Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

29 Tahun Lalu Yasser Arafat, Yithzak Rabin, Shimon Peres Raih Nobel Perdamaian untuk Kedamaian Palestina-Israel

Nobel Perdamaian yang diterima Yasser Arafat, Yithzak Rabin, Shimon Peres untuk upaya perdamaian Palestina-Israel. Ada yang menganggap kontroversial.

14 Oktober 2023 | 18.49 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Yasser Arafat. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 29 tahun lalu pada 14 Oktober 1994, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, Menteri Luar Negeri Shimon Peres, dan pemimpin Palestina Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan secara bersama-sama oleh Komite Nobel Norwegia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dilansir dari nobelprize, ketiganya mendapatkan Nobel Perdamaian karena telah berupaya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah, terutama antara konflik Israel dan Palestina. Mereka bertiga dianggap telah menyelesaikan perdamaian antara kedua negara melalui Perjanjian Oslo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dikutip dari history, Perjanjian Oslo merupakan perjanjian antara pemerintah Israel dan PLO pada 1993 dan 1995 yang poin utamanya adalah PLO secara resmi mengakui negara Israel dan Israel mengizinkan Palestina untuk memiliki pemerintahan sendiri di Gaza dan Tepi Barat.

Menurut Komite Nobel Norwegia, atas Perjanjian Oslo itu ketiganya berhak mendapatkan nobel perdamaian. Sebagaimana pada 1985 ketika Alfred Nobel menulis bahwa Nobel Perdamaian dapat diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan terbaik untuk melakukan perdamaian sampai memperjuangkan hak asasi manusia agar terciptanya persaudaraan antar bangsa.

Kendati demikian, Perjanjian Oslo ternyata tidak membuat konflik Palestina dan Israel berakhir damai. Pada 1998, Palestina menuduh bahwa Israel tidak menindaklanjuti penarikan pasukan dari Gaza dan Hebron yang sebenarnya sudah disepakati dalam Perjanjian Oslo.

Alih-alih menarik pasukan, Israel justru menambah pembangunan pemukiman di Tepi Barat pada awal 2000-an. Pihak Israel juga menuduh bahwa setelah Perjanjian Oslo, kekerasan terhadap warga Israel justru meningkat.

Konflik kekerasan yang meningkat pada awal 2000-an antara kedua negara kemudian dikenal sebagai Intifadah Al-Aqsa (Intifadah Kedua). Hal itu juga ditengarai dari kecaman Hamas terhadap Perjanjian Oslo.

Hamas merupakan gerakan nasionalis dan militan Islam yang aktif di Tepi Barat dan Jalur Gaza dan memiliki tujuan mendirikan negara Islam yang merdeka di Palestina. Dilansir dari Britanica, Hamas berdiri pada 1987 untuk menentang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dalam konteks konflik Israel-Palestina dan menentang usaha untuk menyerahkan sebagian wilayah Palestina kepada Israel.

Perdana Menteri Yitzhak Rabin. REUTERS

Dilansir dari nobelprize, Ketua PLO Yasser Arafat juga sebenarnya pernah melakukan kekerasan ketika anak buahnya melakukan aksi kekerasan terhadap warga Israel pada 1960 sampai 1970-an. Yasser Arafat saat itu masih ingin negara Palestina merdeka meskipun kemudian ia harus menerima untuk melakukan perdamaian dengan Israel.

Jejak kekerasan juga pernah dilakukan oleh peraih nobel dari Israel, Yitzhak Rabin dan Shimon Peres. Ketika Rabin menjadi Perdana Menteri Israel pada dari 1992 sampai 1995, terjadi pembantaian massal di Masjid Ibrahim kota Hebron pada Februari 1994. Dilansir dari newarab, meskipun Rabin mengecam tindakan “teroris Yahudi” tersebut, ia seolah-olah mengikuti pendahulunya bahwa kekerasan itu terjadi karena pelaku mengalami gangguan kejiwaan dan dianggap bukan bagian dari Israel.

Sementara itu, dilansir dari Aljazera, Shimon Peres merupakan orang pertama yang menggunakan perannya sebagai Menteri Pertahanan Israel kala itu untuk mendirikan pemukiman pertama di Tepi Barat bagian utara pada 1970-an.

Meskipun ketiganya mendapatkan Nobel Perdamaian, jejak kekerasan yang dibuat oleh mereka tetap menimbulkan kontroversi hingga sekarang. Bahkan, Perjanjian Oslo yang poin pentingnya untuk mendamaikan Israel dan Palestina justru malah memperparah konflik antara kedua negara itu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus