Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kado, Hanya untuk Abbas

Israel membebaskan tawanan Palestina dan berhenti memburu militan Palestina. Upaya setengah hati mengakhiri konflik Timur Tengah.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah dua malam, Amal Mallouh, 51 tahun, tak dapat tidur. Hatinya tidak tenang. Sebuah harapan sekonyong-konyong muncul: suaminya bakal dibebaskan dari penjara Israel. Bukankah ini sebuah mimpi?

”Kami sangat merindukannya,” ujar ibu dua anak ini, matanya menatap foto suaminya, Abdel-rahim Mallouh, bersama-sama almarhum Presiden Yasser Arafat. Abdel-rahim Mallouh, 60 tahun, orang kedua dalam Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, salah satu faksi dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Mallouh dikenal sebagai politikus senior yang dikenal dekat dengan Presiden Abbas.

”Dia pemimpin politik, bukan pembunuh,” ujar Sharif, 26 tahun, anak lelaki Mallouh. Tapi pada 2001 Israel meyakini, ia terlibat pembunuhan Menteri Pariwisata Israel Rehavam Zeevi. Dua tahun berselang ia pun ditangkap. Dan kini, menurut orang-orang yang pernah melihatnya di penjara, ia sakit-sakitan.

Tapi politik bisa bergerak ke arah tak terduga. Presiden Amerika Serikat George W. Bush, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, juga mantan PM Inggris Tony Blair, banyak membicarakan formula perdamaian Timur Tengah. Dan pada Jumat akhir pekan lalu, Israel sendiri membuat keputusan menarik: membebaskan 256 tahanan Palestina—termasuk Abdel-rahim Mallouh.

Dari jumlah itu, 85 persen merupakan aktivis Fatah, dan sisanya dari fraksi lain. Tak seorang pun dari Hamas yang dibebaskan. Diakui atau tidak, keputusan PM Israel Olmert yang kemudian disetujui oleh Knesset ini merupakan tanda dukungan paling jelas bagi orang-orang Fatah—sosok yang dulu musuh tapi sekarang lebih mendekati kawan Israel.

Sebenarnya pembebasan itu merupakan buah pertemuan Olmert-Abbas di kawasan wisata Mesir, Sharm El Sheik, 25 Juni lalu. Pertemuan yang didukung Amerika dan bertujuan membangkitkan moral Mahmud Abbas setelah dipermalukan milisi Hamas dengan mengambil alih keamanan Jalur Gaza dari Pasukan Keamanan Otoritas Palestina yang loyal padanya.

”Ini risiko Israel demi memperkuat rezim Abu Mazen (panggilan akrab Presiden Abbas),” ujar Menteri Keamanan Publik Israel, Avi Dichter.

Olmert pun sebetulnya menuai protes kelompok garis keras Israel dan keluarga korban kekerasan militan Palestina. Mereka menghalangi pembebasan itu dengan mengajukan banding ke Mahkamah Agung Israel. ”Sebanyak 179 rakyat Israel terbunuh sejak 2000 oleh rakyat Palestina yang dibebaskan dalam kesepakatan sebelumnya,” ujar Almagor, wakil keluarga korban. Tapi Olmert menjawab: tak satu pun tawanan Palestina yang dibebaskan itu secara langsung terlibat dalam serangan terhadap rakyat Israel.

Apalagi, di penjara Israel masih mendekam sekitar 10.500 tawanan Palestina yang lebih dari cukup sebagai amunisi bagi Israel untuk menekan Presiden Abbas di meja perundingan. Tak mengherankan bila negosiator Palestina, Saeb Erekat, memohon agar Israel membebaskan lebih banyak tawanan Palestina.

Selain pembebasan tawanan, Olmert setuju berhenti memburu 178 anggota Brigade Martir Al-Aqsha yang berafiliasi dengan Fatah. Syaratnya, mereka menghentikan serangan terhadap Israel. Syarat itu diterima. ”Aktivis Brigade Al-Aqsha telah menandatangani ikrar menghentikan serangan terhadap Israel,” ujar Zakaria Zubeidi, pemimpin Brigade Al-Aqsha dari Jenin. Menurut Zubeidi, sejumlah militan Palestina telah menyerahkan senjata mereka pada pejabat keamanan Palestina. Toh, ia meragukan kesepakatan itu. ”Sulit mempercayai komitmen Israel,” katanya.

Bahkan di kalangan pemimpin Fatah muncul sikap skeptis. ”Israel tak punya keinginan agar Fatah kuat, ini hanya banyolan,” ujar Qadura Fares, pemimpin Fatah di Ramallah. Reaksi Hamas yang dikucilkan sudah diduga. ”Tujuan akhirnya mengubah pasukan keamanan Palestina menjadi aparatus yang melindungi permukiman dan pemukim Israel,” ujar Yayha Mussa, salah seorang pemimpin Hamas di Gaza.

Tapi, apa pun tentangan terhadap kesepakatan Olmert-Abbas, Sharif Mallouh siap menyambut kepulangan ayahnya setelah lima tahun berpisah. Ia tak akan mengajaknya berdiskusi tentang politik. ”Saya akan memeluk dan menciumnya. Akhirnya kami akan bersatu lagi dan hidup seperti layaknya keluarga,” kata Sharif.

Raihul Fadjri (Reuters, BBC, Haaretz, Ynet/Yediot Ahronot)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus