Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANGLIMA ABRI Jenderal L.B. Moerdani kembali bicara perihal ancaman. Menjawab pertanyaan Reuter, Ahad lalu, ia mengimbau Vietnam dan negara-negara Asia Tenggara untuk bersatu menghadapi RRC, yang akan lebih kuat pada masa mendatang. Persatuan itu, "Kalaupun tidak secara fisik, maka secara ideologis diperlukan," ujar Benny. Pernyataan ini memang mencerminkan ketegaran jenderal berbintang empat itu dalam memandang masalah keamanan di kawasan Asia Tenggara. Februari lalu, misalnya, dalam kunjungannya ke Hanoi yang disebut "kontroversial" oleh pers Barat, Jenderal Benny mengatakan bahwa Vietnam bukan merupakan ancaman militer bagi negara-negara ASEAN. Ancaman potensial, katanya ketika itu, justru RRC. Dua tahun sebelumnya, Menlu Mochtar Kusumaatmadja juga sudah menyatakan setuju untuk "melihat RRC sebagai bahaya paling besar' bagi ASEAN. Ini diucapkan Mochtar ketika mengomentari pembentukan Pemerintahan Koalisi Demokratik Kamboja di Kuala Lumpur, 22 Juni 1982. Pemimpin ASEAN di luar Indonesia memang tidak sejelas itu menyiratkan sikap terhadap "pilihan" ancaman antara Vietnam dan RRC. Mereka lebih banyak memberi tekanan atas penyelesaian damai masalah Kamboja, yang secara tidak langsung menyangkut kedua negara. Toh melalui tangan kedua, perasaan mereka terungkap juga. Adalah menlu Amerika Serikat George Shultz, yang meneruskan kekhawatiran itu kepada para wartawan di Jakarta, Juli silam. Ketika itu, Shultz dan para rekannya dari Australia, Selandia Baru, Jepang, Kanada, dan MEE baru saja menghadiri dialog dua hari dengan para menlu ASEAN. Shultz menyatakan terkesan akan sikap ASEAN terhadap RCC. "Saya diingatkan oleh para pemimpin negara itu,' katanya. "Secara ekonomi, bila Cina kuat, akan menjadi ancaman bagi negara di Selatan." Sementara itu, peristiwa yang berkembang di Vietnam pekan im mengambil arah yang agak lain. Misalnya, laporan dari sidang Mahkamah Rakyat Tertinggi Vietnam, yang dibuka pekan lalu, untuk mengadili komplotan yang dituduh bertujuan menggulingkan pemerintah Republik Sosialis Vietnam. Pengadilan ini, di samping berusaha membuktikan keterlibatan RRC, juga terang-terangan menyebut peran serta AS dan Muangthai. Komplotan itu, demikian kantor berita Vietnam VNA, berusaha melancarkan infiltrasi dan operasi sabotase, serta membantu gerakan perlawanan terhadap pasukan Vietnam yang berada di Kamboja untuk mempertahankan pemerintahan Heng Samrin. Konon, 120 anggota komplotan sudah dir bekuk, dan 21 di antaranya akan dihadapkan ke depan Mahkamah yang bersidang di Kota Ho Chi Minh. Kalau tuduhan terbukti, inilah agaknya komplotan infiltrasi paling unik yang pernah bermain di kawasan Asia. Terdakwa Mai Van Hanh, yang dituduh memimpin komplotan, dikabarkan mengaku mempunyai hubungan erat dengan penasihat kementerian luar negeri RRC, Han Nianlong. Konon, Mai lahir di Hanoi, tetapi belakangan menjadi penduduk Casablanca, Marokko, beberapa kali bertemu dengan Han di Beijing. Ia ditangkap di delta Sungai Mekong, Vietnam bagian selatan, Oktober lalu. Menurut surat tuduhan, dalam beberapa tahun terakhir ke Vietnam diselundupkan 70 ton bahan peledak, dan mata uang lokal senilai US$ 2,5 juta. Semua peranti subversi ini ditampung apa yang dinamakan "Front Persatuan Kekuatan Patriotik untuk Pembebasan Vietnam" (UFPFLV). Ketua Mahkamah, Huynh Van Thang, menyatakan bahwa anggota UFPFLV yang dihadapkan ke depan sidang adalah mereka yang tertangkap sejak 1981 Komplotan itu mengorgamsasikan imfiltrasl dan sabotase di kawasan sekitar Teluk Siam dan Delta Mekong. Mereka, di samping berhubungan akrab dengan kementerian luar negeri dan angkatan darat RRC, juga menjalin kontak denan Donald Coleman, sekretaris dua kedutaan besar AS di Bangkok. Coleman tentu saja membantah semua tuduhan itu. Kalau keterangan Thang diterima, memang akhirnya tidak jelas latar belakang komplotan itu. UFPFLV dikatakan mempunyai banyak kontak di Prancis, terutama dengan Tran Van Huu, perdana menteri Vietnam pada zaman Bao Dai. Front ini dipimpin Le Quoc Tuy dan Mai Van Hanh, keduanya bekas perwira senior angkatan udara Vietnam Selatan. Di antara tertuduh terdapat 13 bekas serdadu Vietnam Selatan yang pro AS. RRC hingga Senin lalu belum mengomentari semua tuduhan. Tetapi, menurut siaran Radio Hanoi, sehari sebelumnya, Cina menembakkan lebih dari 38.800 peluru jarak jauh ke provinsi-provinsi utara Vietnam. Vietnam mengaku menewaskan 130 tentara Cina, dan menawan sejumlah lainnya. Pertempuran berkecamuk antara I dan 10 Desember di provinsi perbatasan Lang Son dan Ha Tuyen. Pada 13 dan 14 Desember, kontak senjata terjadi lagi di Bi Duen, Distrik Ha Tuyen. Melihat perkembangan terakhir di kawasan Indocina, posisi negara-negara ASEAN yang berbeda bisa melahirkan kekhawatiran yang tidak sama. Seperti pernah dikatakan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, "letak Muangthai yang begitu dekat dengan bahaya" membuat kedudukan negeri itu agak lain dalam memandang Vietnam. Apalagi kalau tuduhan Mahkamah, yang bersidang di Kota Ho Chi Minh, bisa dibuktikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo