Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menilai pemberantasan korupsi di Indonesia sulit diberantas karena risikonya yang kecil dibandingkan keuntungan. Dia menyebut pelaku tindak pidana korupsi memiliki keuntungan yang besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebabnya, kata dia, karena belum ada Presiden di Indonesia yang serius untuk memberantas korupsi. “Belum ada pimpinan negara yang berani men-declare zero tolerance terhadap korupsi," kata Alexander Marwata di Puncak Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemberantasan korupsi tidak cukup dengan pidato dan 'omon-omon'. Untuk memberantas kejahatan rasuah, ucap Alex, yang diperlukan adalah implementasinya atau aksi nyata dari pemimpin negara.
Sebab, Alex berpandangan bahwa pimpinan KPK tidak bisa menuntaskan masalah korupsi lebih dari 30 persen. "Pimpinan tidak akan bisa menyelesaikan kasus di atas 30 persen, yang bisa menyelesakan ya Presiden, itu pun 30-60 persen," ujarnya.
Padahal saat ini, dibutuhkan keseriusan dari pemimpin negara agar pemberantasan korupsi benar-benar bisa diterapkan seperti Singapura dan Hongkong. "Dengan kekuasaan memerintahkan seluruh aparat untuk memerangi korupsi, kita belum pernah punya pimpinan seperti itu,” katanya.
Dia menilai tidak tegasnya sikap pemerintah inilah yang membuat indeks persepsi korupsi (IPK) turun bahkan stuck. Indonesia harusnya bisa belajar dari Singapura maupun Hong Kong yang terbebas dari korupsi lantaran menerapkan prinsip zero tolerance.