Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Yang Keempat, Jangan Lolos

Steven alias Chan Tin Chong, 30, warga Malaysia yang terbukti menyeludupkan 420 gram heroin divonis mati PN Jak-Bar. Rekannya Maniam Manusamy, 27, pembawa barang haram itu divonis seumur hidup.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Yang Keempat, Jangan Lolos
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
STEVEN alias Chan Tin Chong, 30, akhirnya menjadi orang keempat yang divonis mati karena kasus narkotik di Indonesia. Sabtu pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan ia bersalah terlibat dalam penyelundupan 420 gram heroin. "Narkotik dapat digunakan untuk tujuan subversif dan menghancurkan hidup berbangsa dan bernegara. Karena itu, penyelundupan narkotik harus diberantas," begitu antara lain kata pimpinan majelis hakim, Abdurrachman, dalam putusannya. Sejak awal, perkara warga negara Malaysia itu cukup menarik perhatian. Majelis hakim terpaksa menyediakan seorang penerjemah bahasa Cina, karena bujangan itu mengaku tak bisa berbahasa Indonesia. Selama sidang berlangsung, meski sudah ada penerjemah, ia lebih banyak diam atau menyangkal habis-habisan tuduhan jaksa. Padahal, saat diperiksa polisi, konon, ia bisa berbicara dengan lancar dalam bahasa Indonesia. Seusai mendengar vonis, ia juga menjawab dengan lancar pertanyaan Agus Basri dari TEMPO - dalam bahasa Indonesia. "Saya tidak tahu apa-apa. Saya dijerumuskan Maniam. Tuhan tahu itu," ujarnya seraya mengangkat tangan ke atas. Maniam--lengkapnya Maniam Manusamy, 27 - yang dimaksud adalah kurir yang ditugasi membawa 420 gram heroin dari Malaysia. Ia bisa lolos dari pemeriksaan di Bandar Udara Soekarno- Hatta pada Juni tahun lalu. Pada tanggal 17Juni, ia disergap petugas Polda Jakarta di Hotel City. Kamar nomor 509 tempatnya menginap digeledah, tapi tak ditemukan apa-apa. Petugas akhirnya menemukan heroin itu di selangkangannya. Steven, yang menurut Maniam adalah pemilik barang, ikut ditangkap saat datang ke hotel. Sabtu dua pekan lalu, oleh pengadilan yang sama, Maniam, kelahiran Johor di Malaysia, itu divonis seumur hidup Dan ia merasa senang dengan vonis sebegitu, yang dinilainya tidak terlalu berat. "Kalau di Malaysia, saya sudah digantung," katanya sambil tertawa. Vonis mati pertama untuk kejahatan narkotik dijatuhkan di Pengadilan Negeri Langsa, Aceh Timur, bagi Lee Wah Ceng, 53, dan Chang Show Ven, 59, Maret 1983. Kedua warga Taiwan yang menjadi awak kapal M.V. An Hsing itu kedapatan menyelundupkan 9,5 kg heroin. Tapi oleh pengadilan tinggi, hukuman itu diperingan menjadi masing-masing 17 tahun penjara. Vonis mati berikutnya adalah bagi Husni alias Yono, 36, dari Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Desember 1984. Husni terbukti bersalah memperdagangkan 700 gram heroin murni bersama dua rekannya, yaitu Yan Abdul Munar dan Singkek Effendi. Munar, ketika itu, diganjar seumur hidup, sedangkan Effendi kena 15 tahun penjara. Belum diketahui apakah sudah ada putusan tingkat banding untuk Husni alias Yono atau belum. Tapi, pria asal Medan itu kini raib entah ke mana. Pada Minggu siang, akhir Mei 1985 lalu, ia termasuk salah satu dari 32 tahanan dan napi yang kabur dari LP Salemba. Santer dugaan, bobolnya LP Salemba diatur oleh pihak dari luar - mungkin sindikat narkotik - yang menghendaki kebebasan Husni. Tak seperti pelarian lain, Husni memang seperti tanpa jejak. Sewaktu pintu utama LP dapat dibuka, para pelarian berebutan mencegat taksi, atau merampas helicak. Tapi Husni seperti hilang begitu saja. Diduga ia ada yang menjemput hingga sampai kini jejaknya tak tercium. Melihat pengalaman yang terjadi dengan Husni, sumber di kepolisian mengharap agar penjagaan terhadap Steven jangan sampai lengah. Memang, Steven - tak seperti Husni dan kawan-kawan - belum pernah mencoba melarikan diri. Namun, ia pernah mencoba, sedikitnya tiga kali, bunuh diri dengan cara membentur-benturkan kepala ke tembok atau menyilet urat nadinya. "Saya juga pernah menelan tablet keras, tapi kok tidak mati-mati," ujar Steven kepada TEMPO. Ia tetap berkeras mengaku tidak bersalah, dan merasa dijerumuskan Maniam. Ia menunjukkan sepucuk surat dari Maniam dalam bahasa Inggris yang isinya meminta US$ 75 ribu atau Rp 75 juta lebih. Uang itu harus diberikan kepada familinya yang tinggal di Kimlaong Estate di Malaysia. Bila tawaran itu dipenuhi, Maniam berjanji - entah dengan cara bagaimana - untuk meringankan Steven. "Dia gila. Setelah menjerumuskan, dia sekarang malah mau memeras saya," ujar Steven. Betul begitu? Surasono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus