Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Antropolog agama dan budaya, Amanah Nurish, angkat bicara soal kemenangan kelompok pemberontak yang berhasil menggulingkan rezim Presiden Bashar Al Assad di Suriah. Menurut dia, peristiwa politik bersejarah itu tak bisa dilepaskan dari latar belakang sejarah yang membentuk rakyat Suriah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Masyarakat Suriah diuji berabad-abad hingga hari ini. Jadi, negara ini dari dulu menjadi rebutan kekuasaan. Masyarakat sipilnya menjadi korban politik," katanya saat menghadiri diskusi virtual yang digelar oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) pada Rabu, 11 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Amanah, kemunculan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpin Abu Mohammed al-Golani bukanlah hal yang baru, apalagi jika organisasi itu berhasil menumbangkan rezim al-Assad.
Dalam sejarah, Amanah menuturkan, Suriah merupakan salah satu pusat peradaban tertua di dunia. Namun, kondisi politik yang berubah-ubah telah menjadikan Suriah penuh konflik seperti sekarang.
Dosen Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI itu bercerita bahwa Suriah adalah negeri yang menampung beragam kebudayaan dan keyakinan sebelum akhirnya Islam datang. Islamisasi Ottoman Turki yang terjadi sekitar 637 Masehi, jelas Amanah, telah mengubah Suriah.
Amanah menyebut bahwa sebelum Turki datang, Suriah di masa kuno pernah berada di bawah kekuasaan Mesir, Babilonia, Kanaan, Persia, Yunani, dan Romawi. "Dari sini kita bisa melihat betapa rumitnya geneologi politik negara ini. Pengalaman masa lalu itu membuat sejarah militer, pertahanan, dan sosial-politik saling berkaitan" ujarnya.
Dalam konteks lebih modern, Amanah menyinggung soal Perang Dunia I saat rakyat Suriah berhadapan dengan negara. Suriah, kata dia, juga menjadi perebutan bagi negara-negara di Eropa, seperti Inggris, Prancis, Rusia, hingga Turki. "Peristiwa berdarah di Suriah bukanlah hal yang baru," tuturnya.
Dalam Perang Dunia II, Amanah mengungkit soal keretakan sekte Islam di Suriah. Negara itu dikuasai sekitar 70 persen penganut Sunni, 13 persen Syi'ah, dan 17 persen kelompok minoritas lain seperti Yahudi, Islam Ortodoks, serta sekte-sekte lainnya.
"Pengalaman masa lalu, karakter Timur Tengah, kepentingan minyak, dsb, menjadi suatu letupan yang tidak bisa dilupakan masyarakat Suriah," ucapnya.
Berdasarkan laporan Al Jazeera, pada Ahad dini hari, pasukan oposisi menyatakan Suriah telah terbebas dari kekuasaan Bashar al-Assad ketika pasukan oposisi menyerbu ke ibu kota.
Mantan presiden Suriah dilaporkan telah melarikan diri dari Damaskus, tanpa ada informasi mengenai negara mana yang akan menerimanya.
Runtuhnya kekuasaan keluarga Bassar Al Assad yang telah berlangsung selama lebih dari 53 tahun digambarkan sebagai momen bersejarah. Hampir 14 tahun setelah warga Suriah melakukan protes damai terhadap pemerintah yang membalas dengan kekerasan yang dengan cepat berubah menjadi perang saudara.