Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kisah Sardia, 24 tahun. Sebentar lagi ia mestinya bakal menyandang gelar sarjana. Sayang, ajal keburu menjemput mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran ini. Selasa dua pekan lalu, pemuda ini pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan teman-teman dan sebundel tugas akhir yang sedikit lagi rampung.
Kisah Sardia bermula setahun yang lalu. Dia kerap mengeluh tak enak badan. ”Waktu itu sempat dikira demam berdarah. Gejalanya mirip,” ujar Muradi, sang kakak. Kadar trombosit dan sel darah putih (leukosit) Sardia merosot drastis. Rawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, tak juga membuat kondisinya membaik.
Akhir November 2005, contoh jaringan sumsum tulang belakang Sardia diambil. Saat itulah baru diketahui almarhum mengidap anemia aplastik. Diagnosis ini sempat membikin Muradi dan keluarga keheranan. Soalnya, ”Selama ini dia jarang sakit. Paling-paling pusing dan mencret,” katanya. Memang, Muradi mengakui, gaya hidup si adik yang anak kos itu jauh dari sehat, gemar merokok dan sering lupa makan.
Gejala kurang darah atau anemia, secara umum, sering diabaikan. Lemas, pusing, dan gampang lelah kerap dianggap biasa. Padahal, kalau dibiarkan berlarut-larut, kondisi ini bisa mengundang penyakit lain yang berbahaya. Masalah inilah yang dibahas dalam seminar tentang anemia di aula Gereja Katolik Santa Monica, Bumi Serpong Damai, Tangerang, Sabtu dua pekan lalu.
”Fungsi darah sangat penting,” kata dokter Angela N. Abidin dari Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta. Cairan inilah yang berperan bagi daya hidup. Dia mengangkut nutrisi dan oksigen ke segenap organ dan sel tubuh, termasuk otak. Nah, jika jumlah darah yang beredar menyusut, akan terjadi penurunan fungsi organ.
Ada beberapa jenis anemia, tergantung penyebabnya. Ada yang dipicu oleh kekurangan zat besi dan asam folat. Jenis yang lain lagi adalah anemia aplastik, seperti yang dialami Sardia. Model anemia yang ini muncul karena adanya gangguan pada pabrik sel darah merah, yakni sumsum tulang belakang (bone marrow).
Tentu saja anemia aplastik berdampak serius. Penanganannya tak bisa dengan sekadar menambah pasokan nutrisi. ”Soalnya, kan, pabriknya yang terganggu,” kata Dr dr Abidin Widjanarko, ahli hematologi di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.
Abidin menjelaskan, anemia aplastik tergolong kelainan langka. Di Amerika Serikat saban tahun ada 500-1.000 orang terkena penyakit ini. Di Indonesia, seperti biasa, data memadai tentang kasus ini belum ada. Namun, para ahli menduga kasus ini akan kian sering terjadi mengingat obat-obatan dan zat kimia kini menggempur kehidupan masyarakat modern.
Ihwal penyebab macetnya pabrik darah belum terang-benderang. Yang jelas, menurut Abidin, pasien mengalami gangguan sistem imunologi atau kekebalan tubuh. Konsumsi obat-obatan dalam jangka panjang, serangan virus, lingkungan buruk, juga kelewat sering terpapar zat kimia, bisa menjadi pemicu kekacauan pabrik darah. Indikasi awalnya, pada saat pemeriksaan jaringan tepi, akan terlihat jumlah hemoglobin, leukosit, dan trombosit kurang dari normal.
Alternatif terapi penyakit ini tidak terlalu banyak. Pada tahap ringan, dokter akan menangani gangguan imunologi dengan pemberian obat-obatan antilimfosit globulin (ATG/ALG), siklosporin-A, peningkat daya tahan tubuh lainnya. Dengan cara ini, gangguan imunologi pada sel induk bisa diatasi sehingga pabrik darah kembali berproduksi normal. Namun, kata Abidin, ”Cara ini hanya efektif pada pasien anemia aplastik tahap ringan dan sedang.”
Untuk tingkat berat, terapi anemia aplastik lebih terbatas lagi. ”Transfusi darah rutin seumur hidup,” kata Abidin. Frekuensinya bisa bertambah kerap seiring dengan makin menurunnya fungsi pabrik darah.
Itu pula yang dialami Sardia. Mulanya ia ditransfusi darah dua minggu sekali. Memasuki bulan keenam, pasokan darah meningkat hingga enam kali dalam sebulan. ”Malah,” kata Muradi, ”tiga bulan terakhir sebelum meninggal, dia harus transfusi darah setiap tiga hari, minimal 10 kantong darah.” Menurut Muradi, biaya yang melayang telah lebih dari Rp 500 juta. Tapi, apa daya, nyawa Sardia tak bisa tertolong.
Pengalaman Winwin Dinarti, 56 tahun, lain lagi. Ibu tiga anak yang tinggal di Depok ini divonis mengidap anemia aplastik pada September 1999. Sejak itu, saban bulan dia harus menginap di rumah sakit untuk mendapat pasokan darah. Jika meleset beberapa hari dari jadwal transfusi, tanggal 20 setiap bulan, tubuhnya langsung sempoyongan. ”Jalan sedikit saja kaki sudah lemas, muka pucat, jantung berdebar-debar. Mau pingsan,” katanya. Pernah kadar hemoglobinnya (Hb) mencapai 3 gram per desiliter, padahal angka normal mestinya 13-16 gram per desiliter darah.
Nah, begitu pasokan darah segar mengalir di tubuh, Winwin langsung segar-bugar. ”Seperti baterai habis di-charge,” katanya. Pulang dari rumah sakit pun dia bisa melenggang laiknya orang normal. Nasib Winwin memang lebih baik dari Sardia. Dia telah memeriksakan diri ke dokter sebelum penyakitnya terlampau parah.
Sayangnya, pengidap anemia aplastik biasanya baru tergerak mengunjungi dokter ketika penyakit sampai pada tahap berat. Di Jakarta, misalnya, 10 dari 50 pasien anemia aplastik telah memasuki stadium berat. Pasien tahap ringan dan sedang biasanya cenderung abai. Maklum, tak ada gangguan fisik berarti pada tahap ini. Paling hanya letih-lemah-lesu. Padahal, seiring dengan perjalanan waktu—biasanya tak sampai lima tahun—tubuh mulai kepayahan. Pada saat inilah mulai timbul bercak-bercak di kulit, perdarahan di gusi, dan tubuh gampang terkena aneka rupa infeksi.
Pada kasus Sardia, menurut Dr Abidin Widjanarko, anemia aplastik yang terjadi juga sudah memasuki stadium berat. Sulit disembuhkan. ”Tak sedikit yang cuma sanggup bertahan hidup kurang dari satu tahun,” kata Abidin. Kematian terjadi lantaran sel darah merah berkurang drastis, infeksi, atau perdarahan parah. Jumlah trombosit yang amat rendah membuat seseorang gampang mengalami perdarahan spontan. Yang fatal bila perdarahan terjadi di dalam otak. ”Tak bisa ditolong lagi,” Abidin menjelaskan.
Sebenarnya, ada jurus jitu untuk menolong pasien anemia aplastik kelas berat. ”Pencangkokan sumsum tulang belakang,” kata Abidin. Sayang, langkah ini amat sulit. Selain biaya-nya masih selangit, tak kurang dari Rp 800 juta, orang yang cocok sebagai donor sumsum tulang sangat susah dicari.
Nah, mengingat pengobatan anemia aplastik cukup rumit, tentu langkah pencegahan jauh lebih baik. Benar, penyebab pasti penyakit ini belum diketahui secara gamblang. Namun, paling tidak, penyakit ini bisa dicegah dengan sebisa mungkin menghindari serangkaian faktor pencetusnya, antara lain obat-obatan, radiasi, paparan zat kimia, dan sebagainya.
Langkah penting lagi, jangan abaikan gejala yang mengarah pada ane-mia, seringan apa pun. Lelah, lesu, gampang pusing, patut dicurigai. ”Jangan tunda cek darah ke laboratorium,” Abidin memberi saran.
Apabila diagnosis anemia aplastik sudah jatuh, jangan pula panik. ”Kecemasan justru memperparah penyakit,” kata Winwin. Memang, sempat dia meratapi nasib sebelum akhirnya memilih bersikap optimistis memandang hidup.
Kendati demikian, Winwin tak bisa menyembunyikan rasa cemas. ”Terutama kalau mendekati saat transfusi,” katanya. Selain ongkos yang terus membengkak, prosedur transfusi sering berbelit-belit dan memusingkan. Kadang tak ada persediaan darah, tak jarang pula kamar rumah sakit tak tersedia. Kata Winwin, ”Saya memimpikan ada tempat yang khusus melayani orang-orang yang butuh transfusi rutin seperti saya.”
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo