Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komisi Yudisial membentuk tim khusus untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik majelis hakim kasasi Ronald Tannur.
Zarof Ricar mengaku pernah berkomunikasi dengan hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur.
Penyerahan uang Rp 5 miliar dari pengacara ke Zarof Ricar mengindikasikan adanya permufakatan jahat.
KOMISI Yudisial membentuk tim khusus untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik majelis hakim kasasi yang menangani perkara Gregorius Ronald Tannur. Langkah ini diambil setelah Zarof Ricar mengaku pernah berkomunikasi dengan salah satu hakim agung yang menangani perkara tersebut. Zarof adalah tersangka makelar kasus dalam vonis bebas Ronald Tannur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Komisi Yudisial akan berkoordinasi dengan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung untuk pendalaman kasus tersebut,” kata juru bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, Kamis, 14 November 2024. “Kami bersepakat melakukan pertukaran informasi atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan tiga hakim kasasi dan hakim lainnya yang terkait dengan kasus ini.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua berawal dari kematian Dini Sera Afrianti di Lenmarc Mall, Surabaya, Jawa Timur, pada 4 Oktober 2023. Polisi menetapkan Ronald Tannur sebagai tersangka. Ronald disangka telah menganiaya Dini hingga tewas. Sangkaan itu diperkuat oleh bukti dan keterangan para saksi. Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya justru memberikan vonis bebas kepada Ronald.
Belakangan, tiga hakim PN Surabaya itu tertangkap tangan menerima suap dari Lisa Rachmat, pengacara Ronald Tannur. Tiga hakim itu adalah Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Mereka ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan gratifikasi dan permufakatan jahat untuk membebaskan Ronald Tannur dari hukuman.
Pada penelusuran berikutnya, tim penyidik menemukan keterlibatan Zarof Ricar, mantan pejabat tinggi di lingkungan Mahkamah Agung. Bahkan, ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, pun ikut terseret dalam kasus ini.
Mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, berjalan menuju mobil tahanan setelah diperiksa di Kejaksaan Agung, Jakarta, 25 Oktober 2024. Dok. Kejaksaan Agung
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan, dari penelusuran kasus suap di PN Surabaya itu, tim penyidik menemukan fakta bahwa Lisa Rachmat meminta Zarof mengurus perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi. "Penyidik tahu ada uang Rp 5 miliar yang akan disetor ke majelis hakim kasasi Ronald,” kata Harli, Jumat, 15 November 2024. "Tapi uangnya belum diserahkan (ke Hakim).”
Uang tersebut diantar sendiri oleh Lisa ke rumah Zarof di Senayan, Jakarta Selatan, pada Oktober 2024. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan Lisa dan Zarof membenarkan adanya serah terima uang Rp 5 miliar tersebut. Bahkan Zarof mengakui telah berkomunikasi dengan salah satu hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur. "Itu nanti kami dalami," ujar Qohar, 25 Oktober 2024. Dia tidak menyebutkan identitas hakim yang ditemui Zarof tersebut.
Berdasarkan data Mahkamah Agung, hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur adalah Soesilo sebagai hakim ketua serta Ainal Mardhiah dan Sutarjo sebagai hakim anggota.
Setelah Ditemukan Indikasi Permufakatan JahatMantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, disebut-sebut menerima uang Rp 5 miliar dari pengacara Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat. Uang tersebut diduga akan diberikan kepada tiga hakim agung yang menangani kasasi Ronald. Penyidik Kejaksaan Agung menemukan indikasi permufakatan jahat untuk meloloskan Ronald Tannur dari hukuman. Komisi Yudisial tengah mengusut dugaan pelanggaran etik tiga hakim agung tersebut. Jika permufakatan jahat itu dapat dibuktikan, tiga hakim agung tersebut bisa dipidana meski belum menerima uang suap. Berikut ini sejumlah aturan yang bisa digunakan: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 5 ayat (2) Pasal 6 ayat (2) Pasal 12 bagian c Sumber: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
|
Harli mengatakan tim penyidik saat ini tengah mengumpulkan bukti-bukti tentang permufakatan jahat dalam penanganan kasasi Ronald Tannur. Meski uang suap belum diterima oleh hakim, bila permufakatan jahat dapat dibuktikan, tiga hakim agung itu dapat dipidanakan dengan Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dalam aturan itu disebutkan setiap orang yang terlibat dalam permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dapat dipidanakan.
Sejalan dengan Komisi Yudisial yang membentuk tim khusus, Mahkamah Agung pun telah membentuk tim pemeriksa. Tim bentukan MA ini juga menelusuri dugaan pelanggaran etik yang dilakukan majelis hakim kasasi Ronald Tannur. “Pemeriksaan telah rampung,” kata juru bicara MA, Yanto. "Hasilnya akan kami umumkan pada Senin."
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai tiga hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur terindikasi kuat dalam permufakatan jahat. Paling tidak indikasi itu ditunjukkan dengan nilai Rp 5 miliar yang diserahkan Lisa kepada Zarof. "Pertanyaan mendasar, mungkinkah angka itu muncul tanpa ada kesepakatan?” kata dia. “Pasti ada komunikasi secara langsung atau tidak langsung sebelumnya."
Hanya, kata Julius, tidak mudah bagi Kejaksaan membuktikan adanya komunikasi yang mengarah pada permufakatan jahat tersebut. Bila dugaan itu bisa dibuktikan, para hakim tersebut bisa dipidana menggunakan Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 12 UU Tipikor meski mereka belum menerima uang suap.
Pendapat serupa disampaikan oleh peneliti dari Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya. Menurut Diky, secara normatif Pasal 6 UU Tipikor mengatur tentang penerimaan janji atas kesepakatan sesuatu. "Jadi sekalipun baru sebatas janji sudah bisa dipidana asalkan ada permufakatan jahat untuk mempengaruhi keputusan,” katanya. “Itu yang perlu dikejar Kejaksaan Agung."
Kejaksaan bisa juga menunggu putusan Mahkamah Agung terhadap tiga hakim tersebut atas dugaan pelanggaran etik. Jika mereka dinyatakan bersalah, putusan MA bisa digunakan sebagai pijakan. "Bisa jadi petunjuk bahwa perbuatan melawan hukumnya sudah terjadi dengan melanggar etik,” katanya. “Itu bisa menjadi bukti ada niat jahat."
Tiga hakim yang menangani kasus Ronald Tannur, yaitu Erintuah Damanik (tengah), Mangapul (kiri), dan Heru Hanindyo, tiba di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, 24 Oktober 2024. ANTARA/HO-Penkum Kejati Jatim
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menekankan Kejaksaan perlu kerja keras membuktikan adanya kesepakatan antara hakim kasasi Ronald Tannur dan Zarof Ricar. "Masalahnya ini kan klaim sepihak Zarof. Jadi, kalau enggak ada pembuktiannya, sulit," ujar dia. Kesulitan pembuktian, menurut dia, terjadi karena uang Rp 5 miliar itu jelas tak mungkin terlacak di rekening karena tidak ditransfer. "Karena belum diberikan kan, jadi sulit pembuktiannya."
Alih-alih berkutat pada uang Rp 5 miliar yang sulit dibuktikan, Kejaksaan sebaiknya berfokus menelusuri temuan Rp 920 miliar dan emas batangan 51 kilogram di rumah Zarof. “Kejaksaan harus berani menegakkan supremasi hukum, termasuk pula menyisir jaringan para mafia peradilan," ujar ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra. Menurut dia, kejahatan lain dalam kasus jual-beli putusan hakim ini juga patut ditelusuri, seperti adanya potensi kejahatan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana perpajakan.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan barang bukti yang disita dari rumah Zarof masih dipelajari oleh penyidik. Namun Kejaksaan tidak bisa membuka nama-nama yang berhubungan dengan barang bukti tersebut. "Karena ini sangat teknis, kami tidak bisa terbuka," kata Burhanuddin saat menjawab pertanyaan sejumlah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 November 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Amelia Rahma Sari dan kantor berita Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini