Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Benarkah Bahtera Nabi Nuh Ada di Gunung Ararat Turki?

NAMI mengklaim telah menemukan sisa-sisa bahtera Nabi Nuh di Gunung Ararat, Turki. Simak selengkapnya di sini.

17 Februari 2023 | 10.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah kelompok bernama Noah’s Ark Ministries International (NAMI) mengklaim telah menemukan sisa-sisa bahtera Nabi Nuh di Gunung Ararat, Turki sekitar 16 tahun lalu. Tujuh kompartemen kayu besar terkubur pada ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut, dekat puncak Gunung Ararat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal ini selaras dengan penganut Alkitab yang percaya, walau masih kerap diperdebatkan, bahwa sebuah gunung di Turki menjadi tempat pemberhentian kapal atau bahtera Nabi Nuh. NAMI pun yakin 99,9 persen bahwa penemuan mereka benar adanya. Akan tetapi, klaim tersebut ternyata tidak didasarkan pada bukti arkeologis yang kredibel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencarian kapal Nabi Nuh memang tidak lepas dari keyakinan spiritual tentang banjir bandang yang pernah menyapu hampir seluruh makhluk Bumi pada ribuan tahun lalu. Selama lebih dari satu abad, orang-orang telah berusaha mencari keberadaan Kapal Nabi Nuh atau Noah yang selamat dari air bah menurut kitab Al-Qur’an maupun Injil.

Namun, arkeolog modern mengatakan bahwa itu adalah kerjaan “orang bodoh”. Artikel ini tidak akan membahas soal penemuan NAMI di Gunung Ararat, melainkan lebih kepada kemungkinan ditemukannya Kapal Nabi Nuh.

Kapal atau Bahtera Nuh adalah salah satu ayat yang paling terkenal dan menawan dari kisah-kisah di dalam Alkitab. Setelah menciptakan manusia, Tuhan murka dan menghantam Bumi dengan banjir besar untuk memusnahkan seluruh isinya. Sementara itu, para pengikut Nuh bersama sepasang dari masing-masing spesies hewan yang ada selamat dengan menaiki sebuah kapal kayu raksasa.

Bagi orang-orang yang mempercayai Alkitab sebagai kisah sejarah yang akurat dan faktual, perburuan jejak arkeologi Kapal Nuh mungkin sangat menginspirasi. Sejumlah penjelajah menyisir lereng Gunung Ararat, Armenia dan sekitarnya untuk mencari jejak kapal tersebut.

Misalnya pada 1876, seorang pengacara dan politikus Inggris James Bryce mendaki Gunung Ararat dan mengklaim sepotong kayu sebagai bagian dari Kapal Nuh. “Penemuan” lainnya mencakup laporan seorang optometris yang melihat formasi batuan pada 1940-an hingga klaim pendeta evangelis yang menemukan fosil kayu pada awal 2000-an.

Namun, sederet ekspedisi Kapal Nuh sebenarnya justru mendapat banyak penolakan dari arkeolog maupun ahli Alkitab. “Tidak ada arkeolog yang mumpuni untuk melakukan ini,” kata Jodi Magness, seorang arkeolog dari Universitas Carolina Utara, Chapel Hill.

“Arkeologi bukan perburuan harta karun,” tambahnya. “Arkeologi bukanlah tentang usaha menemukan objek tertentu, melainkan sains di mana para arkeolog mengajukan proposal penelitian yang diharap dapat terjawab dengan berlangsungnya penggalian arkeologis.”

Banjir atau Fiksi?

Kisah Kapal Nuh dan banjir bandang banyak ditemukan dalam teks-teks Mesopotamia, seperti halnya Epos Gilgamesh pada sekitar awal milenium kedua Sebelum Masehi (SM) dan aksara paku Babilonia dari tahun 1750 SM. Bukti-bukti purbakala itu menggambarkan bagaimana sebuah bahtera dibangun.

Pertanyaannya, apakah Kisah Nuh sesuai dengan fakta modern? “Tampak ada bukti geologis bahwa pernah terjadi banjir besar di wilayah Laut Hitam sekitar 7.500 tahun yang lalu,” ungkap Eric Cline, seorang arkeolog dari Universitas George Washington.

Namun, sejumlah ilmuwan dan sejarawan tidak sepenuhnya setuju dengan kisah air bah yang terjadi. Mereka berpendapat bahwa lebih mungkin jika banjir berskala normal terjadi di beberapa tempat berbeda pada waktu yang berbeda pula.

Lebih rumit lagi, Alkitab Ibrani menyebut bahtera terdampar “di atas pegunungan Ararat” yang terletak di Kerajaan Kuno Urartu, sebuah wilayah yang saat ini mencakup Armenia serta sebagian timur Turki dan Iran. Hal tersebut juga menjadi perdebatan tentang letak pasti Kapal Nuh oleh para peneliti.

“Tidak mungkin kita bisa menentukan di mana tepatnya Timur Dekat kuno itu,” kata Magness.

Baik Cline maupun Magness mengatakan, bahkan jika artefak dari Kapal Nuh telah atau akan ditemukan, penemuan itu sulit untuk disangkutpautkan dengan peristiwa sejarah.

“Kami tidak memiliki cara untuk menempatkan Nuh dan air bah dalam ruang dan waktu,” kata Magness. “Satu-satunya cara untuk menentukannya adalah memiliki prasasti kuno yang autentik,” walau nyatanya prasasti semacam itu dapat merujuk pada “Nuh” atau “air bah” yang lain.

Namun, perdebatan itu tidak akan menghentikan arkeologi semu (pseudoarchaeology) yang menjunjung tinggi Alkitab sebagai kebenaran mutlak. Pencarian Kapal Nuh yang sia-sia sering disejajarkan dengan penganut kreasionisme Bumi muda, yakni keyakinan bahwa Bumi baru berusia ribuan tahun. Walau faktanya, sudah ada sejumlah bukti yang bertentangan.

Bukti yang Sama, Kesimpulan yang sangat Berbeda

Kelompok-kelompok kreasionisme menggunakan bukti arkeologis sekuler untuk memperkuat interpretasi harfiah mereka terhadap Alkitab, kemudian berusaha menyangkal bukti yang bertentangan. Namun, tidak semuanya seperti itu.

Answers In Genesis, sebuah organisasi apologetika Kristen pengelola taman hiburan Kapal Nuh di Kentucky, mengakui kemungkinan kisah Kapal Nuh hanyalah mitos dan bahteranya tidak akan pernah bisa ditemukan.

“Kami tidak memaksakan kalau Kapal Nuh bisa ditemukan setelah 4.350 tahun lamanya,” kata Andrew A. Snelling, ahli geologi dan Direktur Riset Answers in Genesis yang telah menghabiskan puluhan tahun mencoba membuktikan Bumi muda.

Bagi Magness, yang saat ini memimpin penggalian di sinagoge Romawi akhir di Galilea, pencarian Bahtera Nuh tidak hanya membingungkan publik, tetapi juga mengurangi gairah tentang penemuan arkeologi yang sebenarnya, bahkan yang mendukung bagian-bagian Alkitab seperti keberadaan rumah Daud.

“Kami tahu banyak tentang dunia Alkitab, dan itu sangat menarik,” katanya.

Meluruskan Catatan

Masalah lainnya, kata Cline, publik memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap disiplin arkeologi. Media populer lebih menyoroti sensasi penemuan arkeologis daripada proses kerja arkeolog yang panjang. “Kami tidak seperti Indiana Jones,” katanya. “Arkeologi adalah prosedur ilmiah, melelahkan. Terlebih, hal yang menggairahkan bagi kita belum tentu menggairahkan bagi orang lain.”

Di masa mudanya, Cline menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menyangkal bahwa Alkitab lebih banyak memikat publik dari tahun ke tahun. Namun kini, ia hanya fokus melakukan ekspedisi dan membagikan hasil penelitian untuk mereka yang bisa menerima proses ilmiah. “Orang-orang akan percaya apa yang ingin mereka percayai.”

Cline tengah fokus menemukan sesuatu di Istana Kanaan, Tel Kabri dari abad ke-18 SM (saat ini Israel Utara). Ia akan melanjutkan penggalian lantai plester berlukisan di situs yang disebut dalam Alkitab Perjanjian Lama. “Bagi kami, lantai itu sangat penting karena menunjukkan hubungan dan kontak internasional hampir 4.000 tahun yang lalu,” katanya.

“Ini bukan Bahtera Nuh, melainkan hanya lantai yang dicat,” tambah arkeolog itu, “Cukup bagus bagiku.”

NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM 

Pilihan Editor: China Balik Tuding Balon Mata-mata AS Gentayangan di Atas Xinjiang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus