Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas tak ada yang ganjil pada poster bergambar perempuan berhijab hitam itu. Wajahnya tertutup cadar berwarna senada. Hanya kedua matanya yang tampak. Tapi, bila diperhatikan dengan teliti, ada luka berdarah di bawah mata kirinya. Di bawah mata itu tertulis kalimat, "Beberapa hal tak dapat ditutupi—bersama melawan penyiksaan perempuan", serta nomor telepon pengaduan. Poster iklan di surat kabar dan televisi itu kembali menjadi perhatian publik Arab Saudi setelah Dewan Menteri mengesahkan undang-undang anti-kekerasan dalam rumah tangga pada rapat kabinet, Senin dua pekan lalu.
Pengesahan aturan baru itu membawa angin segar di negara kaya minyak tersebut, terutama bagi perempuan, anak-anak, dan pembantu rumah tangga, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mendesak Arab Saudi membuat aturan itu sejak 2008. Ini kemajuan besar dalam sistem hukum negara itu karena selama ini pemerintah menganggap rumah tangga merupakan wilayah privat. Sesuai dengan aturan negeri itu, undang-undang tersebut akan dilaksanakan 90 hari setelah disahkan. "Ini undang-undang bagus yang melayani mayoritas masyarakat di kerajaan, termasuk perempuan, anak-anak, pekerja lokal dan asing," kata Khaled al-Fakher, Sekretaris Jenderal National Society for Human Rights, lembaga hak asasi manusia yang ikut menyusun undang-undang tersebut, Kamis dua pekan lalu.
Al-Fakher mengatakan salah satu alasan kekerasan dalam rumah tangga merajalela di Arab Saudi adalah adanya tradisi yang mencegah perempuan melaporkan penyiksaan. Perempuan takut akan gunjingan masyarakat kalau mereka mengadukan ayah atau suaminya ke polisi. Apalagi orang yang mereka laporkan adalah walinya.
Selama ini Arab Saudi menerapkan aturan ketat terhadap perempuan. Mereka juga menjalankan sistem perwalian, yakni perempuan harus didampingi laki-laki anggota keluarganya—ayah, suami, putra—ketika berbisnis, melamar kerja, atau bepergian ke luar negeri. Tapi kini para perempuan tak perlu takut lagi melaporkan kasus penyiksaan karena undang-undang ini menjamin kerahasiaan jati diri sang pelapor, termasuk terbebas dari proses pengadilan ketika kasus itu tak dapat dibuktikan di pengadilan. "Ini bagian penting dalam undang-undang ini," tutur Al-Fakher.
Usulan undang-undang ini diajukan pada April lalu oleh King Khalid Foundation bersamaan dengan peluncuran kampanye bertajuk "Tak Ada Lagi Penyiksaan". Tujuannya membangkitkan kesadaran masyarakat akan segala bentuk penyiksaan terhadap perempuan.
King Khalid Foundation adalah yayasan amal yang didirikan keluarga Raja Khalid bin Abdulaziz al-Saud, yang berkuasa pada 1975-1982. Untuk mendesak pemerintah, mereka membuat iklan anti-kekerasan dalam rumah tangga buat surat kabar dan televisi.
Iklan versi televisi menampilkan seorang laki-laki sedang memukul dua boneka seukuran manusia, yang kemudian berubah menjadi perempuan dan anak-anak yang meringkuk ketakutan di pojok ruangan. Aksi lelaki itu berakhir ketika sebuah suara mengingatkan, Nabi Muhammad menyerukan umatnya bersikap lembut kepada sesama. Iklan itu diakhiri dengan imbauan agar pemirsa melaporkan setiap kasus kekerasan dalam rumah tangga. Yayasan ini juga berkampanye melalui situsnya. Tapi tak semua perempuan Arab Saudi, termasuk para pembantu rumah tangga, bisa bebas mengakses Internet.
Seperti dikutip Al-Jazeera, pasal 17 undang-undang itu menyebutkan pelaku penyiksaan, baik secara psikis maupun fisik, dapat dipenjara minimal satu bulan dan maksimal satu tahun atau didenda hingga 50 ribu riyal (sekitar Rp 146 juta). Di Arab Saudi, perempuan adalah korban utama kekerasan dalam rumah tangga. Sebesar 98 persen kasus penyiksaan dilakukan oleh laki-laki. Namun sulit mendapatkan data detail tentang angka korban penyiksaan dalam rumah tangga di Arab Saudi. Namun, seperti dilansir Arab News, sebuah survei pada 2009 menyatakan 25,7 persen perempuan yang berobat di rumah sakit atau klinik mengaku menjadi korban penyiksaan.
Menurut aturan baru ini, hakim dapat menggandakan hukuman bagi orang yang mengulangi perbuatannya. Pemerintah juga akan menyediakan perawatan kesehatan, perawatan psikologis, dan konseling keluarga bagi para korban. "Ini undang-undang yang sangat penting. Sudah lama kami memperjuangkannya. Saya senang undang-undang ini akhirnya disahkan," kata Presiden Komisi Hak Asasi Manusia Arab Saudi Bandar al-Aiban, Senin pekan lalu. Ia menganggap pemerintah membuat langkah maju dengan mengikuti standar internasional dalam masalah hak asasi.
Undang-undang itu juga mengharuskan negara melindungi korban penyiksaan dan memerintahkan penegak hukum menindaklanjuti laporan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Sebelumnya, penegak hukum menggunakan hukum pidana umum sesuai dengan syariat Islam dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan, anak-anak, atau pembantu rumah tangga. Menurut Al-Fakher, hakim memutuskan perkara berdasarkan pemahamannya atas hukum agama. "Kami selalu mendukung hukum yang spesifik, yang tidak membutuhkan interpretasi atau pertimbangan pribadi," ujarnya kepada Guardian.
Aktivis hak asasi Waleed Abu al-Khair mengatakan undang-undang baru ini membuat perempuan Arab Saudi lebih merdeka. Perempuan kini tak perlu lagi didampingi laki-laki untuk melapor ke kantor polisi. Ia mengatakan ini merupakan langkah maju untuk mengubah aturan perwalian.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Arab Saudi sebenarnya sudah membuat sejumlah keputusan yang memihak kaum perempuan. Pada September 2011, misalnya, Raja Abdullah yang dianggap reformis memutuskan perempuan boleh memilih dan ikut mencalonkan diri dalam pemilihan setingkat kota madya mulai 2015. Pada Maret tahun lalu, Raja mengizinkan perempuan bekerja di luar rumah, meskipun masih terbatas sebagai pegawai di toko pakaian dalam perempuan. Keputusan itu dibuat menyusul protes dari kaum perempuan yang merasa risi dilayani pegawai laki-laki.
Yang cukup mengejutkan, pada 11 Januari lalu Raja Abdullah mengumumkan 30 perempuan akan menjadi anggota Dewan Syura, lembaga permusyawaratan yang beranggotakan 150 orang. Selain ada penentangan dari para ulama konservatif, kala itu sejumlah kalangan pesimistis terhadap keputusan tersebut karena itu hanya lembaga penasihat yang tak punya wewenang menetapkan undang-undang. Namun keberadaan perempuan di lembaga itu penting sebagai simbol bahwa kaum Hawa sudah diperhitungkan.
Pada Mei lalu, giliran pemerintah mengizinkan siswa perempuan di sekolah swasta mengikuti pelajaran olahraga, meskipun harus mengenakan pakaian yang sesuai dengan syariat Islam. Di negara itu olahraga bagi perempuan terbatas pada kaum elite, yang mampu menjadi anggota di klub kebugaran eksklusif, yang biasanya bekerja sama dengan rumah sakit.
Atlet perempuan tak dapat mendaftar di klub olahraga atau kejuaraan. Mereka juga dilarang ikut tes masuk tim nasional sehingga tidak bisa tampil di kejuaraan internasional. Dua atlet Arab Saudi, pejudo Wodjan Ali Seraj Abdulrahim Shahrkhani dan pelari jarak pendek Sarah Attar, bisa tampil di Olimpiade London 2012 karena mereka tinggal di negara lain, yakni Amerika Serikat.
Namun hingga kini perempuan masih dilarang menyetir dan bepergian ke luar rumah tanpa pendamping laki-laki. Mereka juga tak bisa bersekolah tanpa izin wali. Dengan kondisi itu, Eman al-Nafjan, penulis dan blogger Arab Saudi yang berkicau di Twitter dengan akun Saudiwoman, pesimistis terhadap pelaksanaan undang-undang itu. "Ini kontradiktif. Lebih ke retorika, bukan implementasi."
Sapto Yunus (Foreign Policy, Al Jazeera, Reuters, Gulf News, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo