompok Golkar dan purnawirawan ABRI. R.O. Tambunan, calon kuat dari kelompok ini, misalnya, keberatan dengan kemunculan anggota DPR itu. "Sebab, sebelumnya saya sudah tanya, tapi ia tidak bersedia duduk dalam kepengurusan wadah tunggal itu. Tiba-tiba kini ia didrop untuk duduk," ujar Tambunan, yang mengaku kaget atas kemunculan Albert. Karena Albert sebelumnya tidak bersedia, tutur Tambunan, ia sudah sepakat dengan Peradin bahwa ketua umum akan terpilih dari Peradin, sementara pihaknya hanya akan mengambil jabatan sekjen. Selain itu kelompok non-Peradin yang memang telah siap akan duduk di dewan formatir adalah R.O. Tambunan, Hakim Simamora dan Arizal Boer. Albert Hasibuan membenarkan bahwa sebelumnya ia tidak berambisi duduk sebagai pengurus dalam wadah tunggal itu. Tapi, katanya, belakangan organisasinya, Golkar, menugasinya untuk ikut tampil. "Apalagi, ternyata, para peserta menghendaki saya untuk duduk. Saya harus menerimanya," ujar Albert. Ketika nama-nama calon formatir diumumkan, Albert memang tidak tercantum. Selain tiga nama di atas, non-Peradin mengajukan lima nama lainnya, yaitu Duriat Rahario, Budhi Soetrisno, Azhar Achmad, R.F.X. Soedardi, dan Amiruddin Syarief. Sementara pihak Peradin, yang mendapat jatah sembilan calon sesuai dengan tata tertib, mengajukan Harjono, Maruli, Syarief Siregar, Mulya Lubis, Nani Razak, Soekardjo, H.J.R. Abubakar, Denny Kailimang, dan Yan Apul. Tapi, ternyata, banyak peserta yang meminta Albert masuk sebagai calon. Albert, yang ketika itu juga ditanya kesediaannya, menyatakan bersedia duduk sebagai formatir. Pimpinan sidang lalu memasukkan namanya sebagai salah satu calon, walau tata tertib sebelumnya menentukan pihak non-Peradin hanya akan mengajukan delapan calon. Tidak terduga, sebagai calon baru Albert bisa masuk tiga besar non-Peradin dengan 204 suara, sementara R.O. Tambunan dan Hakim Simamora mengumpulkan 227 dan 206 suara. Di pihak Peradin, Harjono muncul dengan angka mengejutkan, yaitu 322 suara. Sementara pendampingnya, Maruli, Yan, dan Syarief mendapat 252, 230, dan 198 suara. Ketegangan muncul lagi setelah suara untuk formatir terkumpul dan dewan formatir ditetapkan. Sebab, sebagian besar pendukung Harjono meminta agar ketua umum ditetapkan saja Harjono sebagai formatir, yang meraih suara terbanyak. Permintaan itu, tentu saja, ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang menentang Harjono. Perang mulut antara kedua kelompok melalui lima pengeras suara - yang kadang-kadang dipakai bersamaan hampir tidak terkuasai lagi oleh pimpinan sidang. Apalagi kedua kelompok mengambil posisi berhadapan di depan meja pimpinan sidang. Untunglah, di saat kritis itu, Harjono menyetujui agar ketua umum dipilih kembali dari semua formatir terpilih. Ia ternyata memenangkan pertarungan itu dan otomatis diangkat sebagai ketua umum. Sementara jabatan sekjen, yang merupakan jatah non-Peradin, diserahkan kepada Albert Hasibuan. Soalnya, kini, apakah wadah baru itu akan menjadi organisasi yang mandiri dan mempunyai kebebasan. Banyak yang meragukan hal itu. Sebab, untuk terlaksananya munas itu saja, pihak panitia terpaksa memungut sumbangan dari berbagai perusahaan pemerintah dan swasta yang diperkirakan meliputi Rp 60 juta. Apalagi dengan banyaknya unsur yang melebur dalam organisasi baru itu. R.O. Tambunan, misalnya, menyangsikannya. "Saya pikir belum akan bisa dalam waktu sekarang. Sebab, banyak unsur yang tarik-menarik di wadah baru itu. Harapan saya, wadah itu benar-benar bisa profesional. Kalau mau main politik, tidak di sini tempatnya," ujar Tambunan, yang berniat membubarkan Pusbadhinya, bila Ikadin benar-benar bisa menampung aspirasi anggotanya. Ketua umum terpilih, Harjono Tjitrosoebono, juga tidak yakin organisasi barunya akan sebebas Peradin yang semula dipimpinnya. "Idealnya memang kita harus bebas dan mandiri. Tapi, kenyataannya saya terjepit sekarang. Sebab, semula direncanakan unsur Peradin itu di formatir empat orang, sekarang Yan Apul telah menyeberang, berarti unsur non-Peradin yang lebih banyak," ujarnya. Sebaliknya, Sekjen Ikadin, Albert Hasibuan, optimistis wadah tunggal itu akan mampu mandiri dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa benar-benar mendapatkan tempat yang sentral di masyarakat. "Yang penting, lembaga itu tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak di luar profesi itu," ujar Albert. Ia juga yakin, dengan organisasi itu para pengacara akan bisa mengembangkan profesinya, bahkan menegakkan hak asasi manusia. "Tapi bukan berarti tidak ada kerja sama dengan pemerintah," ujar Albert Hasibuan. Apa yang diucapkan Albert Hasibuan, yang juga Ketua Komisi Anggaran Dasar di munas itu, memang telah tertampung di anggaran dasar. Tapi soalnya adakah pihak pemerintah akan sepakat dengan isi dari anggaran dasar organisasi baru itu. Sebab, hampir semua pejabat tinggi pemerintah, seperti kata Advokat Adnan Buyung Nasution, melihat hukum itu secara hitam-putih. "Aspek keadilan kurang mendapat perhatian pemerintah dalam sambutan munas itu. Padahal, tanpa aspek keadilan, hukum itu berubah menjadi perpanjangan tangan penguasa," ujar Buyung, salah seorang ketua Peradin. Aspek yang lebih disoroti para pejabat pemerintah, memang, lebih ke arah "ketertiban" para advokat setelah terwadah menjadi satu. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, misalnya, menilai wadah baru itu akan lebih memudahkan pembinaan para advokat. Sebab, nantinya, kata Ismail Saleh, para advokat akan diawasi langsung oleh organisasinya. "Tanpa rekomendasi wadah tunggal, Menteri Kehakiman tidak akan mengangkat seorang advokat," ujar Ismail Saleh. Senada dengan Ismail Saleh, adalah Kapolri Anton Soedjarwo, seperti terlihat dalam sambutan tertulisnya. Ia berharap wadah itu akan lebih berfungsi sebagai pengawas bagi para pengacara, sebagaimana pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap penyidik. Peradin, dengan suara terbanyak, memang berhasil mendominasi munas di dalam pertarungan selama empat hari, siang-malam itu. Tapi adakah tokoh-tokoh Peradin yang kini duduk di Ikadin bisa menjalankan amanat pemerintah itu dan sekaligus berpegang kepada aspirasi-aspirasinya selama mi? Agaknya sejarah yang akan membuktikannya. Yang pasti, pemrakasa wadah tunggal, Ali Said, tak menutupi kegembiraan dan sejumlah harapannya. "Hari ini saya sangat bahagia. Cita-cita untuk berwadah tunggal selama bertahun-tahun sekarang bisa diwujudkan," ujar Ali Said, ketika membuka munas itu. Karni Ilyas Laporan Bunga S. & Eko Y. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini