Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Mochtar Ngabalin datang terlambat dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Legislatif di Gedung Nusantara III, kompleks MPR/DPR, Senayan, Rabu pekan lalu. Ketika itu koleganya sesama anggota panitia khusus sedang mendengarkan masukan dari sejumlah pakar dan organisasi nonpemerintah.
”Selamat datang, Pak Ali,” kata Wakil Ketua Panitia Khusus, Andi Yuliani Paris, yang memimpin rapat siang itu. Dia lalu memperkenalkan politikus Partai Bulan Bintang (PBB) itu kepada peserta rapat, ”Ini Pak Ali Mochtar Ngabalin dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, yang partainya terancam tidak lolos electoral threshold.” Hadirin kontan tergelak.
”Eh…, belum tentu, belum tentu,” kata Ali keras sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Yuliani, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu, lalu cepat-cepat menyambung, ”Tenang, Pak Ali. Kami akan memperjuangkan,” katanya. Ali Mochtar mengangguk. ”Amin,” katanya.
Partai-partai kecil memang sedang gerah. Panitia Khusus RUU Pemilu sedang menggodok naskah undang-undang yang akan menentukan aturan main partai politik berebut kursi parlemen daerah dan nasional pada Pemilu 2009 mendatang.
Polarisasi kekuatan tak terhindarkan. Jauh-jauh hari, dua partai besar, Golkar dan PDI Perjuangan (PDIP) sudah menjajaki koalisi. Ketua Dewan Penasihat Golkar, Surya Paloh, dan Ketua Dewan Pertimbangan PDIP, Taufiq Kiemas, bergandengan di Medan, akhir Juni lalu.
Tidak mau kalah, sepekan kemudian delapan partai politik lain menggelar pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta. Senin pekan lalu, pertemuan berlanjut ke tingkat ketua umum partai. Masih di Hotel Mulia, hadir Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadarma Ali, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir, Ketua Umum PBB Malam Sambat Kaban, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi Bursah Zarnubi, dan Ketua Umum Partai Damai Sejahtera Ruyandi Hutasoit. Adapun Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrat diwakili masing-masing oleh Masduki Baidowi, Mahfudz Siddiq, dan Johny Allen. Pada akhir pertemuan, kedelapan partai berikrar akan berjuang satu barisan dalam pembahasan RUU Pemilu.
Berhadap-hadapannya dua kubu ini bermula dari keinginan petinggi PDIP dan Golkar untuk menyederhanakan sistem multipartai yang mulai mekar setelah reformasi 1998. Banyaknya partai politik dirasa mengganjal roda pemerintahan. Aliansi partai yang muncul pun lebih banyak berdasar kepentingan pragmatis. ”Penyederhanaan partai bisa dicapai melalui penetapan persyaratan,” kata Wakil Ketua Umum Golkar Agung Laksono pekan lalu.
Pengetatan persyaratan itulah yang mendominasi usul tentang aturan baru dari barisan Banteng dan Beringin. Yasonna Laoly, Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu dari PDIP, menjelaskan partainya meminta ada penyederhanaan sistem kepartaian melalui peningkatan electoral threshold (batas minimal perolehan suara untuk mengikuti pemilu) dari 3 menjadi 5 persen. Ia juga meminta pengurangan alokasi kursi dalam satu daerah pemilihan. Jika dulu satu daerah memperebutkan 3-12 kursi, kini cukup 3-6 kursi saja. Dengan demikian, ”Kita mengarah ke sistem distrik,” katanya.
Jika usul ini diterima, kata Yasonna, rakyat bisa lebih mengenal wakilnya di parlemen. Akuntabilitas anggota DPR juga akan ikut terdongkrak. Dia mencontohkan daerah pemilihan koleganya di DPR, Trimedya Pandjaitan, yang terdiri dari 13 kabupaten di Sumatera Utara. ”Bayangkan betapa mahalnya ongkos politik dia untuk berkampanye dan mengunjungi konstituen,” katanya.
Di balik itu, sebenarnya ada alasan lain. Sumber Tempo, seorang petinggi partai besar, mengaku gerah dengan manuver partai alit berebut ”madu demokrasi”. Dia menunjuk tiket pencalonan pemilihan kepala daerah yang diperdagangkan tanpa malu-malu. ”Sampai muncul istilah: ini ojek harga Mercy,” katanya menyebut partai kecil yang memasang harga selangit untuk mengusung calon tertentu dalam pemilihan kepala daerah.
Seperti sudah diduga, dua usul radikal PDIP membuat marah partai papan tengah. PAN, Demokrat, PPP, PKB, dan PKS tidak sepakat jika batas elektoral dinaikkan. Usul tentang pengurangan alokasi kursi per daerah pemilihan juga ditolak. Alasannya, usul itu membunuh peluang mereka meraih kursi. ”Dengan model itu, hanya PDIP dan Golkar yang pasti mendapat kursi di semua daerah pemilihan,” kata seorang pengurus teras PPP. Reaksi partai kecil lebih keras lagi. ”Itu usul dzolim,” kata Ali Mochtar Ngabalin setengah berteriak.
Karena itu masing-masing kubu memperkuat kuda-kuda untuk menghadang laju usul dari blok lawan. Menurut Ketua Fraksi PAN, Zulkifli Hassan, kini setiap dua pekan sebuah tim kecil lintas partai rutin bertemu. Pesertanya delegasi dari delapan partai yang bertemu di Hotel Mulia pekan lalu. Lokasi pertemuan berpindah-pindah, dengan tuan rumah dari masing-masing partai secara bergantian. ”Kami akan mengawal terus pembahasan RUU Pemilu ini sampai akhir,” katanya.
Zulkifli sadar benar, kesuksesan kubunya amat bergantung pada solid-tidaknya kedelapan partai pendukung. Satu saja membelot, peta politik bisa berubah. Apalagi, dalam sejumlah isu, kedelapan partai ini ternyata tidak kompak-kompak amat.
Sebut saja soal mekanisme penentuan calon terpilih. Partai Demokrat dan PAN sepakat dengan usul pemerintah agar calon legislatif dengan suara terbanyak langsung lolos. ”Prinsip ini sudah lama disampaikan Presiden Yudhoyono kepada publik,” kata Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Sedangkan partai lain di kubu ini lebih condong mempertahankan peran partai politik menentukan nomor urut calon.
Barisan Banteng-Beringin tidak tinggal diam. ”Kami berusaha melakukan pendekatan informal,” kata seorang pengurus PDIP kepada Tempo, pekan lalu. Caranya, satu demi satu anggota Panitia Khusus dari kubu seberang ”digarap” diam-diam. Mereka yang diincar adalah politikus partai papan tengah seperti Partai Demokrat, PPP, dan PKB. ”Karena penyederhanaan sistem multipartai ini juga keinginan pemerintah, logikanya tentu partai pemerintah mendukung kami,” katanya. Kedua partai ini bahkan siap melepas posisi mereka yang semula ngotot menuntut peningkatan batas elektoral, untuk mendapat konsesi di poin lain.
Hasil gerilya perlahan mulai terlihat. Sejumlah politikus kini serius mencari jalan tengah. Ketika ditemui pekan lalu, Johny Allen, Wakil Ketua Fraksi Demokrat, mengusulkan alokasi kursi per daerah pemilihan dikurangi, namun tidak drastis seperti usul Partai Banteng. Karena itu, ”Daerah pemilihan untuk DPR RI bisa bertambah sedikit, dari semula 69 daerah menjadi 75-80 daerah pada Pemilu 2009,” katanya.
Adapun Chozin Chumaidy, Wakil Ketua Umum PPP, meminta penyederhanaan cukup dilakukan di parlemen lewat pengetatan syarat membentuk fraksi. ”Idealnya ada empat fraksi saja di DPR,” katanya. Ide ini serupa dengan usul Fraksi PKS. ”Kami setuju prinsip penyederhanaan, tapi sebaiknya menunggu konsolidasi bangunan politik matang,” kata Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Siddiq.
Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan, meyakini bahwa pada akhirnya tidak akan ada polarisasi yang tajam. ”Pasti akan ada titik temu,” kata politikus Partai Golkar ini. Ferry meramalkan aturan baru Pemilu 2009 tidak akan berubah ekstrem. ”Yang jelas, akan ada perbaikan,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Kurniasih Budi, Aqida Swamurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo