Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Raksasa lembut” itu seperti tetap hidup di benak semua orang yang setiap hari berjalan dari ataupun ke Stasiun Lee, London Tenggara—salah satu stasiun kaum pekerja menuju ke pusat Kota London. Jimmy Mizen—tingginya 1,9 meter—mati dengan luka karena torehan pecahan kaca, Sabtu siang, 10 Mei lalu, dan di seberang toko roti tempat dia dibunuh, tumpukan bunga dan barang kenangannya masih menggunung. Ada bunga yang sudah layu, yang masih segar, dan patung kecil Bunda Maria serta gitar bertulisan namanya juga masih ada. Begitu pula jas merah marun seragam sekolahnya dan sebuah tenda dari klub pramuka.
Waktu upacara peringatan kematiannya, sepekan kemudian, lebih dari 500 orang hadir di bawah hujan rintik sekalipun dan jalan utama dari Stasiun Lee ke Gereja Our Lady of Lourdes—tempat dia sesekali bertugas sebagai putra altar—ditutup. Bagi orang lokal yang tak kenal Jimmy sekalipun tak mudah untuk tidak tersentuh. Sabtu siang itu dia membeli lotere pertama, sehari setelah ulang tahunnya yang ke-16—batas usia legal untuk beli lotere. Tapi dia bertemu dengan seorang anak muda lain—yang tinggal di jalan tak jauh dari jalan rumah Jimmy—dan anak muda itu sampai menoreh tenggorokanJimmy.
Jimmy anak ke-8 dari 9 bersaudara—dengan rentang usia anak sulung 35 tahun dan yang bungsu 8 tahun—dari pasangan Barry dan Margaret Mizen, keluarga Katolik yang taat. Mereka dulu punya toko minuman yang letaknya hanya tiga pintu dari toko roti Three Cooks, tempat Jimmy tewas. Namun toko itu dijual sekitar lima tahun lalu dan abang sulungnya membuka toko kunci di Sidcup, tempat ditikam matinya seorang anak belasan tahun lain dua pekan setelah matinya Jimmy.
Di kalangan temannya, Jimmy adalah teman yang baik. Seorang teman sekelasnya di St Thomas More Roman Catholic Secondary, Ashleigh membawa baju putihnya untuk kenangan dari teman-teman Jimmy. ”Untuk teman yang kami cintai,” tulis Ashleigh di situ. Seorang teman lain, Comor Ferguson, menyebut Jimmy ”satu dari sedikit orang yang bisa berteman dengan siapa pun”. Dan tumpukan bunga di seberang tempat dia dibunuh, hampir sebulan kemudian, membuktikan ucapan teman-temannya bukan basa-basi.
Dan keteguhan orang tua Jimmy—dalam menghadapi kematian anaknya—mengundang simpati dan hormat banyak orang. Saat upacara penguburan, sehari setelah kematiannya, ibu Jimmy, Margaret, muncul di depan kamera stasiun TV utama Inggris. Sambil menahan tangis, dia mengenang Jimmy sebagai ”putra yang sempurna bagi semua ibu”. Di pelukan suaminya dia menceritakan mereka sekeluarga sering main Nintendo di garasi dan yang kalah harus membikin teh. ”Saya masih ingat, ayo, Jimmy, kamu bikin teh, dan dia dengan ketawa lepas pergi ke dapur membuat teh.”
Margaret juga meminta orang tidak mengganggu keluarga tersangka pembunuh Jimmy. Menurut Margaret, keluarga pembunuh itu yang lebih menderita karena mereka harus menghadapi kenyataan tentang putranya yang membunuh orang. ”Tapi kami akan selalu memiliki kenangan indah atas putra kami,” katanya. Dan kenangan akan seorang remaja baik hati dan disenangi teman serta keluarganya terasa setiap orang melewati pojok tumpukan bunga dan barang kenangan lainnya.
Tempat kenangan itu sendiri terletak agak sedikit mendekat ke jalan raya sehingga tidak menghalangi orang yang jalan di kaki lima. Semua orang yang lewat—berjalan kaki atau naik mobil, sepeda motor, atau bus di jalan raya—pasti melihatnya. Ruang di sudut kaki lima sebelumnya menjadi ruang kosong saja karena dipagar dan orang yang berjalan lebih menjauh dari jalan raya. Dan letaknya persis di seberang toko roti Three Cooks, tempat Jimmy mati. Seolah-olah tempat itu memang sudah disediakan sejak dulu untuk mengenang Jimmy Mizen.
Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo