Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menilai tidak adanya keterwakilan gender dalam komposisi pimpinan KPK periode 2024-2029 bukan masalah. Penilaian itu dia sampaikan setelah DPR RI memilih lima orang laki-laki untuk menjadi pimpinan KPK periode selanjutnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Alexander, tidak adanya representasi perempuan dalam susunan pimpinan KPK sudah pernah terjadi sebelumnya. “Dulu (pimpinan KPK) jilid pertama enggak ada juga ya, jilid kedua kalau enggak salah enggak ada juga, baru ada jilid keempat dan jilid kelima itu pun (pimpinan perempuan menjabat) setengah periode,” kata Alexander di Gedung KPK Merah Putih, Setiabudi, Jakarta Selatan pada Jumat, 22 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alexander mengatakan perempuan tetap bisa berperan dalam pemberantasan korupsi meski tidak menjadi pimpinan KPK. Salah satunya, kata dia, melalui berbagai program pemberantasan korupsi yang melibatkan perempuan.
Perempuan, kata Alexander, kerap terlibat dalam berbagai program-program KPK, seperti kampanye antikorupsi. “Artinya kan bisa saja, tidak harus ada keterwakilan gender (di tingkat pimpinan) tetapi program kampanye itu tetap bisa dilakukan secara efektif juga,” ujar Alexander.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2024-2029 melalui pemungutan suara pada Kamis, 21 November 2024. Mereka adalah Setyo Budiyanto, Fitroh Rohcahyanto, Johanis Tanak, Ibnu Basuki Widodo, dan Agus Joko Pramono.
Terpilihnya kelima pimpinan KPK tersebut menuai kritik karena tidak adanya keterwakilan perempuan. Ketua IM57+ Institute--organisasi gerakan anti korupsi yang didirikan oleh para eks pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi, Lakso Anindito, merasa kecewa terhadap Komisi III DPR yang dinilai kurang berkomitmen dalam menciptakan keberagaman di kepemimpinan KPK.
Tanpa perwakilan perempuan dan masyarakat sipil, kata dia, banyak yang khawatir KPK akan kehilangan perspektif yang lebih luas dalam pemberantasan korupsi. Pemilihan pimpinan KPK ini juga menimbulkan spekulasi bahwa reformasi internal dalam tubuh KPK bisa terhambat.
Menanggapi tidak ada keterwakilan perempuan, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil, menjelaskan tidak ada aturan yang mengharuskan keterwakilan perempuan atau latar belakang tertentu dalam pemilihan pimpinan KPK.
Menurut Nasir, komposisi pimpinan KPK sepenuhnya diserahkan pada proses seleksi oleh DPR dan pemerintah, tanpa ada mandat khusus yang mengatur tentang hal tersebut. “Jadi teman-teman dari masyarakat sipil tidak terwakili, dan memang tidak ada aturan yang mengharuskan seperti itu,” ujarnya.