Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Satu Langkah Lagi, Trump

Partai Demokrat, yang menguasai Dewan Perwakilan Rakyat, mendakwa Donald Trump dengan pasal penyalahgunaan kekuasaan dan penghalangan Kongres. Diyakini lolos di DPR, tapi bisa rontok di Senat.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUA Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat Nancy Pelosi memasuki ruang konferensi pers di gedung Capitol Hill, Washington, DC, Selasa, 10 Desember lalu. Di belakangnya, menyusul enam ketua komite DPR dari Partai Demokrat yang selama ini memimpin sejumlah penyelidikan terhadap Presiden Donald Trump.

Hari itu, Dewan secara resmi menyampaikan pemakzulan terhadap Trump. “Hari ini, untuk melayani tugas kami terhadap konstitusi dan negara, Komite Kehakiman menyampaikan dua pasal dakwaan pemakzulan terhadap Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump karena kejahatan tinggi dan pelanggaran ringan,” kata Ketua Komite Kehakiman DPR Jerrold Nadler.

Pengumuman itu menandai pengajuan resmi dua pasal dakwaan pemakzulan terhadap Trump. Ia menjadi presiden keempat dalam sejarah Amerika yang menghadapi pemakzulan. Tiga presiden sebelumnya adalah Andrew Johnson (1865-1869), Richard M. Nixon (1969-1974) dan Bill Clinton (1993-2001). Johnson dan Clinton didakwa, tapi lolos dari pemakzulan. Nixon mundur sebelum resmi didakwa. Trump menuding upaya Demokrat itu sebagai “kegilaan politik”.

Rencana pemakzulan mulai menjadi pembicaraan saat penyelidik khusus Biro Penyelidik Federal (FBI), Robert Mueller III, menginvestigasi dugaan intervensi Rusia dalam pemilihan umum yang dimenangi Trump pada 2016. Penyelidikan itu tak hanya menghasilkan laporan soal campur tangan Rusia, tapi juga menyeret sejumlah orang dekat Trump ke pengadilan. Saat DPR memeriksa kasus Rusia ini, muncullah “skandal Ukraina”.

Pemicunya adalah adanya pengaduan dari komunitas intelijen kepada Inspektur Jenderal Direktorat Intelijen Nasional pada 12 Agustus lalu. Direktorat ini adalah badan yang mengkoordinasi semua lembaga intelijen Amerika, termasuk Badan Intelijen Pusat (CIA) dan Badan Keamanan Nasional (NSA). Sumber itu menyatakan adanya upaya Trump menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan politik.

Indikasi itu muncul dari sejumlah upaya Trump menekan Ukraina agar menyelidiki kasus dugaan korupsi di perusahaan minyak negara tersebut, Burisma, yang salah satu pengurusnya adalah Hunter Biden. Hunter anak mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Joe Biden. Belum ada bukti Hunter dan Joe Biden terlibat dalam korupsi di perusahaan itu.

Sebelum kasus itu dibuka ke publik, New York Times edisi 1 Mei 2019 mengungkap upaya Trump. Salah satunya melalui pengacaranya, Rudolph W. Giuliani, yang mendesak Ukraina mempublikasikan dan bahkan mendorong penyelidikan kasus Burisma. Saat itu Trump gusar karena kemungkinan menghadapi Joe Biden dalam pemilihan presiden 2020. Giuliani adalah pengacara Trump dalam kasus yang diselidiki Robert Mueller.

Trump juga menelepon Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 26 Juli lalu. Dalam percakapan, Trump meminta koleganya itu menyelidiki kasus Hunter Biden. Pada hari yang sama, Perwakilan Khusus Amerika Serikat untuk Negosiasi Ukraina, Kurt Volker, yang didampingi Duta Besar Amerika untuk Uni Eropa, Gordon Sondland, bertemu dengan Zelensky serta tokoh politik Ukraina lain dan menasihati mereka tentang cara melayani permintaan Trump itu.

Trump juga menangguhkan pengiriman bantuan kepada Ukraina senilai US$ 250 juta. Waktu penangguhan belum jelas, apakah Juni atau Agustus. Padahal bantuan yang sudah disetujui Kongres Amerika tersebut dimaksudkan untuk membantu Zelensky memerangi gerakan separatis pro-Rusia di Ukraina timur.

Saat kasus ini dibuka pada 9 September lalu, tiga komite DPR meminta informasi tentang transkrip percakapan telepon Trump dan Zelensky. Gedung Putih akhirnya menyerahkan transkrip itu tapi Trump membantah menekan Ukraina dalam kasus Biden.

Nancy Pelosi menilai apa yang dilakukan Trump dalam kasus Ukraina ini jelas merupakan pelanggaran terhadap sumpahnya, yaitu menempatkan kepentingan Amerika di atas kepentingan pribadi atau kepentingan politik. Soal Ukraina inilah yang kemudian mengubah keyakinan Pelosi, yang selama ini enggan mendorong pemakzulan terhadap Trump.

Kasus Ukraina ini ditangani Komisi Kehakiman DPR, yang dipimpin Jerrold Nadler. Sejak September lalu Komite memeriksa sejumlah saksi, tapi Gedung Putih menghalangi beberapa orangnya memberikan keterangan. Sikap yang sama ditunjukkan Gedung Putih saat Komite Intelijen DPR menyelidiki kasus dugaan campur tangan Rusia dalam pemilihan umum 2016. Hasil pemeriksaan itulah yang membuat Partai Demokrat, yang menguasai Komite Kehakiman DPR, sampai pada kesimpulan bahwa Trump layak dimakzulkan.

Dalam konferensi pers, Selasa, 10 Desember lalu, Nadler menyampaikan dua pasal dakwaan pemakzulan terhadap Trump. Demokrat menilai yang dilakukan Trump dengan menekan Ukraina agar menyelidiki kasus yang melibatkan keluarga Joe Biden dan menahan bantuan kepada Ukraina sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

“Itu merusak keamanan nasional kita, merusak integritas pemilihan berikutnya, dan melanggar sumpahnya kepada rakyat Amerika,” ucap Nadler. Sikap Trump yang melarang pejabatnya bersaksi di depan Komite Kehakiman DPR dan tak memberikan sejumlah dokumen yang diminta dikategorikan Demokrat sebagai upaya menghalangi tugas Kongres.

Partai Republik menuding pemakzulan ini sebagai upaya Demokrat menjegal Trump dalam pemilihan presiden mendatang. Pelosi membantahnya. “Ini pelanggaran yang sangat serius terhadap konstitusi kita, merusak keamanan nasional Amerika Serikat, dan membahayakan integritas pemilihan umum kita.”

ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, CNN, GUARDIAN, POLITICO)?

Proses Pemakzulan Trump

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus