Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGDAD - Kendaraan-kendaraan Humvee yang tidak bersenjata menderu di perbatasan Kuwait-Irak. Mereka disiapkan untuk misi menemukan senjata pemusnah massal, yang ternyata tak pernah ada. Brandon Friedman, yang saat itu seorang perwira Angkatan Darat, membuka jurnalnya yang telah berusia 16 tahun pada Rabu lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setelah gelap, kami mendengarkan rudal jelajah terbang di atas kepala," begitu dia menuliskan pada 20 Maret 2003.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasukan Amerika menyerbu ibu kota kurang dari dua pekan kemudian. Bagdad jatuh. Dan kemudian, sebuah kesadaran menyebar luas di antara pasukan Negeri Abang Sam yang bertugas menjaga Bagdad. "Dalam beberapa hari itu jelas tidak ada senjata pemusnah massal," kata Friedman. "Secara pribadi, saya merasa dimanfaatkan."
Perasaan Friedman itu kembali muncul dalam peringatan 16 tahun invasi koalisi Amerika Serikat ke Irak. Apalagi setelah juru bicara Presiden George W. Bush dari Januari 2001 hingga Juli 2003, Ari Fleischer, menulis sebuah utas panjang yang membela perang ilegal rezim tersebut.
Dalam monolog berisi 22 cuitan pada Selasa malam waktu setempat, Fleischer menyebut rezim Bush tidak berbohong soal senjata pemusnah massal yang menjadi alasan penyerbuan ke Irak. "Bush berbohong adalah mitos. Dan mitos ini memiliki implikasi besar," ujar Fleischer. "Saya ingin meluruskannya."
Seperti yang dia lakukan sebelumnya, Fleischer mengakui "kegagalan intelijen utama" yang menyebabkan kepercayaan yang keliru bahwa Saddam Hussein memiliki senjata tersebut. Tapi fokusnya terhadap citra Bush, daripada warisan perang berupa tewasnya ratusan ribu warga sipil Irak dan berkembangnya kelompok teror Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), memicu kemarahan banyak pihak.
"Jika saya Ari Fleischer, ini bukan hari yang akan saya pilih untuk mengatakan sesuatu," tutur Friedman. "Saya akan mencoba menghormati para korban, mengingat peran yang saya mainkan untuk memulai perang."
Andrew Exum, bekas ranger Angkatan Darat yang bertugas di Irak dan Afganistan, juga mengecam Fleischer. "Di satu sisi ada 4.500 nyawa orang Amerika dan 100 ribu lebih nyawa warga Irak yang hilang, serta US$ 800 miliar biaya perang yang bisa digunakan untuk sekolah, perawatan kesehatan, dan infrastruktur," demikian Exum, yang juga bertugas di Pentagon selama pemerintahan Obama, menulis di Twitter. "Tapi, di sisi lain, ada orang-orang yang terluka perasaannya (karena disebut pembohong)."
Selain cuitan Fleischer, publik Amerika dan Irak geram karena sejumlah tokoh arsitek Perang Irak justru memperoleh kedudukan terhormat baik di pemerintahan Presiden Donald Trump maupun di institusi lainnya. Tokoh-tokoh yang bertanggung jawab itu pun disebut dalam sebuah utas oleh editor senior laman The Intercept, Peter Maas, pada Rabu lalu.
"Pada 2002, John Bolton adalah pejabat senior pengelolaan senjata pemerintahan Bush. Ia menyebut Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Ia kini penasihat keamanan nasional Trump."
Laporan laman The Intercept setahun silam menunjukkan Bolton mengancam Direktur Jenderal Organisasi Larangan Senjata Kimia (OPCW) setahun sebelum invasi Irak, Jose Bustani, agar mundur. Upaya itu dilakukan karena Bustani berhasil memperoleh persetujuan Saddam untuk menyelidiki Irak, langkah yang menyulitkan Washington untuk menggulingkan sang diktator.
Tokoh penting lain yang disebut Maas adalah Elliot Abrams, yang telah memprovokasi invasi ke Irak sejak 1990-an dan menjadi tokoh berpengaruh dalam rezim Bush saat invasi terjadi. Abrams, yang sempat bertengkar dengan anggota DPR Ilhan Omar atas perannya dalam pembantaian Amerika Tengah saat sidang dengar pendapat di Kongres bulan lalu, kini menjadi utusan khusus Amerika Serikat untuk Venezuela.
Perempuan yang juga terlibat dalam perang ilegal di Irak dalam catatan Maas adalah Condoleeza Rice. Penasihat keamanan nasional Bush itu pada 2003 menulis sebuah artikel di harian The New York Times berjudul "Mengapa Kami Mengetahui Irak Berbohong". "Rice kini menjadi profesor di Stanford dan memperoleh bayaran US$ 100 ribu untuk sekali pidato."
Ada pula Paul Wolfowitz, bekas petinggi Pentagon, yang mengatakan kepada Kongres pada 2003 bahwa Irak dapat membiayai rekonstruksi pasca-perang sendiri. Menurut studi Biaya Perang, Perang Irak membebani pembayar pajak Amerika sekitar US$ 2 triliun pada 2013. Pada 2005, Wolfowitz diangkat menjadi Direktur Bank Dunia.
"Mereka belum hancur. Mereka masih bersama kita dan memberi tahu apa yang harus kita lakukan," kata Maas. MERCURY NEWS | THE WASHINGTON POST | VOX | THE INTERCEPT | SITA PLANASARI AQUADINI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo