Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sabtu pekan lalu, Yangoon sepi seperti kota mati. Para biksu yang telah memerahmarunkan jalan-jalan kota itu berminggu-minggu akhirnya mengetahui destinasi masing-masing. Sebagian besar memang telah kembali ke biaranya—ke Pagoda Sule, Pagoda Ngwe Kyar Yan, dan puluhan lainnya—yang telah dikasih barikade kawat berduri.
Tapi sebagian lagi, sekitar seribu biksu, masuk penjara. Mereka telah melawan dengan segala daya, baik dengan menolak menerima sedekah dari orang-orang yang menjadi bagian dari rezim dan keluarganya maupun dengan terjun ke jalan bersama rakyat sipil. Ada penjara Insein bagi yang berdemo—sebuah penjara khusus yang terkenal di antara aktivis politik sejak dulu. Ada juga sebuah tahanan di Kompleks Institut Teknologi Pemerintah, tak jauh dari penjara Insein, di Yangoon utara. Entah apa kesalahan mereka.
Seorang biksu mengaku, di penjara, mereka dipaksa melepas jubah merah-nya dan mengganti dengan seragam penjara.
Ya, antiklimaks itu terjadi setelah militer memutuskan menghabisi gerakan massa itu dengan kekerasan, pekan lalu. Massa memprotes rezim yang telah menaikkan harga bahan bakar hingga 500 persen. Belakangan, isu bertambah dengan tuntutan pembebasan tahanan politik dan reformasi.
Tentara menyerbu biara-biara, menggunakan pukulan dan peluru tanpa lagi membedakan siapa yang biksu dan siapa yang bukan. Dan di negeri itu, darah orang-orang saleh yang mendapat tempat istimewa di hati masyarakat ini berceceran di lantai biara-biara.
Junta militer sendiri menyatakan sepuluh orang tewas. Tapi Sann Aung, dari National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB)—pemerintahan Burma di pengasingan—yang berkantor di Bangkok, menyebut ada 250 mayat di Yangoon General Hospital. ”Tapi saya yakin lebih banyak lagi yang tewas,” katanya saat dihubungi Tempo. Pada 1988, rezim militer memberangus gerakan prodemokrasi, meninggalkan 3.000 orang tewas. Tahun ini orang cemas: jangan-jangan jumlah korban jauh lebih tinggi daripada yang dilansir pemerintah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri telah mengirim utusan khusus yang dipimpin Ibrahim Gambari. Utusan ini berhasil menemui Aung San Suu Kyi, tokoh oposisi yang dikenai tahanan rumah, dan beberapa anggota junta militer yang berkuasa. Tapi, sampai pekan lalu, rencana untuk berbicara langsung dengan pemimpin tertinggi, Jenderal Than Shwe, belum terlaksana.
”Massa kian melemah dan terus melemah,” kata seorang sumber di kantornya, tak jauh dari Pagoda Sule. Terutama di daerah di sepanjang Pagoda Sule dan Hotel Trader, jalan utama Kota Yangoon, sejak akhir pekan lalu.
Seorang warga Indonesia yang tinggal di Yangoon mengabarkan bahwa gerakan-gerakan massa itu telah memindahkan kegiatannya. ”Demo pindah ke Chinatown,” ujarnya kepada Tempo. Mereka diperbolehkan masuk, tapi kemudian dikunci di daerah pecinan itu. Sejak tentara menyerang biara-biara dan menghantam para biksu, keberanian para demonstran untuk mengulang aksi-aksinya di jalan-jalan menciut. ”Para biksulah yang memberi kami keberanian,” kata seorang perempuan yang ambil bagian dalam demonstrasi besar Kamis pekan lalu.
Para biksu yang memelopori aksi belakangan ini berhasil menarik puluhan ribu warga sipil turun ke jalan. Mereka melawan ketakutan, menentang junta militer. Orang yang mencoba bersuara lantang biasanya langsung diberangus. Hingga akhir tahun lalu, 1.114 tahanan politik memenuhi berbagai penjara di Burma. Di antara mereka terdapat 13 anggota parlemen terpilih, 188 anggota Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi, 143 mahasiswa, dan 85 biksu.
Ketakutan telah menjadi alat ampuh untuk menundukkan masyarakat yang kritis dan lawan-lawan politik junta. Jutaan orang terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk mencari selamat di luar negeri. Menurut Sann Aung, ada 750 ribu orang Burma yang tersebar di berbagai tempat pengungsi. Bahkan, di Thailand sendiri, terdapat jutaan orang Burma yang tinggal secara ilegal. Sebagian lagi, dalam jumlah yang jauh lebih kecil, di Bangladesh.
”Pemerintah merebut tanah kami untuk membangun kamp militer. Mereka juga mengambili orang untuk kerja paksa. Mereka juga tidak memberi kami pendidikan,” Dudu Miah, pengungsi Burma yang kini tinggal di negara tetangga, Bangladesh, mengeluh.
Karena begitu takutnya, para pelarian politik pun tak berani menghubungi keluarga yang masih berada di Burma. ”Mereka bisa dihukum tujuh tahun,” ujar Sann Aung, yang mengaku tak pernah menghubungi keluarganya sejak ia meninggalkan negerinya.
”Sekarang, tak seorang pun mau berbicara kepada orang tak dikenal,” ujar seorang warga. Rakyat Burma kembali ke keadaan biasanya, hidup dalam ketakutan, kebencian, dan kesulitan, tanpa mampu berbuat apa-apa.
Namun tak semuanya takluk. Hingga akhir pekan lalu, ratusan orang masih nekat bermain kucing-kucingan dengan tentara. Seorang demonstran mencoba bertahan. Pemuda di usia awal 20-an tahun itu terus melawan. ”Saya menganggur. Ayah saya juga tak bekerja. Saya tak akan kehilangan apa pun.” Ia nekat, menantang tentara bersenjata dalam setiap kesempatan, sambil membawa-bawa sebuah poster wajah Aung San, pahlawan nasional Burma, ayahanda Aung San Suu Kyi.
Seorang biksu pun berjanji masih akan turun. ”Kami tak memiliki harta, dan kami tak mengharapkan kekuasaan. Kami tak akan banyak kehilangan, dan karena itulah kami siap mengorbankan diri demi rakyat,” ujar Nay. ”Segera setelah mereka bisa, saudara-saudara saya akan kembali turun ke jalan.”
Kondisi ekonomi Burma memang tak menyenangkan buat rakyat. Para pekerja yang awalnya menghabiskan separuh dari upah harian mereka untuk berangkat dan pulang kerja, setelah kenaikan harga BBM, harus menyisihkan 70 persen dari upahnya. Padahal mereka masih harus makan, juga membiayai sekolah anak-anak.
Sann Aung menegaskan perlunya tekanan internasional yang sangat keras untuk membantu gerakan di dalam. Beberapa telah bergerak. Amerika akan memperketat sanksi ekonomi ke rezim militer. Uni Eropa juga galak. Jepang, sebagai negara yang paling banyak memberikan bantuan, juga panas karena wartawan asal negerinya tewas dalam insiden beberapa hari lalu. Kelompok negara yang tergabung dalam ASEAN yang biasanya cukup lunak juga mulai keras.
Sebenarnya, tak banyak yang diketahui orang luar tentang Burma. Menurut Mark Farmaner dari Burma Campaign UK, terjadi perpecahan antara Jenderal Than Shwe dan kawan-kawannya. Than Shwe dinilai telah menjadi diktator individual, seraya menyingkirkan orang-orang yang berkuasa bersamanya. ”Dulunya, junta merupakan kediktatoran bersama,” ujarnya. Kini, ada kepala intelijen Jenderal Khin Nyunt yang dikenai tahanan rumah.
Di antara ketidakberdayaan ini, ada saja kabar-kabar yang membangkitkan harapan. Seorang pejabat NCGUB lain yang juga bermarkas di Bangkok, Zin Lin, mengungkapkan informasi senada. Dia telah menerima laporan dari Burma tentang sekelompok tentara di Mandalay yang membangkang, menolak perintah untuk menembak seorang biksu.
Bahkan terakhir muncul desas-desus lebih menggetarkan. Ketua Utusan Khusus PBB Ibrahim Gambari tak berhasil menemui Than Shwe karena dia dan keluarganya telah meninggalkan Burma saat situasi tak menentu.
Purwani Diyah Prabandari (BBC, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo