Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perdana Menteri Nuri Kamal al-Maliki mulai ”membebaskan” diri dari berbagai kekuatan yang menindih negerinya. Tiga setengah tahun, pemimpin nasional Irak ini jelas-jelas menyaksikan: Amerika Serikat dan sekutunya tidak mampu menyelesaikan—bahkan memperparah—persoalan dan kekerasan di Irak. Kini sudah saatnya Irak menentukan nasib sendiri.
Ia menyodorkan selembar resep, rahasia sukses tegaknya perdamaian di Irak. Pasukan Amerika (AS) harus ditarik secara bertahap, tapi ia mesti diberi wewenang yang lebih konkret terhadap angkatan bersenjata Irak. Satu lagi, Amerika harus memberikan jadwal pengunduran pasukannya dari Irak.
Maliki, langkahnya mendekati satu titik: rekonsiliasi. Pada Senin dan Selasa pekan lalu, ia mengundang para pemimpin pihak bertikai, termasuk bekas petinggi Partai Baath yang menjadi pengungsi politik di luar Irak. Sebelumnya, Maliki menyatakan akan menerima kembali anggota partai Saddam Hussein ke dalam lingkungan pemerintahan, angkatan bersenjata, dan kepolisian. ”Kecuali mereka yang tangannya berlumuran darah, akan menghadapi pengadilan,” kata Maliki. Keputusan ini jelas melawan ketetapan AS sejak pertengahan 2003, ketetapan yang melarang setiap anggota Baath kembali ke pemerintahan dan sebagai pegawai sektor publik.
Pertemuan dihadiri 300-an orang—dari kelompok Sunni, Baath, Syiah, dan Kurdi. Pertemuan pertama murni yang berangkat dari inisiatif pemerintah Irak ini akhirnya memang tak terlalu sukses. Pimpinan faksi terkuat Syiah yang memiliki milisi bersenjata tentara Mahdi, Muqtada al-Sadr, misalnya, tidak hadir. Padahal tokoh muda itu salah seorang pemimpin kelompok yang intens terlibat dalam kekerasan antarsekte, setelah masjid emas dan makam Imam al-Askari, di Samarra, dibom pada Februari lalu.
Tapi, paling tidak, itulah pertemuan yang memberikan sedikit harapan akan rekonsiliasi antarfaksi. Apalagi Maliki yakin, yang harus menyelesaikan masalah Irak, terutama konflik sektarian, adalah orang Irak sendiri. Untuk itulah Maliki yang Syiah dan Presiden Jalal Talabani yang Kurdi bergiat mengunjungi negara tetangga, termasuk Iran dan Suriah, untuk menjual idenya. Sebelumnya, inisiatif ini telah menghasilkan ”poros” Teheran-Bagdad-Damaskus—yang tidak disukai AS. Maliki juga ”berani” secara tiba-tiba menunda sehari pertemuannya dengan Presiden Bush di Amman, Yordania. Tampaknya, Maliki ingin berpesan kepada semua negara yang berkepentingan terhadap Irak agar tidak memperkeruh keadaan Irak.
Memang, jalan untuk membuktikan resepnya masih panjang dan berliku. Apalagi pemerintah AS pasti tidak akan tunduk pada skenario pemerintah Irak—atau pihak mana pun. Buktinya, pekan lalu Presiden Bush mengumumkan penambahan pasukan AS ke Irak. Kepada The Washington Post, Rabu lalu, Bush memerintahkan Menteri Pertahanan yang baru, Robert M. Gates, meningkatkan tekanan terhadap Irak. ”Kami beserta rakyat Amerika sudah mempersiapkan perang panjang melawan para teroris yang terus mengacau di Irak,” katanya. Bahkan Senat sudah menyetujui pengiriman 15 ribu sampai 30 ribu tentaranya hingga delapan bulan ke depan—saat ini ada sekitar 100 ribu tentara AS di Irak.
Kembali bergabungnya orang Baath ke lingkungan dalam pemerintahan tentunya bakal melahirkan rangkaian ketegangan baru di Irak. Tapi, paling tidak, semua ini murni usaha pemerintah Irak. Lagi pula, seperti menurut lembaga nonprofit di bidang penyelesaian konflik International Crisis Group (ICG), pemerintah AS sudah melakukan banyak kesalahan di Irak, termasuk menyingkirkan Baath.
Ahmad Taufik (The New Yorker, ICG, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo