Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritisi pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang meminta prajurit TNI dan personel kepolisian untuk menjaga perkebunan sawit. Menurut Isnur, selain bertentangan dengan tugas aparat keamanan, melibatkan prajurit TNI dan polisi bisa memicu tindakan represif dan bara konflik dengan masyarakat di sekitar perkebunan sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jadi Prabowo sangat salah menempatkan tentara dan polisi sebagai penjaga kebun sawit. Itu sangat melecehkan tentara,” ujar Isnur kepada Tempo, Jumat, 3 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isnur mengatakan, konstitusi mengamanatkan tentara untuk menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Menurut dia, pelibatan aparat keamanan dalam sektor non-pertahanan juga berbahaya karena selama ini konflik agraria kerap terjadi di sekitar konsesi sawit.
Ia menjelaskan sudah saatnya tentara dan polisi tidak dilibatkan dalam urusan yang kerap bersinggungan dengan masyarakat, terutama di sekitar perkebunan sawit yang rawan berkonflik. “Kepolisian tugasnya adalah melindungi, mengayomi masyarakat, dan menegakkan hukum,” ujar Isnur.
Sebelumnya, presiden dalam pidatonya menyatakan Indonesia perlu memperluas perkebunan sawit. Presiden juga menyebutkan perluasan perkebunan sawit itu tidak berhubungan dengan deforestasi atau perusakan kawasan hutan.
“Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?" tutur Prabowo, Senin, 30 Desember 2024.
Dalam rangkaian pernyataan itu, Prabowo pun meminta pemerintah daerah dan aparat TNI-Polri untuk menjaga kebun-kebun sawit. “Jadi jagalah para bupati, gubernur, tentara, polisi, jagalah kebun kelapa sawit kita. Itu aset negara," kata Prabowo.
Alih-alih menjaga kebun sawit, ujar Isnur, harusnya Prabowo memerintahkan polisi memburu para pelaku kejahatan lingkungan. Sebab, kata dia, selama ini peran aparat keamanan dalam mengusut kejahatan lingkungan masih sangat minim. “Harusnya di sinilah aparat keamanan ditugaskan, bukan malah menjaga kebun sawit,” kata dia.
Selain itu, menurut Isnur, selama ini masyarakat yang berkonflik di wilayah perkebunan sawit kerap mendapat tindakan kekerasan aparat dan dikriminalisasi. Prabowo, kata dia, harus menahan diri mewujudkan rencananya memperluas perkebunan sawit.
Dia mengatakan, saat ini masih banyak masyarakat berkonflik dengan sejumlah korporasi besar dan belum terselesaikan. “Konflik sawit ini sangat berbahaya. Perluasan kebun sawit berpotensi merusak kawasan hutan dan menggusur masyarakat yang ada di dalamnya,” ujar Isnur.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, perkebunan sawit merupakan sektor yang paling banyak menyumbang angka konflik agraria di Indonesia. Pada tahun 2023 terjadi 108 letusan konflik agraria di sektor perkebunan dan 88 kasus di antaranya disebabkan oleh perkebunan dan industri sawit.
Angka ini mengalami kenaikan dari tahun 2022 dengan jumlah konflik sebanyak 99 letusan. "Jika ditarik selama pemerintahan Presiden Joko Widodo sebelumnya (2015-2023), konflik agraria akibat perkebunan sawit mencapai 1.131 letusan," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, melalui pesan tertulis, Kamis, 2 Januari 2025.
Dewi mengatakan pelibatan aparat keamanan di sektor perkebunan sawit kerap menggunakan pendekatan represif. Sepanjang 2023, KPA mencatat kasus represif serta kekerasan dari operasi perkebunan telah mengakibatkan 252 (248 laki-laki dan empat perempuan) mengalami kriminalisasi, 52 orang (43 laki-laki dan sembilan perempuan) mengalami penganiayaan, dua orang tertembak dan tiga orang tewas.