Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DERETAN kendaraan berat Amerika Serikat itu berbaris rapi, melindas butiran pasir hingga berkilauan di saat subuh pekan lalu. Roda lapis bajanya seperti diseret, malas meninggalkan padang gurun itu. Bunyi nyaring serta-merta bersahutan kala mereka melewati gerbang logam yang membatasi Irak dan Kuwait.
Pasukan dari Brigade Stryker Ke-4, Divisi Infanteri Ke-2, itu menorehkan simbol baru tentang Abang Sam. Para tentara di dalam kendaraan lapis baja tersebut saling lempar senyum dan setengah berteriak saat meninggalkan markas. Dua pekan lagi, mereka akan sampai di tanah air.
Tujuh tahun lima bulan berlalu sudah sejak Amerika memutuskan menyerang Irak dengan mengerahkan ribuan truk anggota pasukan dan menghamburkan bergudang amunisi untuk menaklukkan Saddam Hussein. Pasukan itu menjadi serdadu terakhir Abang Sam dari 50 ribu tentara yang bertugas menjadi kekuatan transisi bagi tentara Irak.
Selama sebulan, lintasan yang akan dilalui konvoi pasukan ini sudah dipantau dan dijaga ketat. Mereka meninggalkan Irak melalui Kuwait di tengah gurun yang mudah disergap pasukan milisi.
”Ini menakjubkan, kami datang pertama dan pergi terakhir,” ujar Luke Dill. Sersan ini pantas bangga lantaran pasukannya yang berkendaraan Humvee menjadi target meriam pasukan Irak di awal perang. Saat itu, Luke masih berpangkat kopral. Dalam dua kali misi sejak 2003, dia naik pangkat hingga menjadi anggota staf dalam komando pasukan Amerika.
Tiga serangan mortir beruntun di pekan-pekan pertama perang membuatnya tak bisa tidur. ”Bahkan ketika hujan mortir berhenti.” Ketika itu Najaf, kota di utara Mosul, ramai dengan cahaya mortir dan bom dari segala arah.
Sekarang, dia sudah ditunggu Harley-Davidson jenis Big Boy, yang dibelinya di dealer di markas Amerika di Irak. Uangnya? Dari hasil dua kali penugasannya di Negeri Seribu Satu Malam itu. ”Saya ingin segera mengendarainya.” Di kampungnya di Olimpia, Washington, dia akan mengendarai Big Boy-nya.
Lima ribu kawan Luke yang masih tinggal di Irak bukanlah pasukan tempur. Mereka akan menemani tentara Irak bertugas sampai 2011. Persenjataan mereka sekadar senjata dan granat. Tak ada lagi kendaraan lapis baja. Yang ada mobil angkutan tentara. Mereka, bersama pasukan khusus antiteror, bertugas melatih tentara Irak mengatasi aksi teror milisi.
Inilah wujud kebijakan Amerika di masa Presiden Barack Obama. Pagi-pagi, di hadapan Kongres dan pidato di Kairo, Mesir, Obama sudah berjanji akan menarik pasukan Amerika di Irak. Perang selama tujuh tahun sudah dianggap merugikan ekonomi Amerika, dengan sekitar 140 ribu anggota pasukan dan menghabiskan lebih dari US$ 3 triliun atau Rp 27 ribu triliun.
Belum lagi korban jiwa yang sampai tahun ini mencapai lebih dari 4.000 orang. Kongres yang didominasi Partai Demokrat menyetujui keputusan Obama. Demikian pula parlemen Irak. Kedua negara sepakat, paling lambat pada 2011, pasukan Amerika dan sekutunya sudah tak lagi ada di Irak.
Setelah 2011, Amerika hanya akan mengerahkan pasukan keamanan yang bertugas melindungi warga sipil. Pasukan di bawah komando kementerian luar negeri ini akan melatih polisi dan tentara Irak sampai bisa mengatasi serangan teror dari Al-Qaidah dan milisi. Pasukan itu total berjumlah 7.000 orang. Ini adalah kebijakan baru yang belum resmi diumumkan pemerintah Obama.
Mereka akan melindungi lima kompleks vital milik Amerika di Irak. Perlengkapannya standar pertahanan, seperti radar yang akan memantau serangan roket, alat pendeteksi ranjau, dan pasukan reaksi cepat untuk melindungi warga sipil. Philip Crowley, juru bicara Gedung Putih, menyatakan Amerika tetap akan menjaga Irak. ”Masih banyak yang mesti kami lakukan. Ini cuma transisi.”
Yophiandi (AP, Guardian, New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo