Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengeras suara atau toa dapat membantu azan berkumandang hingga jauh, namun di sisi lain penggunaan toa oleh beberapa pihak dinilai mengganggu. Salah satunya adalah media asing Agence France-Presse atau AFP asal Paris, Prancis. Dalam sebuah artikel berjudul “Kesalehan atau hiruk pikuk? Indonesia Mengatasi Reaksi Volume Azan” pada Kamis, 14 Oktober 2021, AFP menyebutkan bahwa pengeras suara dari masjid menyebabkan gangguan kecemasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan penggunaan toa masjid sebenarnya telah diatur dalam Lampiran Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam lampiran instruksi tersebut disebutkan syarat-syarat penggunaan pengeras suara, antara lain tidak boleh terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat, serta bacaan Al-Quran maupun tarhim boleh diputar maksimal 15 menit sebelum datang waktu salat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu bagaimana dengan aturan penggunaan pengeras suara di negara-negara dengan mayoritas penduduk muslin lain seperti Arab Saudi? Pada pengujung Mei lalu, pemerintah Arab Saudi menginstruksikan para pengurus masjid agar membatasi penggunaan pengeras suara eksternal. Toa eksternal hanya boleh digunakan untuk panggilan azan dan ikamah.
Aturan tersebut tertuang dalam surat edaran Menteri Urusan, Panggilan dan Bimbingan Islam Arab Saudi Abullatif Bin Abdulaziz Al-Sheikh ke semua cabang kementerian di wilayah kerajaan. Selain itu, volume pengeras suara tidak boleh melebihi satu dari tiga volume penuh pengeras suara masjid. Menteri menegaskan bahwa tindakan regulasi akan diambil terhadap siapa pun yang melanggar surat edaran ini.
Islam menganjurkan supaya jangan menimbulkan ketidaknyamanan dengan bacaan keras selama salat dan berdoa. Alasan lainnya yaitu tidak hormat rasanya apabila ayat Al-Qur’an diperdengarkan melalui toa eksternal, tetapi tidak ada yang mendengar dan merenungkan ayat-ayatnya.
Sementara di Turki, yang mayoritas penduduknya muslim, penggunaan pengeras suara sudah menjadi kebiasaan dan tidak ada komplain dari masyarakat. “Suara azan masjid normal tapi tidak terlalu keras," kata Pelaksana Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Ankara, Abdul Hakim. Selain azan, kata Abdul Hakim, pengeras suara juga digunakan untuk menyiarkan khotbah Jumat.
Sedangkan di India, pemerintah setempat mengawasi penggunaan pengeras suara yang tak berizin di masjid-masjid. Pemerintah juga membatasi volume pengeras suara di ruang publik maksimal 10 desibel di atas volume derau di sekitar atau 5dB di atas volume bunyi-bunyian di ruang pribadi. Aturan yang didukung ulama Islam India ini diterbitkan untuk menjamin ketertiban umum.
Di Malaysia, aturan soal pengeras suara masjid tergantung pada negara bagian masing-masing. Negara bagian yang melarang pengeras suara digunakan selain untuk azan di antaranya adalah Penang, Perlis, dan Selangor. Mufti Perlis, Datuk Asri Zainul Abidin, dalam fatwanya, menegaskan larangan tersebut sudah sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad agar tidak mengganggu ketertiban umum.
Tak jauh beda dengan Malaysia, di Mesir pemerintah juga melarang pengeras suara masjid digunakan selain untuk mengumandangkan azan. Larangan ini didukung oleh Universitas Al-Azhar dan mulai diterapkan sejak Ramadan 2018. Pihak Al-Azhar mengatakan, pengeras suara dapat mengganggu pasien di rumah sakit atau manula dan oleh karenanya, bertentangan dengan ajaran Islam.
HENDRIK KHOIRUL MUHID