Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Wakil Ketua KPK: Pemberantasan Korupsi Tidak Cukup dengan Hanya Pidato dan Omon-omon

Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, KPK tak bisa menuntaskan masalah korupsi lebih dari 30 persen. Ada yang jadi tanggung jawab presiden.

13 September 2024 | 14.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata memberikan keterangan saat konferensi pers terkait penetapan tersangka kasus korupsi PLTU Bukit Asam di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 9 Juli 2024. KPK menahan General Manager pada PT. PLN (Persero) UIK SBS Bambang Anggono, Manager Enjiring PT. PLN (Persero) UIK SBS Budi Widi Asmoro, dan Direktur PT Truba Engineering Indonesia (TEI) Nehemia Indrajaya dalam dugaan tindak pidana korupsi terkait Pekerjaan Retrofit Sistem Sootblowing PLTU Bukit Asam Unit Pelaksana Pembangkitan Bukit Asam PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (UIK SBS) Tahun 2017 - 2022 yang merugikan negara sekitar Rp25 miliar. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menilai pemberantasan korupsi di Indonesia sulit diberantas karena risikonya yang kecil dibandingkan keuntungan. Dia menyebut pelaku tindak pidana korupsi memiliki keuntungan yang besar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyebabnya, kata dia, karena belum ada Presiden di Indonesia yang serius untuk memberantas korupsi. “Belum ada pimpinan negara yang berani men-declare zero tolerance terhadap korupsi," kata Alexander Marwata di Puncak Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 12 September 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, pemberantasan korupsi tidak cukup dengan pidato dan 'omon-omon'. Untuk memberantas kejahatan rasuah, ucap Alex, yang diperlukan adalah implementasinya atau aksi nyata dari pemimpin negara.

Sebab, Alex berpandangan bahwa pimpinan KPK tidak bisa menuntaskan masalah korupsi lebih dari 30 persen. "Pimpinan tidak akan bisa menyelesaikan kasus di atas 30 persen, yang bisa menyelesakan ya Presiden, itu pun 30-60 persen," ujarnya.

Padahal saat ini, dibutuhkan keseriusan dari pemimpin negara agar pemberantasan korupsi benar-benar bisa diterapkan seperti Singapura dan Hongkong. "Dengan kekuasaan memerintahkan seluruh aparat untuk memerangi korupsi, kita belum pernah punya pimpinan seperti itu,” katanya.

Dia menilai tidak tegasnya sikap pemerintah inilah yang membuat indeks persepsi korupsi (IPK) turun bahkan stuck. Indonesia harusnya bisa belajar dari Singapura maupun Hong Kong yang terbebas dari korupsi lantaran menerapkan prinsip zero tolerance.

Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus