Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi masyarakat sipil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengkritik perihal pendekatan militerisme dalam penertiban kawasan hutan oleh Presiden Prabowo Subianto. Kritik itu menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang di dalamnya mengatur pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. Panglima Tentara Nasional Indonesia menjadi wakilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Keterlibatan tersebut bertentangan dengan tugas, fungsi dan peran TNI sebagai alat pertahanan negara,” ujar Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian pada Senin, 27 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mempertanyakan pelibatan Kementerian Pertahanan dalam penertiban Kawasan hutan tersebut. Dalam komposisi Satgas, Menteri Pertahanan menjabat sebagai ketua. Wakilnya meliputi Jaksa Agung, Panglima TNI dan Kapolri. Anggota Satgas terdiri atas Menteri Kehutanan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta Menteri Keuangan.
Menurutnya, keterlibatan TNI justru mempertanyakan kompetensi kementerian lain yang lebih berwenang. Pasalnya, Perpres tersebut spesifik mengatur perihal penerapan Pasal 110 A dan Pasal 110 B UU Cipta Kerja tentang denda administratif dan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2021 tentang tata cara penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari denda administratif. Sebelumnya kewenangannya ada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Saat ini Kejaksaan Agung sedang mengusut dugaan korupsi tata Kelola sawit di KLHK yang kerugiannya diperkirakan mencapai Rp 300 triliun. Angka itu pernah dibocorkan oleh BPKP dan oleh Jampidusus disebut pengusutan yang tengah mereka lakukan memang bersinggungan dengan data itu.
Menurut Uli, Perpres ini menyamakan pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi dengan masyarakat adat yang melakukan pemanfaatan di kawasan hutan tanpa izin. “Kekhawatiran terbesar Perpres Penertiban Kawasan Hutan ini justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan.” Ia mengatakan perlu ada pendekatan yang berbeda antara penertiban bagi perusahaan nakal dan masyarakat adat yang memang mengandalkan hutan sebagai penghidupan mereka.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengatakan untuk memastikan Perpres ini bertujuan menertibkan izin konsesi perusahaan nakal, ia meminta pemerintah membuka data perusahaan mana saja yang beroperasi secara ilegal dan dikenai denda administrtaif. “Jangan sampai Perpres ini malah digunakan sebagai alat untuk melegitimasi resettlement Masyarakat Adat yang mendiami kawasan secara turun-temurun,” ujar dia.