Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Khan

Abdul Ghaffar Khan, orang muslim murid paling setia gandhi akan mendapat hadiah nobel. Ia telah mendidik pengikutnya, suku pathan, untuk meninggalkan kekerasan serta kemiskinan menuju perdamaian. (ctp)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Ghaffar Khan lahir di tahun 1890 dan ia masih hidup. Dengan satu ciri: sepanjang usianya itu, rata-rata satu dalam tiga hari Abdul Ghaffar berada dalam kurungan. Tentu saja dia bukan penjahat. Ia sahabat Gandhi, dan mungkin murid paling setia Sang Mahatma. Bahkan orang menyebutnya sebagai "Gandhi di Garis Depan". Tahun ini ia termasuk yang dicalonkan pemenang Hadiah Nobel untuk perdamaian. dan bila ia gagal menjadi titik perhatian melalui itu, setidaknya seorang penulis telah mgln menariknya ke dalam permukaan: Eknath Easwaran akan menerbitkan biografi Abdul Ghaffar di bulan Februari nanti. Khan, laki-laki jangkung yang lahir di Provinsi Perbatasan Timur Laut ini, dibesarkan di antara suku Pathan - satu puak orang-orang Muslim di daerah pegunungan yang kini separuhnya termasuk Pakistan dan separuhnya lagi termasuk Afghamsitan. Hidup rakyat yang bertani itu juga hidup yang penuh dengan kekerasan. Kultus terhadap balas dendam menguasai peri laku. Kata yang paling menggetarkan adalah izzat, seruan untuk mempertahankan "kehormatan", dan orang Pathan hidup dengan sajak tentang anak-anak muda yang mengecat rambutnya jadi merah, "seperti elang mencelup bulu-bulunya dalam darah korbannya". Khan, kemudian, tampil sebagai perkecualian. Mula-mula, ia membantu orang-orang sekaumnya itu dengan mendidik mereka: mengajak mereka lepas dari kemiskinan. Ia berjalan dari desa ke desa. Ia bicara, mengajar, bicara dan mendirikan sekolah dan memperoleh pengikut. Pengaruh Gandhl berbemh balk dalam hatinya: ia mulai memahami bahwva kekerasan yang mengoyak-ngoyak orang Pathan juga suatu pengganjal kemajuan mereka sendiri. Lalu ia pun membentuk sebuah pasukan. Ada prajurit ada pula opsir, tapi tak ada senata. Slapa saJa yang bergabung ke dalamnya bersumpah bahwa mereka tak akan berkelahi. "Aku adalah seorang Khudai Khidmatgar," demikian bunyi sumpah itu, "dan karena Tuhan tak perlu dilayani, sementara melayani ciptaan-Nya berarti melayaniNya, aku berjanji akan melayani manusia atas nama-Nya." Tapi melayani manusia tak selamanya mudah. Pada suatu hari, di masa penjajahan Inggris itu, pemerintah kolonial menutup Provinsi Perbatasan Timur Laut. Kerusuhan memang disangka akan berkecamuk. Dan bentrokan dengan rakyat memang akhirnya terjadi. Di tahun 1931, sebuah bazar di Kissa Khani, di ibu kota Provinsi Peshavar, sebuah pembantaian terjadi. "Ketika mereka yang berdiri di depan roboh oleh peluru, mereka yang di belakangnya tampil ke depan, dengan dada terbuka dan menghadang tembakan, begitu rupa hingga beberapa orang ada yang sampai terluka oleh dua puluh satu peluru di tubuh mereka, dan semua orang tegak tetap di tempatnya tanpa menjadi panik." Kisah yang disampaikan Gene Sharp, seorang penulis tentang Gandhi, ini hampir-hampir tak mudah dipercaya: sekelompok orang dari Pathan seakan memberikan pipi kiri setelah pipi kanan mereka ditampar bahkan dengan popor dan pelor? Eknath Easwaran mencoba meyakinkan kita bahwa memang tak ada yang ganjil dalam hal itu. Khan, yang Muslim itu, seperti Gandhi yang Hindu, menjawab, dalam tindakan, satu kalimat yang tak gampang dalam Injil menurut Matius. Tentu, tak setiap kali jawaban seperti itu bisa sesuai. Dalam peristiwa di bazar Kissa Khani, pasukan Inggris akhirnya yang terpaksa tak berdaya. Provinsi Perbatasan Timur Laut pun kemudian mendapatkan haknya untuk pemerintahan wilayah tersendiri - lalu, tak lama kemudian, Inggris pun pergi. Orang dapat mengatakan bahwa hanya sebuah kekuasaan seperti Kerajaan Inggris yang mampu berlaku seperti itu: sebuah kekuasaan yang dikendalikan oleh batas-batas tentang patut dan tak patut. Tapi agaknya bekal utama penolakan kepada kekerasan tidaklah berada di luar. Bekal itu ada di dalam: kepercayaan. Bukan cuma kepada sepasukan Inggris yang terpisah jauh di pegunungan di dekat Afghanistan, nun di tahun-tahun sebelum perang, bahwa mereka bukan tukang jagal. Tapi juga keyakinan kepada sesuatu, yang entah bagaimana hadir di luar kebencian, ketakutan, dan keterbatasan kita sehari-hari. Tak selamanya, tentu. Nasib sedih kita barangkali ialah bahwa kepercayaan seperti itu sangat jarang, leblh larang dan kehangatan di gunung-gunung Afghanistan. Inspirasi yang terbaik dalam sejarah pada gilirannya selalu dibatalkan dengan mudah, dengan lekas. Abdul Ghaffar Khan sendiri, seperti Gandhi, tak bisa mencegah perpisahan India dengan Pakistan setelah kemerdekaan diperoleh. Mereka tak bisa menccgah saling bunuh yang membinasakan puluhan ribu orang dalam proses itu. Gandhi kemudian ditembak. Jenazahnya diangkut oleh sebuah kendaraan pembawa meriam. Pembunuhnya, oleh hukum yang berlaku, digantung. Khan mengalami ironi dalam bentuk lain: pemerintah Pakistan seakan tak putus-putusnya memenjarakan orang yang merepotkan ini, orang yang mungkin diniatkan tidak untuk menguasai dumia ini. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus