Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 80 perempuan berjilbab berdemonstrasi di depan gedung parlemen di Den Haag, akhir November lalu. Beberapa dari mereka memakai burka, pakaian longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali mata. Mereka memprotes keputusan kabinet Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, yang memasukkan rancangan undang-undang tentang pelarangan orang berpenutup wajah di gedung publik dan semipublik.
Sejak serangan teroris 11 September 2001 di New York, dan pembunuhan sutradara film yang mengkritik Islam, Theo van Gogh, pada 2004, sikap rakyat Belanda terhadap penduduk muslim berubah. Sebagai negara di Eropa yang semula paling toleran terhadap pendatang, termasuk imigran muslim dari Afrika Utara—1 juta dari 16,3 juta populasi Belanda adalah muslim—Belanda berpotensi menjadi negara paling ”tidak bersahabat” terhadap Islam. Terbukti, partai ultrakanan, Partai untuk Kebebasan, yang dulu tidak dianggap penting, mendapat sembilan kursi parlemen dalam pe-milihan umum, akhir November lalu.
Kepada wartawan Tempo di Yogyakarta, Raihul Fadjri dan Syaiful Amin, Menteri Luar Negeri Belanda Dr Bernard Rudolf Bot menjelaskan kondisi di Negara Kincir Angin, Senin pekan silam. Bot terlihat sangat antusias. Maklum, ayah tiga anak ini punya kedekatan khusus dengan Indonesia, karena dia lahir di Jakarta, 69 tahun silam. Sejak menjadi menteri luar negeri pada Desember 2003, Bot sudah empat kali mengunjungi Indonesia.
Dengan adanya RUU yang melarang burka, apakah berarti pemerintah mendiskriminasi warga muslim di Belanda?
Kami tidak melawan agama mana pun. Apa pun yang menutup wajah—tidak hanya kerudung—akan menyulitkan identifikasi wajah seseorang di bangunan publik ataupun semi publik. Itu yang dilarang. Tak ada hubungannya dengan burka.
Misalnya Anda menunjukkan paspor dan Anda mengenakan burka. Itu akan menyulitkan identifikasi. Jadi, burka boleh dikenakan di jalan-jalan tapi tidak di bangunan publik atau semipublik. Memakai helm atau penutup wajah apa pun juga dilarang. Jika mereka tak suka (peraturan itu), mereka bisa kembali ke negara asalnya.
Itulah mengapa pendatang muslim menilai RUU ini diskriminatif terhadap kepercayaan mereka.
Ini tak ada hubungannya dengan diskriminasi ajaran agama. Mereka boleh bersembahyang di masjid, membangun masjid, mereka bisa berjalan-jalan dengan kerudung. Hanya, demi keamanan publik, mohon wajah jangan ditutupi.
Apa komentar Anda tentang partai kanan yang sangat anti-imigran muslim, yang semula tidak penting, memperoleh sembilan kursi di parlemen?
(Sembilan) dari 150 kursi parlemen. Kami tak menyukai mereka, tapi itulah demokrasi. Mereka tak punya kekuatan, tak punya pengaruh dalam pemerintahan.
Menurut Anda, apakah rakyat Belanda kini takut terhadap Islam?
Itu pandangan salah. Saya pribadi melakukan apa pun untuk mengenyahkan pikiran itu. Islam adalah agama penuh kedamaian. Kami masyarakat Barat sepenuhnya terbuka dan bersimpati terhadap Islam.
Tapi ada perubahan pandangan masyarakat Belanda terhadap Islam?
Memang benar. Terlebih setelah 11 September, orang menjadi takut. Tapi kami mencoba menjelaskan, itu bukan ajaran Islam, melainkan perbuatan kelompok ekstrem.
Jadi, apakah masyarakat Belanda akan kembali toleran terhadap masyarakat muslim?
Saya kira mereka sudah menunjukkan toleransi. Mereka dapat mendirikan masjid di mana pun, mereka dapat mengenakan jilbab. Artinya, kami memberikan toleransi yang seharusnya. Saya tidak tahu bagaimana harus lebih toleran lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo