Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi melanggar konstitusi bisa dianggap sebagai kemenangan pihak yang mengajukan gugatan uji materi UU Komisi Pemberantas Korupsi. Inilah mereka yang menyatakan diri sebagai korban dan minta sejumlah pasal dalam undang-undang itu dirontokkan.
Mulyana W. Kusumah
Dua hukuman dalam perkara berbeda ”dihadiahkan” Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kepada anggota Komisi Pemilihan Umum yang juga pakar kriminologi ini. Pertama, hukuman dua tahun tujuh bulan penjara karena menyuap Khairiansyah Salman, auditor Badan Pemeriksa Keuangan; kedua, hukuman satu tahun tiga bulan penjara karena kasus korupsi pengadaan kotak suara.
Pada 14 Juli 2006, Mulyana mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang KPK. Mulyana meminta Komisi Konstitusi membatalkan sejumlah kewenangan KPK, antara lain kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mulyana juga meminta wewenang KPK melakukan penyadapan dicabut.
Tarcisius Walla
Bekas Sekretaris Direktur Jenderal Hubungan Laut Departemen Perhubungan ini divonis tujuh tahun oleh Pengadilan Tipikor karena kasus korupsi pembangunan pelabuhan di Tual, Maluku Tenggara, senilai Rp 10,8 miliar. Di tingkat Mahkamah Agung, hukuman ini naik menjadi delapan tahun penjara.
Pada 14 Juli 2006, Tarcisius mengajukan gugatan uji materi atas asas retroaktif dan kewenangan penyadapan oleh KPK yang dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Nazaruddin Sjamsuddin
Ketua KPU ini dihukum tujuh tahun penjara plus denda Rp 300 juta oleh Pengadilan Tindakan Pidana Korupsi karena terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan negara Rp 5,03 miliar.
Pada 10 Agustus 2006, Nazaruddin dan anggota KPU lainnya, antara lain Ramlan Surbakti dan Chusnul Mar’iyah, mengajukan permohonan uji materi atas sejumlah pasal UU KPK, antara lain soal kewenangan KPK melakukan penyadapan serta tidak adanya instrumen Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Mereka juga meminta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibubarkan karena bertentangan dengan konstitusi. LRB
Wajah Pengadilan Tipikor
Dasar Pembentukan
- Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 53-62.
- Keputusan Presiden RI Nomor 59 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
- Presiden Megawati mengesahkan sembilan hakim ad hoc tindak pidana korupsi untuk pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi pada 29 Juli 2004.
Komposisi Hakim
- 2 hakim karier
- 3 hakim ad hoc
Hukum Acara yang Dipakai
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Lama Persidangan
- Pengadilan tingkat pertama maksimal 90 hari kerja.
- Pengadilan tingkat banding maksimal 60 hari kerja.
- Pengadilan tingkat kasasi maksimal 90 hari kerja.
Kasus yang Ditangani
- Hingga November 2006, ada 89 kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari jumlah itu, 35 kasus dalam penyelidikan, 25 penyidikan, 18 penuntutan, dan 11 kasus sudah berkekuatan hukum tetap.
Inilah beberapa di antaranya:
Abdullah Puteh Bekas Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
- Kasus korupsi pengadaan helikopter MI-2.
- Pada 11 April 2005 Pengadilan Tipikor memvonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Pengadilan Tinggi Tipikor memvonis 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
Daan Dimara Anggota Komisi Pemilihan Umum
- Kasus korupsi pengadaan segel surat suara Pemilu 2004.
- Majelis Hakim Tipikor, 15 September 2006, menjatuhkan hukuman empat tahun penjara.
Rusadi Kantaprawira, Anggota Komisi Pemilihan Umum
- Kasus korupsi pengadaan tinta dalam pemilu legislatif 2004.
- Hakim Tipikor, 17 Februari 2006, menjatuhkan vonis empat tahun penjara.
Hamdani AminKepala Biro Keuangan KPU
- Kasus korupsi pengadaan asuransi.
- Hakim Tipikor, 2 Desember 2005, memvonisnya empat tahun penjara. Hakim banding mengganjarnya dengan lima tahun penjara, dan menjadi enam tahun penjara di tingkat kasasi.
- Pada 13 Desember lalu, Hamdani meninggal di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Harini Wijoso Kuasa Hukum Probosutedjo
- Kasus dugaan suap di Mahkamah Agung.
- Hakim Pengadilan Tipikor, 30 Juni 2006, memvonisnya dengan empat tahun penjara.
Untung Sastrawijaya Direktur PT Royal Standard
- Kasus korupsi pencetakan segel surat suara Pemilu 2004.
- Hakim Pengadilan Tipikor, 15 September 2006, memvonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
AKP Supratman Penyidik KPK
- Ia terbukti memeras saksi kasus PT Inti Industri Sandang Nusantara.
- Majelis Hakim Tipikor, 7 September 2006, memvonisnya 8 tahun penjara.
Kuntjoro Hendrartono Direktur Utama PT Industri Sandang Nusantara
- Kasus penjualan aset negara berupa tanah seluas 25,9 hektare milik PT Industri Sandang Nusantara.
- Hakim Pengadilan Tipikor, 16 Maret 2006, memvonisnya delapan tahun penjara.
Theo F. ToemionKepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
- Kasus dugaan korupsi dalam program tahun investasi Indonesia 2003 dan 2004.
- Hakim Pengadilan Tipikor, 25 Agustus 2006, memvonisnya enam tahun penjara.
Erick Hikmat Setiawan Mantan Konsul Jenderal RI di Penang, Malaysia
- Kasus korupsi biaya pelayanan dokumen keimigrasian.
- Hakim Pengadilan Tipikor, 29 September lalu, memvonisnya 20 bulan penjara.
M. Khusnul Yakin Payapo Bekas Kepala Sub-Bidang Imigrasi Konjen RI Penang, Malaysia
- Kasus korupsi biaya pelayanan dokumen keimigrasian.
- Hakim Tipikor, dalam sidang 2 Oktober lalu, mengganjarnya dengan dua tahun lima bulan penjara.
Suwarna Gubernur Kalimantan Timur
- Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan sejuta hektare dan penerbitan izin pemanfaatan kayu di Berau, Kalimantan Timur.
- Dalam proses persidangan.
Sejumlah Kritik untuk Pengadilan Tipikor
- Batas waktu 90 hari untuk memutuskan perkara dalam pengadilan tingkat pertama, 60 hari untuk pengadilan tingkat banding, dan 90 hari untuk kasasi menyebabkan hakim seperti ”mengejar setoran”. Dalam pengadilan biasa, persidangan bisa sampai enam bulan.
- Dalam sidang, ada kesan hakim ad hoc lebih bersemangat untuk memberantas korupsi, bukan mencari keadilan. Ini yang membuat hakim ad hoc kerap ”berbenturan” dengan hakim karier.
- Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai kerap mengabaikan hak terdakwa untuk penangguhan penahanan atau penahanan luar. Padahal, itu diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Abdul Manan. sumber: wawancara dan riset
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo