Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah negara sedang beraliansi untuk membangun poros kekuatan ekonomi melawan Amerika Serikat. Aliansi tersebut disinyalir terinspirasi oleh penelitian Jim O’Neill, seorang ekonom dari Goldman Sachs, dalam penelitian berjudul Building Better Global Economic BRICs pada tahun 2001, ia mengidentifikasi potensi besar empat negara berkembang, yaitu Brasil, Rusia, India, dan Cina, yang dapat mendominasi ekonomi dunia jika pertumbuhan mereka terus berlanjut.
Poros tersebut diwujudkan dalam bentuk BRICS, yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan. Belakangan, muncul sejumlah anggota baru termasuk Indonesia. Aliansi tersebut mengambil sikap dalam perdagangan internasional dengan berupaya melakukan dedolarisasi.
Dedolarisasi adalah proses kompleks yang dipicu oleh berbagai faktor termasuk geopolitik, kebijakan ekonomi, dan inisiatif regional. Meskipun ada upaya signifikan untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS, tantangan tetap ada karena dominasi dolar masih kuat di pasar global. Ke depan, perkembangan ini akan terus dipantau seiring dengan perubahan dinamika ekonomi dan politik di dunia.
Dedolarisasi, atau pengurangan ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi internasional, semakin menjadi perhatian global. Berbagai faktor mendorong proses ini, termasuk dinamika geopolitik, kebijakan ekonomi, dan kesepakatan bilateral antara negara-negara. Berikut adalah beberapa pemicu utama dedolarisasi yang sedang berlangsung.
1. Geopolitik dan Sanksi Internasional
Ketegangan geopolitik, terutama yang melibatkan Rusia dan negara-negara Barat, telah menjadi salah satu pemicu utama dedolarisasi. Sanksi yang diterapkan terhadap Rusia akibat invasi ke Ukraina mengakibatkan pembekuan cadangan valuta asing senilai sekitar $300 miliar. Hal ini memaksa Rusia untuk mencari alternatif dalam transaksi internasional, seperti menggunakan renminbi (RMB) Tiongkok. Situasi ini menunjukkan bagaimana dominasi dolar AS dapat menjadi senjata yang merugikan negara-negara yang dikenakan sanksi.
2. Munculnya Kekuatan Ekonomi Baru
Kekuatan ekonomi baru di luar AS dan Eropa juga berkontribusi pada dedolarisasi. Negara-negara seperti Brasil dan Tiongkok telah melakukan kesepakatan untuk berdagang menggunakan mata uang lokal mereka sendiri, tanpa melibatkan dolar AS sebagai perantara. Kesepakatan ini mencerminkan upaya untuk mengurangi ketergantungan pada dolar dalam perdagangan internasional. Selain itu, kelompok negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) sedang merencanakan penciptaan mata uang tunggal untuk memperkuat posisi mereka dalam sistem moneter global.
3. Kebijakan Moneter dan Inflasi
Kebijakan moneter yang longgar dari The Federal Reserve (The Fed) selama pandemi COVID-19 juga mendorong dedolarisasi. Kebijakan quantitative easing yang agresif telah menyebabkan kekhawatiran akan penurunan nilai aset berbasis dolar AS. Ketidakpastian ini membuat banyak negara mencari alternatif lain untuk melindungi nilai mata uang mereka. Inflasi tinggi di banyak negara juga membuat penggunaan dolar AS semakin sulit bagi negara-negara importir, sehingga mendorong mereka untuk mencari mata uang lain sebagai alat tukar.
4. Inisiatif ASEAN dan Kerja Sama Regional
Di kawasan Asia Tenggara, inisiatif untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS semakin kuat. Dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN di Bali, negara-negara anggota sepakat untuk menggunakan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan antarnegara. Indonesia sendiri telah memulai langkah-langkah untuk mengurangi porsi dolar AS dengan mengimplementasikan skema Local Currency Transaction (LCT) dalam perdagangan dengan beberapa negara seperti Thailand dan Jepang. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan mendorong ekspor.
5. Penurunan Porsi Dolar dalam Cadangan Devisa Global
Dilansir dari jurnal berjudul Dedolarisasi: Momentum Kebangkitan Dinar, karya Muhammad Ahsan Kamil, dan Muhammad Rasyid Ridlo, dari Jurusan Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, indikasi dedolarisasi terlihat dari penurunan porsi dolar AS dalam cadangan devisa global. Artinya, ada kecenderungan menurunnya dolar AS sebagai mata uang cadangan devisa (cadev).
Data menunjukkan bahwa porsi dolar AS dalam cadangan devisa global telah mengalami penurunan. Pada kuartal terakhir 2021, porsi dolar tercatat sekitar 58,81 persen, menurun dari 59,15 persen. Meskipun penurunan ini tidak selalu berarti dedolarisasi secara langsung, hal ini menunjukkan adanya perubahan dalam preferensi mata uang di kalangan bank sentral dunia.
DINI DIAH dan MYESHA FATINA RACHMAN turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Upaya Muluskan Dedolarisasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini