Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ISRAEL tampaknya makin mengukuhkan diri sebagai ancaman potensial di Timur Tengah. Sebuah laporan Pusat Pengkajian Masalah-Masalah Strategis dan Internasional (CSIS) Universitas Georgetown, AS, menyebutkan negeri itu "diduga memiliki sekitar 100 senjata nuklir". Laporan tersebut dibuat Rodney W. Jones untuk Badan Pertahanan Nuklir AS, dan diumumkan awal bulan ini. Israel memang selalu membantah perkiraan semacam ini. Tetapi, bukan rahasia lagi bahwa negara itu sudah agak lama diperhitungkan dalam peta pemilikan senjata nuklir yang sedang berkembang. Terutama sejak reaktor nuklir berkekuatan 26 MW di Dimona dioperasikan, 1964. Laporan Jones juga menyebut nama Dimona, kota di Gurun Neev, yan kini setengah tertutup itu. Di kota yang terletak pada ketinggian 1 km di atas Lau Mati inilah reaktor pertama dibangur dengan perjanjian rahasia. Israel-Prancis, 1950-an. AS sendir baru mengetahui proyek itu pada akhir 1960-an, setelah pesawat spior mereka terbang di atas kawasan rawar itu. Prancis memang sekutu kental Israel di bidang riset nuklir. Negara ini bukan saja mengambil peranan penting dalam pembangunan reaktor Di mona, melainkan juga merencanakan proses ulang ekstraksi plutonium dar sisa bahan bakar reaktor itu. Bahkar Prancis bersedia mengolah sisa bahar bakar tersebut, dan mengirimkannya. kembali ke Israel dalam bentuk pluto nium siap pakai. Karena itu, agaknya, pernyataan perdana menteri Israel Shimon Peres di Paris, sepekan setelah laporan Jones diumumkan, makin menarik perhatian. Dalam pernyataan itu, Peres mengungkapkan hasil perundingannya dengan presiden Prancis Francois Mitterrand, tentang kemungkinan pembelian dua pusat tenaga nuklir oleh Israel dari Prancis dalam waktu dekat ini. Alasan Peres dalam pembelian dua pusat tenaga nuklir itu adalah kebutuhan negerinya akan penambahan kapasitas listrik sekitar 2.000 MW pada 1990-an. Peres memang tokoh utama dalam pengembangan tenaga nuklir Israel. Dia jugalah, dalam jabatan direktur jenderal pada kementerian pertahanan Israel, yang memimpln pembangunan proyek Dimona, sekitar tiga dasawarsa silam. Menurut taksiran para ahli, produk plutonium dari proyek Dimona setidak-tidaknya bisa digunakan untuk membuat sebuah bom setiap tahun. Dinas inteligen AS, CIA, sejak awal 1970an sudah menarik kesimpulan tentang pembuatan senjata nuklir oleh Israel. Dalam masalah terakhir ini, AS memang agak merisaukan Israel. Selama beberapa tahun, sepanjang 1960-an, beberapa ilmuwan AS diizinkan meninjau proyek Dimona. Tetapi Washington segera membatalkan acara itu, setelah ternyata para ilmuwan tersebut dibatasi secara ketat oleh tuan rumah. Sementara itu, pada akhir 1960-an, Israel juga membeli uramum yang diperkaya dari sebuah perusahaan AS. Menurut seorang pejabat inteligen AS, dalam dasawarsa terakhir ini sangat boleh jadi Israel telah membangun gudang kecil bagi penimbunan senjata nuklir. Berita ini tentu tidak menggembirakan para penguasa lain di seantero Timur Tengah. Sebab, negara-negara Arab diperkirakan baru akan memiliki fasilitas kekuatan nuklir pada 1990-an, itu pun dalam skala kecil. Selain itu, Israel selama ini juga menjadikan industri pertahanan sebagai sektor penting ekonominya. Sampai saat ini, misalnya, sektor pertahanan Israel menyerap 15% tenaga kerja industrial negeri itu. Selama dasawarsa lalu, ketika angka perdagangan luar negeri Israel meningkat dari US$ 779 juta menjadi US$ 5,54 milyar, penjualan alat-alat militer saja mengalami kenaikan 16 kali. Laporan Jones tidak menutupi kenyataan bahwa kekuatan nuklir, betapapun kecilnya, merupakan ancaman bagi negara di sekitarnya. Ancaman itu bahkan mengganggu kepentingan AS, terutama pangkalannya di luar negeri. Misalnya, pangkalan itu bisa diambil alih sebelum pasukan AS tiba di sana. Apalagi, "Israel mampu memodifikasikan senjata nuklir, dan menggunakannya hanya dalam waktu beberapa jam," kataJones. Padahal, definisi "kekuatan nuklir kecil" meliputi paling tidak lima bom atau mata senjata perang nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo