Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, di jalan utama Lee, 500 orang berjalan beriringan di bawah hujan rintik. Ada dua pendeta Anglikan dan Katolik memimpin di depan, ada Ketua Dewan Kota Lewisham, London Tenggara, dan sejumlah wartawan yang mewakili hampir semua media Inggris dalam prosesi itu. Mereka berjalan untuk mengenang kematian Jimmy Mizen yang tragis. Jimmy, 16 tahun, mati di jalan itu dengan torehan kaca pada lehernya.
”Mungkin kita semua perlu melihat ke diri kita sendiri, melihat nilai-nilai yang kita inginkan,” kata ayah Jimmy, Barry Mizen—kata-kata yang ternyata dikutip semua media nasional Inggris.
Sayang sekali, tidak ada yang tahu pasti kepada siapa pernyataan itu harus ditujukan. Mungkin menguap sebelum sempat diserap. Sebab, setelah itu seorang remaja lain mati terkapar di jalan di Kota London. Dia Rob Knox, korban ke-14 sejak Januari 2008.
Sabtu subuh, 24 Mei lalu, Rob Knox—salah seorang figuran dalam film Harry Potter mendatang, The Half-Blood Prince—tewas ditikam di Sidcup, sekitar lima kilometer dari tempat Jimmy menemui ajalnya. Waktu itu Knox bersama tiga kawannya baru saja bersenang-senang di sebuah bar. Di depan pintu bar, ia cekcok dan berkelahi. Knox mati di tangan lawannya yang berpisau, tiga kawannya cedera.
Dan berita kematian anak-anak remaja di jalanan tak berhenti sampai di situ. Pada hari yang sama, Sabtu, 24 Mei, menjelang tengah malam, Sharmaake Hassan, 17 tahun, ditembak pada bagian kepala di Camden—daerah tempat nongkrong anak muda dan toko aksesori punk di London Utara. Empat hari kemudian, anak muda yang diduga pengedar obat bius itu tewas di rumah sakit. Hassan memang bukan nama baru bagi polisi. Sebulan sebelumnya dia ditangkap karena memiliki ganja dan disebut-sebut anggota The Money Squad, geng orang asal Somalia di Camden.
Di London yang besar dan kompleks ini, kekerasan terhadap korban-korban usia belasan tahun bisa terjadi di mana pun. Delapan hari berselang, seorang ibu bersama putrinya yang berusia sembilan tahun memencet tombol lift untuk naik ke apartemen mereka di Lambeth, London Selatan. Ketika pintu lift terbuka, tampak seorang remaja putri tertelentang di genangan darahnya sendiri dan tangkai pisau tertanam di tubuhnya. Korban masih mengenakan seragam sekolah. Arsema Dawit, 15 tahun, tewas di dalam lift Senin, 2 Juni lalu.
Tahun 2008 baru separuh jalan, tapi 16 nyawa remaja telah raib ditikam, digorok, dipukuli, atau ditembak. Secara statistik, rata-rata ada 2,6 remaja berusia 19 tahun ke bawah mati dibunuh di London tiap bulan. Adakah hantu yang sedang memburu nyawa anak belasan tahun di London?
Inilah rangkaian kematian yang panjang dan dengan sebab yang tidak tunggal, termasuk perkelahian antargeng. Entah kapan dan siapa yang memulai, para pengedar obat bius di London sering menggunakan remaja sebagai kurir mereka. Remaja tak gampang dicurigai, lebih murah bayarannya, lebih penurut, dan lebih lihai berkelit di lorong-lorong kecil dengan sepeda BMX.
Kolaborasi jaringan obat bius dengan anak remaja berkembang pesat belakangan ini. Anak belasan tahun merasa bangga bergabung dengan geng, walaupun langkahnya membuka peluang kekerasan dari geng lain. Masing-masing geng mempunyai teritori sendiri. Polisi menyebutnya geng ”kode pos”, merujuk pada teritori yang didasarkan pada kode pos. Tersasar ke kode pos lain bisa berarti kematian.
Sebuah laporan Dewan Kota Lambeth—tempat Arsema Dawit ditikam—menyebut: ada 40 geng yang beroperasi di kawasan yang kira-kira serupa dengan satu pemerintahan kota di Jakarta. Salah satu geng bahkan memiliki 2.500 anggota. Laporan pada Februari itu menggambarkan pembagian kerja yang jelas. Anggota ”tua” yang usianya 20-an tahun atau di pengujung belasan tahun berjualan narkoba. Anggota ”muda”, 14-16 tahun, membantu delivery dan melakukan kejahatan jalanan: mengompas, mencopet, atau mengutil.
Perkelahian antargeng menelan banyak korban. Korban pertama 2008, Henry Bolombi, 17 tahun, ditikam setelah merayakan tahun baru bersama sembilan teman. Keluar dari bus, di Edmonton, London Utara, ia dan kawan-kawannya ribut dengan kelompok lain. Kalah kuat, rombongan Henry akhirnya berlarian. Tapi Henry tertangkap dan ditikam di bagian dada, pertanda jelas penikamnya ingin membunuhnya.
Begitu pula Ofiyke Nmezu yang berusia 16 tahun, juga di Edmonton. Dia sedang jalan kaki ketika sebuah mobil Volkswagen tiba-tiba berhenti. Tiga orang keluar dan menghantam kepala Nmezu dengan batu bata. Merasa sudah diincar, dia tidak melapor ke polisi, juga tidak minta pengobatan ke klinik. Dua pekan kemudian Nmezu mati karena luka di kepala, setelah itu baru polisi merekonstruksi peristiwanya.
Tak semua kematian berkaitan dengan dunia hitam. Jimmy Mizen termasuk orang yang berada di tempat dan waktu yang salah serta bertemu dengan orang yang salah. Ketika itu, saat ia membeli lotere pertamanya, seorang anak muda berusia 20 tahun menantang berkelahi. Jimmy menolak tapi anak muda itu mengikuti Jimmy ke toko roti, mengamuk, dan menghancurkan kaca lemari sebelum menoreh tenggorokan Jimmy dengan pecahan kaca.
Begitu pula Michael Alexander Jones, yang ditemukan mati di dalam rumahnya sendiri—masih di Edmonton—dengan luka di kepala karena dipukuli dan ditikam pisau di bagian dada. Mahasiswa Geografi berusia 18 tahun itu pulang dari kampus, masuk rumah, ke ruang komputer, dan dihajar orang yang menerobos ke rumahnya. Ada kemungkinan dia korban salah sasaran. Mungkin abangnya yang pernah ikut geng perampok merupakan sasaran awal.
Cerita Arsema Dawit lain lagi. Dia ditikam oleh pria yang pertama kali dia kenal di sebuah gereja komunitas asal Eritrea. Pria itu kemudian menguntitnya ke mana pun dan bahkan pernah menyerangnya sambil mengancam akan membunuhnya. Mungkin karena cinta ditolak. Keluarga Dawit sudah melaporkan insiden itu dan polisi mengaku sedang menyelidikinya. Dawit terbujur mati dengan sepuluh tikaman.
Beberapa pihak menuding kepolisian London lamban bertindak dan membiarkan bola salju bergulir membesar. Pada masa kampanye pemilihan Wali Kota London Raya, Boris Johnson dari Partai Konservatif kerap mengangkat isu kematian remaja ini dan berjanji akan menambah personel Kepolisian Metropolitan London, New Scotland Yard, untuk mengikis kebiasaan membawa senjata. Awal Mei lalu dia berhasil mengalahkan wali kota lama Ken Livingstone—meski ada banyak soal yang membuat pemilih berpaling dari Livingstone.
Kini, setelah Jimmy Mizen tewas—ujian pertama Johnson sebagai Wali Kota London Raya—dia menegaskan kembali program zero tolerance saat berkampanye. Dia ingin menggunakan scanner untuk memastikan senjata tajam dan api tak beredar lagi di jalan. Scanner masih belum terlihat, tapi polisi ingin menggunakan wewenang lebih banyak untuk merazia siapa saja di jalan dan kapan saja, sesuai dengan Pasal 60 Undang-Undang Ketertiban Umum—yang selama ini cenderung digunakan secara hati-hati karena dianggap bertentangan dengan kebebasan sipil.
Kali ini tak banyak kecaman, kecuali dari Jenny Jones, anggota Dewan Kota London dari Partai Hijau yang khawatir razia acak justru akan mengasingkan generasi muda. Sepuluh tim—masing-masing 15 personel—akan beroperasi merazia anak muda, tanpa perlu surat, tanpa perlu indikasi kecurigaan. Soalnya, mungkin masalah sudah telanjur besar. Survei Departemen Dalam Negeri terbaru tentang anak muda dan pisau menunjukkan peningkatan.
Anak 10-25 tahun yang membawa senjata meningkat dari 4 persen menjadi 7 persen. Sebagian besar, 85 persen, mengaku membawa pisau untuk menjaga keselamatan, dan 7 persen untuk mengancam orang, sedangkan 2 persen memang mau melukai orang lain.
Pada 2006 diberlakukan amnesti senjata selama dua minggu dan terkumpul 90 ribu senjata: dari pisau lipat, panah kecil, pistol, hingga senapan. Namun jumlah itu diduga hanya sebagian kecil, khususnya senjata tajam, karena begitu mudahnya mendapatkan pisau. Dalam razia selama dua minggu hingga akhir Mei lalu, kepolisian London berhasil menyita hampir 200 pisau, dan seperti kata Kepala New Scotland Yard Sir Ian Blair, terlalu mudah untuk mendapatkan pisau. ”Sebagian besar pisau yang terlibat dalam pembunuhan adalah pisau yang dibawa dari dapur dan kita semua harus membahas kejahatan senjata tajam dengan semua remaja,” katanya seperti dikutip harian The Independent.
Ada situs itdoesnthavet happen.co.uk, juga iklan cetak bergambar tangan dengan jempol terputus, serta sebuah iklan video hasil rekaman CCTV tentang perkelahian yang berakhir dengan tikaman. Tak ada suara dalam video itu selain suara angin dan ditutup dengan pesan: ”Bawalah pisau dan kamu sendiri yang kemungkinan besar terkena tikam.”
Tapi cukupkah waktu tiga tahun bagi remaja di London untuk menghapus cara berpikir: ”Jika saya tidak bawa pisau, dia tetap bawa pisau.” Hantu itulah yang sebenarnya perlu dibasmi.
Liston P. Siregar, editor www.ceritanet.com, tinggal di London
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo