Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akademisi di Balik Terali

Iran menahan sejumlah akademisi dan wartawan dengan tuduhan menjadi mata-mata Amerika. Mereka berkewarganegaraan Iran dan Amerika.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARI itu, 8 Mei, Haleh Esfandiari, 67 tahun, senang sekali. Di antara hari-harinya yang sempit, memberikan kuliah dan ceramah, akhirnya ia menemukan waktu untuk mengunjungi ibunya, yang uzur dan sakit, di Teheran, Iran.

Itulah hari keberuntungan tapi juga ketidakberuntungannya. Setelah menjenguk, sosok yang punya kewarganegaraan Iran dan Amerika itu ditahan. Tak ada pemberitahuan dan penjelasan resmi mengenai penahanan waktu itu. Yang jelas, banyak orang tahu, Esfandiari acap kali menyerukan pentingnya demokrasi dijalankan di Iran.

Iran menuduh Esfandiari mata-mata Amerika Serikat—tuduhan yang kemudian dibantah Presiden George W. Bush. Dan jika pengadilan bisa membuktikan tuduhan itu, Esfandiari terancam hukuman mati.

Sebenarnya, Direktur Program Timur Tengah di Woodrow Wilson Center, yang bermarkas di Washington, DC, Amerika Serikat, ini akrab dengan kalangan akademisi dan pejabat pemerintah Iran. Lewat organisasinya itu, ia banyak membantu warga Iran mendapatkan beasiswa. Empat tahun silam, perempuan ini juga aktif memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Kota Bam yang menjadi korban gempa bumi. Tapi benarkah ia membawakan misi propaganda?

Sebetulnya, bukan cuma Esfandiari yang dituduh sebagai mata-mata Amerika. Tiga hari setelah penangkapan dirinya, Dr Kian Tajbakhsh, ahli perencana kota di New School, New York, Amerika Serikat, juga ditangkap di Kota Teheran. Ia digelandang ke penjara Evin yang terkenal keras di Iran.

Sama seperti Esfandiari, Tajbakhsh akrab bergaul dengan kalangan pejabat Iran. Selain menjadi pengajar di beberapa kampus di Iran, Tajbakhsh menjadi konsultan di Bank Dunia dan membantu membenahi tata kota Iran.

Tampaknya, pemerintah Iran menaruh curiga terhadap mereka yang memiliki dua kewarganegaraan. Dikhawatirkan, di samping bekerja sebagai akademisi, wartawan, atau aktivis lembaga swadaya masyarakat, mereka dipakai Amerika sebagai mata-mata. Kini, selain dua akademisi di atas, masih ada dua wartawan yang dikenai tuduhan serupa: Parnaz Azima dan Mehrnoush Solouki.

Azima adalah wartawan Radio Free Europe, yang berbahasa Persia, dan masih mendekam di penjara bersama Esfandiari. Sedangkan Solouki sudah dibebaskan 9 Maret lalu setelah membayar uang jaminan US$ 100 ribu. Di antara keempatnya, hanya Solouki yang berkebangsaan Iran-Prancis.

Dua tahun lalu di bulan Agustus, seorang pengacara hak asasi manusia terkenal, Abdolfattah Soltani, juga ditahan dengan tuduhan serupa. Soltani dijebloskan ke penjara Evin selama tujuh bulan. Dan baru 28 Mei lalu pengadilan banding membebaskannya dari semua tuduhan.

Pekan lalu, televisi milik pemerintah Iran menayangkan wawancara Esfandiari, Tajbakhsh, dan Azima. Mereka tampak sehat. Esfandiari dan Tajbakhsh prodemokrasi. Tapi mereka menjelaskan sikapnya: mendukung revolusi damai di Iran seperti saat keruntuhan kekuasaan Soviet di Republik Georgia—saat awal ketika negeri itu mengalami demokratisasi.

Kebijakan pemerintah Presiden Iran Ahmadinejad telah membuat kening para pendukung demokrasi di Iran berkerut dan mereka semakin cemas. Apalagi mereka ditangkapi dan ditahan tanpa didahului proses hukum. Apakah demokrasi akan lumpuh di negara itu?

Menurut Amnesty International, hingga akhir pekan lalu, pemerintah Iran belum memberikan penjelasan resmi soal penahanan akademisi dan wartawan itu. Protes dari peraih Nobel Perdamaian 2003 asal Iran, Shirin Ebadi, agar semua tahanan dibebaskan, dianggap angin lalu oleh pemerintah Iran. Ia juga belum diizinkan bertemu dengan kliennya, Esfandiari.

Presiden Ahmadinejad belum angkat bicara soal kasus ini. Atase pers Iran di Jakarta, Hanief Shaleki, juga menolak berbicara. ”Saya tak tahu kapan tepatnya kami bisa memberikan penjelasan kepada Anda,” ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Maria Hasugian (Washington Post, BBC,Associated Press, Philadelphia Inquirer)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus