Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1><B>Bloger di Burma</B></font><br />Internet Vs Barikade Junta

Bloger menyiarkan berita aksi demonstrasi antipemerintah ke luar Burma. Tapi junta militer menutup saluran Internet.

8 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika pemimpin oposisi Burma, Aung San Suu Kyi, keluar dari rumahnya menyambut rombongan pendeta Buddha dan pendukungnya, Minggu, 23 September lalu, hanya ada satu foto tentang hal itu yang beredar ke luar Burma. Foto itu dikirim lewat blog yang kemudian dipublikasikan Mizzima News, situs berita yang dikelola pembangkang Burma di India. Akibatnya, situs Mizzima dikunjungi 50 ribu orang pada hari yang sama. ”Orang mengatakan mereka ingin melihat lebih banyak foto Aung San Suu Kyi,” ujar Sein Win, Pemimpin Redaksi Mizzima.

Banjir pengunjung juga dialami blog pembangkang Burma di London, Ko-Htike, yang menampilkan foto seonggok otak seorang pelajar di dalam got setelah dia dipukuli tentara hingga tewas di dekat sekolahnya, Tarmway, Yangoon. Ahad, 30 September, blog yang juga menampilkan foto-foto suasana demonstrasi dan kebrutalan tentara dikunjungi 241.713 orang dari 181 negara. Anehnya, pengunjung paling banyak berasal dari Singapura, yakni 60 ribu orang.

Menurut Sein Win, mereka punya banyak sukarelawan di bekas ibu kota Yangoon, tempat ribuan pendeta Buddha, aktivis prodemokrasi, dan rakyat jelata turun ke jalan memprotes junta militer. Mereka kebanyakan mahasiswa yang terus mengirim pesan, gambar, dan klip video tentang demonstrasi. Bloger mulai mengirim pesan dan foto sejak protes pertama berlangsung pada 19 Agustus lalu. Itu berlangsung terus sampai militer mulai main kayu untuk membubarkan demonstrasi pendeta Buddha, dan korban mulai berjatuhan.

Blog mereka dalam bahasa Burma dan Inggris. Bloger memanfaatkan telepon seluler untuk memotret dan menyebarkan hasilnya lewat Internet, menyampaikan pesan pendek, serta ngobrol kelompok secara online tentang situasi mutakhir: di hadapan barikade jalan, tembakan senjata api, juga saat menghadapi tembakan gas air mata. Gerakan people’s power tahun ini berbeda dengan tahun 1988. Waktu itu, pembantaian besar para aktivis prodemokrasi yang mengakibatkan sekitar 3.000 orang tewas tak bisa segera tersebar ke seantero dunia.

Salah satu kunci sukses mereka adalah dukungan para aktivis Burma di pengasingan yang terorganisasi. Video dan foto yang diterima kelompok pembangkang secara otomatis didistribusikan ke kantor berita dan jaringan televisi arus utama. Otomatis hanya merekalah yang mewartakan peristiwa itu ke luar negeri. Tak ada kru televisi yang bisa masuk ke Burma, dan jaringan berita semacam BBC dan CNN terpaksa melaporkan peristiwa di Burma dari negeri tetangga, Thailand. Lusinan penulis blog yang kebanyakan mahasiswa di Yangoon dan Mandalay menyediakan foto, video, dan teks yang diperbarui setiap hari dengan laporan tentang kegiatan gerakan demokrasi, lengkap dengan pengakuan saksi mata.

Kyaw, 23 tahun, mahasiswa kedokteran di Yangoon, mengaku telah mengirim sejumlah rekaman video ke BBC dan kelompok pembangkang Burma yang berbasis di Thailand, dengan menggunakan kamera di telepon seluler dan koneksi Internet yang sangat lambat. ”Berisiko,” katanya. ”Tentara menahan setiap orang yang memotret, menghancurkan telepon seluler mereka, dan memukuli mereka. Tapi kami harus menunjukkan kepada dunia apa yang sedang terjadi.”

Salah satu bloger itu, seorang wanita muda yang menyebut dirinya Dawn, muncul lewat alamat blog www.xanga.com/dawn_1o9. Ia menulis pada Rabu pekan lalu sekitar pukul 01.20 atau 01.30 siang: ”Saya mendengar seseorang menyatakan polisi/tentara mulai menembak ke udara.” Pada pukul 2 siang ia menulis: ”Saya mendengar bus berhenti beroperasi di Jalan Sule Pagoda. Seseorang dari kantor pergi ke sana, dan berlari pulang ketika di sana senjata ditembakkan. Saya mendengar suara tembakan juga, tapi terdengar seperti tepukan. Jadi saya pergi keluar untuk melihat.”

Ia juga menuliskan kembali berita yang ia baca lewat blog lain tentang lima pendeta Buddha yang tewas di Pagoda Shwedagon. ”Di tengah situasi kacau ini, saya sangat ketakutan. Saya khawatir diri saya, khawatir keluarga saya, dan saya khawatir negara saya,” tulis Dawn. Toh, dalam ketakutan, ia masih bisa bercanda: ”Saya akan memberi tahu Anda jika saya tertembak. Saya akan meminta seseorang sebelum mati menuliskannya di dalam blog. Jika saya tewas seketika, saya akan datang ke mimpi adik saya dan meminta dia menuliskannya dalam blog, atau saya tak akan beristirahat dalam kedamaian.”

Dawn sempat menghapus foto pada profilnya. Sebagai gantinya, ia memajang foto seorang bayi bertopi merah. Ia juga menyembunyikan tulisan yang menyebutkan detail pribadinya. Ia menuliskan nama yang sangat mungkin nama samaran: Dawn. Tinggal di Yangoon, Burma, berjenis kelamin perempuan, dengan keahlian menulis, Dawn membuka blog sejak 16 Januari 2004. ”Teman saya mengatakan saya nekat menulis di blog tentang protes itu ketika bingung di mana saya berpihak. Saya tidak berani. Saya seorang pengecut bersembunyi di kantor.”

Itulah halaman terakhir yang ia tulis pada Kamis, 27 September, dengan judul tulisan ”Jam-jam yang Kelam”. Esoknya, Jumat pekan lalu, junta bereaksi, menutup server Internet utama di Burma. Penutupan itu dilakukan dengan merusak kabel Internet. Truk penuh berisi tentara menyerbu kantor penyedia utama layanan Internet, Myanmar Post and Telecom, Myanmar Info-Tech, yang berlokasi di Kampus Hlaing, Universitas Yangoon, untuk memotong akses publik terhadap Internet.

Perusahaan penyedia jasa Internet milik pemerintah, Bagan Cybertech, diperintahkan memperlambat kecepatan koneksi Internet sehingga menyulitkan bagi wartawan dan bloger untuk mengirim foto ukuran besar dan klip video ke luar negeri. ”Butuh beberapa jam untuk foto buat menampilkan penembak-an Rabu pekan lalu,” ujar Vincent Brossel, Direktur Perwakilan Reporters Without Borders Asia Pasifik.

Sebelumnya, Senin pekan lalu, pemerintah juga menutup sejumlah warung Internet di Yangoon, yang secara efektif menutup kegiatan banyak bloger. Tindakan ini adalah respons terhadap membanjirnya foto, video, laporan berita, dan surat elektronik yang dikirim ke luar Burma kepada media internasional oleh rakyat biasa. Pemerintah juga menutup pelayanan telepon seluler. ”Pemerintah paham mereka kalah dalam pertempuran komunikasi,” ujar Brossel.

Bloger kelompok pembangkang Burma di London menyebut mereka tak lagi bisa menerima pasokan gambar atau rekaman video tentang kebrutalan rezim militer Burma setelah pemutusan koneksi Internet. ”Saya takut, jika kami berhenti mengirim foto dan video ke dunia luar, kami akan terlupakan,” ujar Lynn, seorang bloger yang rajin menulis dan mengirim foto dengan resolusi rendah ke kelompok pembangkang Burma di luar negeri.

Burma memang masih terbelakang dalam teknologi informasi. Telepon seluler masih mahal, dan penggunaan Internet hanya satu persen dari populasi penduduk. Apalagi, sebelum heboh politik saat ini, pemerintah menyensor isi Internet serta menghambat akses terhadap berita dari negara asing dan pelayanan surat elektronik. Laporan Open Net Initiative pada 2005 yang diselenggarakan oleh sejumlah universitas menunjukkan junta militer menerapkan pembatasan paling ketat untuk mengontrol Internet.

Tapi, akibatnya, aktivis prodemokrasi dan mahasiswa di Burma menjadi sangat ahli menggunakan trik teknologi untuk menerjang pembatasan itu. Beberapa di antaranya menembus jaringan sensor pemerintah dengan menghubungkan langsung komputer di warung Internet dengan komputer di luar Burma. Selain itu, kelompok pembangkang menggunakan telepon satelit yang sulit dimonitor pemerintah. ”Lebih banyak tekanan terhadap informasi, lebih banyak informasi yang akan keluar,” ujar Aung Zaw, editor Irrawaddy, majalah pembangkang Burma di Thailand.

Raihul Fadjri (Asia Times, Guardian, Independent, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus