KEMELUT PDI memasuki minggu ketiga. Seperti tahun lalu, dalam
kemelut kali ini pun mereka memperebutkan kantor DPP PDI Jalan
Diponegoro, Jakarta. Tahun lalu Sanusi dkk berhasil tetap
berkantor di sana. Usaha Djon Pakan, Wakil Sekjen yang pro
Isnaeni, yang ketika itu merebut dengan kekerasan, gagal. Kali
ini gantian Isnaeni dkk yang menguasai kantor tersebut. Sejak
"dibebas-tugaskan" sebagai ketua DPP PDI, Isnaeni dan Sunawar
hampir tiap hari berusaha muncul di gedung yang tampak kurang
terpelihara itu.
Baik tahun lalu maupun kali ini, pola perpecahan itu tetap.
Yaitu di antara 9 orang anggota DPP yang berasal dari PNI. Sejak
dulu sampai sekarang, sementara Parkindo dan Katolik berpihak
pada Sanusi, Murba dan IPKI di belakang Isnaeni. Yang berbeda
mungkin sikap Pemerintah.
Bulan-bulan pertama perpecahan tahun lalu, Pemerintah bersikap
'membiarkan' kedua DPP jalan sendiri-sendiri. Tapi kali ini,
sementara DPP-Sanusi diijinkan rapat di jalan Borobudur, DPP
Isnaeni dilarang rapat di jalan Diponegoro.
Rapat Borobudur memutuskan beberapa hal yang mendasar. Selain
mensahkan keputusan "pembebas-tugasan" Isnaeni-Sunawar, rapat
juga mensahkan keanggotaan MPP (Majelis Permusyawaratan
Pimpinan), lembaga tertinggi di bawah kongres yang bertugas
menyiapkan materi kongres. Panitia Kongres pun disahkan dengan
Hardjantho Sumodisastro sebagai ketua pelaksana. Kongres
direncanakan Pebruari 1979, yang menurut sebuah sumber "sedapat
mungkin di Bali."
Adanya DPD dan DPC kembar di beberapa tempat pun akan
diselesaikan pula, dengan prioritas DPD PDI Jakarta Raya. Soal
ini diserahkan pula kepada Hardjantho Sumodisastro, Ketua
Kelompok Kerja DPP PDI Bidang Organisasi. Melihat peranan yang
semakin penting itu, santernya bisik-bisik bahwa Hardjantho akan
"ditampilkan" sebagai ketua umum DPP PDI dalam kongres II PDI
mendatang, semakin jelas.
Isnaeni sendiri, dalam konperensi pers DPP PDI-nya di hotel
Kartika Chandra Rabu 29 Nopember lalu secara tak langsung ada
menyinggung peranan Hardjantho. Ia nyeletuk: "Bagaimana mungkin
orang bisa memimpin partai kalau sudah sibuk mengurus 10
perusahaan." Diduga Hardjantho yang ia maksud. Sebab beberapa
hari kemudian kepada wartawan Hardjantho mengaku mengurus
beberapa perusahaan, "tapi tidak benar sampai 10 buah," katanya.
Hardjantho, 51 tahun, dalam Kongres PNI di Bandung 1966 dikenal
sebagai salah seorang tokoh muda yang berusaha menengahi
konflik PNI A-Su dan Osa-Usep, kemudian muncul sebagai Bendahara
II dalam DPP PNI waktu itu. Dalam kemelut PDI tahun lalu memihak
Isnaeni, kini ia di belakang Sanusi. Pernah menjadi ketua Legiun
Veteran RI, Hardjantho kini dikenal sebagai pengusaha besar yang
antara lain memimpin PT Panca Tunggal di Gondangdia Lama dan PT
Statomer di Wisma Nusantara. Sejak tahun lalu ia pernah
dikabarkan sebagai calon ketua umum DPP PDI. Sesudah
penyelesaian konflik PDI 6 Januari 1978, ia tampil sebagai Ketua
Fraksi PDI di DPR.
Siapa Gembel?
Hardjantho ternyata tidak sendirian. Seperti dua pihak yang
saling bertengkar, ia pun membawa beberapa kawan. Dan tentu saja
juga menghendaki jabatan strategis, misalnya pimpinan DPD PDI
Jakarta Raya. Kata Ipik Asmasubrata, ketua DPD PDI Jakarta Raya
yang pro Isnaeni beberapa hari lalu. Hardjantho juga berusaha
memasukkan Gembel dalam kepengurusan DPD PDI Jakarta Raya.
Siapa Gembel? Nama lengkapnya Gembel Soedijono, bekas anggota
Tentara Pelajar Brigade XVII Surakarta. Ia antara lain kini
memimpin dua perusahaan PT Rimba Tirta Emas dan PT Dirodo Gajah
Eilm. Anggota PNI Jakarta Selatan yang pernah mengetuai Kesatuan
Buruh Marhaenis basis Perhotelan ini juga berperan penting dalam
Kongres PNI di Semarang, 1970, yang ketika itu terkenal dengan
adanya "campur tangan pemerintah." Gembel sendiri mengakui,
ketika itu ia adalah salah seorang formatir bersama tokoh PNI
lainnya Hardjanho, Sunawar, Karundeng.
"Banyak cabang-cabang dari kedua DPD PDI Jakarta Raya yang
menawarkan apakah saya bersedia menjadi pimpinan DPD," kata
Gembel Senin lalu di rumahnya di Cilandak. Katanya pula, mereka
sudah 2 kali rapat di rumah Gembel. Tapi bagi Gembel sendiri,
"saya bersedia kalau memang dicalonkan dan terpilih." Dengan
kata lain, "saya tidak mau didrop tapi harus melalui prosedur."
Dan katanya lagi, "DPD dan DPC kembar harus segera bersatu."
Kapan penyelesaiannya? "Pokoknya sebelum kongres, harus sudah
beres," tambahnya.
Tapi sampai minggu lalu kericuhan itu belum juga beres. Bahkan
muncul kasus baru. Selembar fotokopi beredar. Fotokopi surat
keputusan DPP PDI yang ditandatangani ketua DPP PDI Hardjantho
dan sekjen Sabam Sirait itu menyebut "pembebas-tugasan Usep
Ranawidjaja dari segala jabatan dan keanggotaan PDI." Tapi
ternyata palsu. Pihak DPP PDI-Sanusi kemudian menyerahkan
persoalannya kepada Polri.
Sepintas lalu orang bisa menuduh kelompok Isnaeni sebagai pelaku
pemalsuan itu, mengingat Usep, salah seorang ketua DPP PDI,
termasuk salah seorang yang dianggap sering tak serasi tapi
tidak dibebas-tugaskan oleh Sanusi. Tapi kepada TEMPO, akhir
pekan lalu Isnaeni menuduh justru Hardjantholah yang berbuat
itu.
Kemelut PDI tampaknya juga membuat Presiden Soeharto prihatin.
Sehari setelah Sanusi mengumumkan "pembebas-tugasan"
Isnaeni-Sunawar, Presiden memanggil Roeslan Abdulgani, bekas
tokoh PNI yang kini menjadi Ketua Tim P7 (Penasihat Presiden
untuk Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Menurut sebuah sumber, Roeslan diminta pendapatnya
mengenai masa depan PDI. Kabarnya Roeslan kasih resep perlu
regenerasi dan sesudah itu rekonsiliasi alias kerukunan kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini