Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya tidak ada pertandingan hari itu. Namun pada Selasa malam pekan lalu, sekitar 30 ribu penonton memenuhi The Newlands Stadium, Cape Town, Afrika Selatan. Ada laga istimewa yang melibatkan 22 pemain dan mantan pesepak bola dunia di stadion berusia 117 tahun itu. Mereka antara lain Pele, George Weah, dan Samuel Eto’o.
George Weah memimpin tim Afrika XI yang berkostum serba putih, sedangkan Pele di kesebelasan Dunia XI, berseragam serba hitam. Mereka semua menggunakan satu nomor punggung: 46664, nomor seragam tahanan Mandela ketika dipenjara di Pulau Robben selama 18 tahun. Pertandingan di markas klub Ajax Cape Town yang berkapasitas 40 ribu tempat duduk itu berakhir imbang tanpa gol.
Tapi Mandela tidak datang ke stadion, meski laga ekshibisi itu bagian dari peringatan ulang tahunnya yang ke-89. Ia memilih menonton lewat televisi di ruang tamu rumahnya di Johannesburg, Afrika Selatan, ditemani istri ketiganya Graca Machel, janda mendiang Presiden Mozambik Samora Machel. Maklum saja, besoknya adalah ulang tahun perkawinan mereka kesembilan, bertepatan dengan hari lahir Mandela.
Pada hari istimewanya itu pula, Presiden Afrika Selatan 1994-1999 ini mengumumkan pendirian kelompok The Elders. Misinya, menangani sejumlah persoalan rumit dunia. ”Kami bersama akan mengupayakan keamanan di mana ada ketakutan, mempercepat perjanjian di mana terjadi konflik, dan memunculkan harapan di mana terdapat keputusasaan,” kata Mandela dalam pidatonya.
Ikon gerakan antiaparteid Afrika Selatan ini tidak sendirian. Bergabung pula Jimmy Carter (mantan Presiden Amerika Serikat), Kofi Annan (bekas Sekretaris Jenderal PBB), Desmond Tutu (mantan Uskup Agung Cape Town), Li Zhaoxing (mantan Menteri Luar Negeri Cina), Mary Robinson (mantan presiden Irlandia), dan Muhammad Yunus (penerima Nobel Perdamaian 1996 asal Bangladesh).
”Kelompok ini akan membawa kembali harapan dan kebijakan bagi dunia. Mereka berperan menghentikan derita kemanusiaan dan menciptakan dunia yang lebih menyenangkan,” ujar Richard Branson, hartawan Inggris yang menyumbang US$ 18 juta atau sekitar Rp 162 miliar sebagai dana awal organisasi itu.
Sebenarnya ini bukan gebrakan pertama Mandela. Dari rumahnya di Central Avenue 107, Houghton, Johannesburg, ia menjalankan The Nelson Mandela Foundation, yang bergerak di bidang perdamaian dan kemanusiaan. Peraih Nobel Perdamaian 1993 ini juga mendirikan The Nelson Mandela Children’s Fund, dengan misi meningkatkan kualitas hidup anak-anak dan pemuda Afrika.
Komitmennya terhadap perdamaian dunia tak perlu diragukan. Ia pernah terang-terangan menentang invasi Amerika ke Irak. ”Ini sebuah tragedi. Apa yang terjadi dan apa yang dilakukan Bush, ia melecehkan PBB,” kata Mandela menegaskan.
Komitmen serupa juga dibuktikan Jimmy Carter, 82 tahun. Penghuni Gedung Putih dari 1977 hingga 1981 ini tak mau tinggal diam menyaksikan penderitaan kemanusiaan akibat perang, kelaparan, dan penyakit. Lewat The Carter Center yang dibentuk bersama istrinya, Rosalynn Carter, pada 1982, ia ingin menyelesaikan konflik, memajukan kebebasan dan demokrasi, serta meningkat kualitas kesehatan umat manusia.
Organisasi yang berkantor pusat di Atlanta, Amerika Serikat, ini sekarang aktif di 74 negara. Semboyannya: menciptakan sebuah dunia di mana tiap lelaki, perempuan, dan anak-anak memiliki kesempatan menikmati kesehatan yang baik dan hidup damai.
Kini The Carter Center sedang menjalankan program penguatan pascakonflik, penegakan hukum, dan penghargaan terhadap hak asasi di Liberia dan Kongo. Dua negara ini pernah mengalami perang saudara. Mereka juga membantu warga dan pemerintah negara Amerika Latin, Karibia, dan Afrika dalam memerangi korupsi.
Mereka juga terlibat dalam memastikan pelaksanaan pemilu yang jujur dan damai di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Bahkan Carter bersama istrinya terjun langsung ke lapangan mengamati pelaksanaan pencoblosan suara dalam pemilihan presiden langsung pertama di Tanah Air pada 2004.
Kawasan Timur Tengah yang sarat konflik politik dan keamanan juga tak luput dari garapan Carter Center. Carter seolah ingin mengulangi suksesnya ketika Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin menandatangani Perjanjian Camp David pada 17 September 1978. ”Ini adalah sukses besar diplomasi dalam sejarah konflik Palestina-Israel,” kata Matthew Hodes, Direktur Program Resolusi Konflik Carter Center.
Organisasi ini sangat menaruh perhatian pada proses perdamaian Palestina dan Israel. Karena itu, mereka selalu mengumumkan laporan tahunannya kepada publik Amerika, Israel, maupun masyarakat Barat. Mereka menyoroti sejumlah faktor yang menghambat terciptanya perdamaian, di antaranya pembangunan tembok pemisah, pembatasan akses dan pergerakan warga Palestina, pembatasan bagi investor Amerika keturunan Palestina, serta penangkapan dan pembunuhan pejabat Palestina.
Karena itu, pada November 1983, Carter bersama Gerald Ford—juga mantan presiden Amerika—memimpin forum konsultasi pertama tentang Timur Tengah. Ia juga sering bolak-balik ke Timur Tengah dalam memajukan proses perdamaian di kawasan itu. Carter Center juga ikut memantau penyelenggaraan pemilu presiden 2005 yang memenangkan Mahmud Abbas dan pemilu parlemen 2006 di mana Hamas menjadi jawaranya.
Carter sempat dianggap sebagai pendukung Palestina ketika bukunya yang laris, Palestine: Peace Not Apartheid, dilansir pada November 2006. Kecaman pun berdatangan dari para pendukung Israel. Bahkan 14 anggota dewan penasihat Carter Center mundur sebagai protes atas buku itu.
Dua buku laris lainnya adalah An Hour Before Daylight dan Our Endangered Values. Carter memang aktif menulis buku sejak pensiun dari Gedung Putih. Ia saat ini sedang membuat memoar mengenai ibunya, Lilian, yang meninggal pada 1983. Rencananya, buku ini akan diterbitkan pada Maret tahun depan. ”Jimmy Carter telah menginspirasi jutaan orang. Sebuah kesempatan besar bertemu dengan seorang wanita yang menjadi inspirasinya selama ini,” kata penerbit Simon & Schuster, Kamis pekan lalu.
Mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari juga tak mau kalah. Ia juga aktif dalam upaya perdamaian dunia lewat organisasi Crisis Management Initiative yang ia dirikan pada 2000. Lelaki 80 tahun ini sekarang menjabat utusan khusus PBB dalam perundingan soal status final Kosovo, provinsi yang ingin merdeka dari Serbia. Sejak 1999 wilayah ini diatur PBB bersama NATO.
Nama Ahtisaari juga tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan Indonesia. Ia berjasa dalam menciptakan perdamaian di Aceh, provinsi yang bergejolak selama lebih dari tiga dekade. Atas usahanya selama Januari hingga Agustus 2005, akhirnya Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Atas keberhasilan ini, namanya sempat masuk bursa calon pemenang Nobel Perdamaian 2006.
Mungkin yang agak berbeda adalah mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Sementara Mandela, Carter, dan Ahtisaari atas prakarsa sendiri, keterlibatan Blair lantaran ditunjuk oleh Amerika, Inggris, Rusia, dan PBB. Ia kini menjadi mediator perdamaian Timur Tengah setelah cabut dari Downing Street 10, London. Ia akan pindah kantor ke Yerusalem.
”Fokusnya dalam segera adalah pembangunan kelembagaan, perbaikan ekonomi dan sosial, serta bagaimana membantu penegakan hukum di Palestina.… Peran yang lebih luas akan diputuskan oleh kelompok kuartet,” kata seorang pejabat senior Amerika yang tak mau disebutkan namanya.
Tapi penunjukan Blair ini dicemooh pelbagai pihak lantaran tetap akan mengekor kepentingan Amerika. ”Perannya akan mendukung kepentingan Amerika,” kata mantan Perdana Menteri Rusia Yevgeni Primakov.
Meski sangat sulit, Mandela, Carter, Ahtisaari, dan Blair adalah orang yang bermimpi akan sebuah dunia yang damai.…
Faisal Assegaf (BBC, Forbes, Financial Times, Gulf Times, Carter Center)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo