Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Pada masa lalu, bermain layang-layang bukan sekadar iseng atau hobi. Siapa yang mahir bermain layang-layang dan mampu membuatnya mengudara selama tujuh hari tujuh malam, maka dia berhak menjadi pemimpin. “Tradisi Layang-layang Kaghati Kolope memiliki nilai historis karena digunakan dalam memilih pemimpin,” kata Wa Ode Sifatu, antropolog Universitas Halu Oleo kepada Tempo, Kamis, 14 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kaghati Kolope berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Muna yang tinggal di Pulau Kontu Kowuna, Sulawesi Tenggara. Jelas ini bukan layang-layang biasa. Kerangka wajik yang khas terbuat dari buluh bambu. Badan layangan dari daun kolope. Tali dari serat nanas hutan (hibiscus tiliaceus) yang disebut ghurame, dan seluruh bagian layang-layang direkatkan dengan kulit bambu tipis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sifatu yang pernah meneliti layang-layang ini mengatakan, Kaghati Kolope merupakan simbol harmoni antara manusia dan alam. Sifatu hakul yakin layang-layang Kaghati Kolope termasuk layangan purba. Buktinya, gambar layang-layang ini ditemukan dalam relief di Gua Sugi Patani di Desa Liang Kabori. Ada sekitar sepuluh relief di dalam gua yang menggambarkan manusia, pohon kelapa, dan goresan orang bermain layangan.
Seorang ahli layang-layang asal Jerman, Wolfgang Bieck melakukan penelitian di Muna dan menemukan relief layangan tersebut diperkirakan berasal dari zaman Epipaleolithic (sekitar 9000-9500 sebelum Masehi). Artinya, menurut Sifatu, Kaghati Kolope jauh lebih tua daripada layang-layang yang ditemukan di China.
Temuan ini menjadikannya sebagai salah satu bukti bahwa layang-layang pertama kali diterbangkan oleh manusia di Muna, Sulawesi Tenggara. Sayangnya, tradisi Kaghati Kolope kini terancam punah. Bahan baku kian langka dan tinggal lima perajin layang-layang yang tersisa. Kondisi ini membuat Kepala Desa Liang Kabori, Farlin tergerak untuk membuat Festival Layang-layang Purba guna mengenalkan sekaligus melestarikan Kaghati Kolope.
Festival yang pertama berlangsung pada 2023 dan kini telah menjadi ajang tahunan. Untuk memastikan ketersediaan bahan baku layang-layang, Farlin mengajak masyarakat menanam kolope-sejenis umbi-umbian, dan nenas hutan di lahan seluas dua hektare di sekitar Gua Liang Kabori. Dia juga membentuk kelompok perajin muda layang-layang supaya keterampilan ini dapat lestari.
Upaya Farlin berbuah manis. Festival Layang-layang Purba mampu menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara, seperti dari Jerman dan Korea, serta mendorong perekonomian lokal. Para pelancong dapat menginap di homestay milik penduduk lokal, menikmati kuliner tradisional, hingga membeli suvenir miniatur layangan.
Cenderamata Kaghati dijual Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta. “Penduduk desa yang terlibat dalam pembuatan suvenir ini bisa mendapatkan penghasilan antara Rp 7 hingga 10 juta,” kata Farlin. Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara mendukung upaya pelestarian dan promosi layang-layang Kaghati Kolope. “Festival layang-layang ini bukan sekadar acara budaya, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan tradisi mereka dan memanfaatkan potensi lokal untuk memperbaiki perekonomian,” kata Belli Tombili, Kepala Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah mengusulkan Festival Layang-layang Purba sebagai bagian dari Karisma Event Nusantara di Kalender Event Nasional (KEN) yang sangat bergengsi. Tidak ada lagi seremoni pembukaan festival, seperti memotong pita atau memukul gong. Datang ke Festival Layang-layang Purba dan buktikan tantangan menerbangkan layangan yang menjadi simbol seorang pemimpin. Ayo, tunggu apa lagi?
(*)