Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Taktik Klandestin Mantan Ajudan

Terpilihnya Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal disebut-sebut karena kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo. Dia kerap menjadi utusan Jokowi untuk meredam berbagai konflik. Sempat ditolak memimpin wilayah karena beragama Katolik, Sigit justru mampu merangkul para ulama.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKITAR tiga ribu ulama dari Majelis Pondok Pesantren Salafiyah se-Banten berkumpul di Kampung Petir, Kecamatan Petir, Serang, Banten, pertengahan November lalu. Agenda persamuhan itu sebenarnya adalah istigasah. Namun kabar pencalonan Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo, mantan Kepala Kepolisian Daerah Banten, sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI justru menjadi perbincangan di antara para ulama.

Seusai pertemuan, para kiai menyampaikan dukungan kepada Inspektur Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, yang juga hadir di tempat itu. “Beliau bisa merangkul semua kalangan,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Kiai Haji -Matin Syarko-wi, saat dihubungi Tempo pada Rabu, 11 Desember lalu.

Wacana Sigit memimpin Bareskrim mencuat ketika posisi kepala badan itu ditinggalkan Jenderal Idham Azis, yang menjadi Kepala Polri. Idham, lulusan Akademi Kepolisian tahun 1989, memimpin Korps Tribrata yang lowong setelah Tito Karnavian dilantik sebagai Menteri Dalam Negeri. Tiga perwira tinggi di kepolisian bercerita, nama Sigit sebenarnya telah diputuskan menjadi pemimpin prajurit reserse pada awal November lalu. Posisi ini tak segera diumumkan, kata seorang jenderal, untuk melihat reaksi kalangan internal.

Sigit, lulusan Akademi Kepolisian 1991, meloncati para seniornya, lulusan 1989 dan 1990. Para petinggi polisi yang sama bercerita, penunjukan Sigit tak lepas dari kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo. Sigit membenarkan ada resistansi di kepolisian atas penunjukan dirinya. “Suka atau tidak suka, pasti ada. Tapi saya tak mau berpolemik soal ini,” ucap Sigit ketika ditemui Tempo di kantornya, Jumat, 13 Desember lalu.

Sigit mengaku sempat dihubungi pihak Istana sebelum ditunjuk sebagai Kepala Bareskrim. Namun dia tak bersedia menyebutkan identitas pejabat Istana tersebut. “Pak Kapolri yang banyak tahu,” kata Si-git. Dimintai tanggapan soal penunjukan Sigit dan kedekatannya dengan Jokowi, juru bicara Istana, Fadjroel Rachman, menyatakan tak mengetahui informasi tersebut.

Adapun Kepala Divisi Hubungan Masya-ra-kat Polri Inspektur Jenderal -Muhammad Iqbal mengatakan penunjukan Kepala Ba-reskrim merupakan hak prerogatif Kepala Polri. Namun Iqbal, yang satu angkatan dengan Sigit, mengatakan koleganya itu meme-nuhi syarat diangkat memimpin -pasuk-an reserse. “Beliau polisi berprestasi,” ujar-nya.

•••

KEDEKATAN Listyo Sigit Prabowo dengan Joko Widodo terentang sejak 2011. Kala itu, Jokowi memimpin Kota Solo untuk periode kedua. Sedangkan Sigit baru saja naik pangkat sebagai komisaris besar dan ditugasi menjadi Kepala Kepolisian Resor Kota Solo. Sebelumnya, dia mengepalai Polresta Semarang dengan pangkat ajun komisaris besar.

Lima bulan setelah Sigit dilantik, bom bunuh diri meledak di halaman Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton, Solo, pada Ahad siang, 25 September 2011. Padahal, tiga hari kemudian, Solo menjadi tuan rumah Asian Parliamentary Assembly atau Majelis Parlemen Asia. Pada periode yang sama, Jokowi sedang gencar mengkampa-nyekan daerahnya sebagai kota wisata. “Ka-mi akan membuktikan Solo aman,” ucapnya saat itu.

Kunjungan silaturahmi kiai dan ulama pondok pesantren wilayah Banten dan Jawa Barat di Istana Negara, Jakarta Pusat, 10 November 2016./TEMPO/Subekti

Menurut Sigit, ledakan ikut membuat cemas para wisatawan yang ingin pelesiran di Solo. Dia pun menggaransi keamanan kepada wisatawan yang hadir di kota itu. Bertemu dengan Jokowi, Sigit juga menyatakan bakal mengamankan acara internasional di wilayahnya. “Kami sepakat, Solo tak boleh dipersepsikan sebagai kota mencekam.” Sigit merasa peristiwa itu ikut menambah kedekatannya dengan Jokowi.

Ketika Jokowi memenangi pemilihan presiden 2014, Sigit mengirimkan ucapan selamat. Percakapan singkat itu kemudian berujung pada tawaran lain, yakni menjadi ajudan presiden. Sigit saat itu berpangkat komisaris besar dan menjabat Direktur Kriminal Umum Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara. Dia tak serta-merta menerima tawaran Jokowi. Alasannya, kata Si-git, “Waktu itu sudah ada yang terpilih.”

Namun Jokowi tetap memintanya mengikuti ujian sebagai ajudan presiden. Sigit, yang sedang mendaftar Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri, akhirnya -mengikuti seleksi tersebut bersama tiga perwira me-nengah lain. Dalam proses itu, Sigit berte-mu dengan teman seangkatannya, Agus Sur-yonugroho, yang saat itu menjabat Kepala Bidang Hukum Polda Kalimantan Ti--mur. Keduanya juga sama-sama seangkatan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta pada 2006.

Ditemui Tempo pada Kamis pekan lalu, Komisaris Besar Agus Suryonugroho, yang kini menjabat Kepala -Subdirektorat Kece-lakaan Lalu Lintas Korps Lalu Lintas Polri, bercerita bahwa dia sempat menggoda sahabatnya itu. “Sudah, enggak usah ikut tes. Nanti juga pasti lulus,” ujar Agus, yang mengetahui kedekatan Sigit dengan Jokowi. Sigit, kata Agus, hanya tersenyum.

Adapun Sigit mengakui namanya tak terdaftar dalam seleksi pertama ajudan Jokowi. Saat itu, hasil seleksi sudah menetapkan seorang polisi yang juga berpangkat komisaris besar. Namun, dalam seleksi tahap kedua, ucapan Agus menjadi kenyataan. Sigit terpilih. Dia menjadi ajudan paling senior karena ajudan lain dari Tentara Nasional Indonesia berasal dari angkatan 1993.

Dua tahun menjadi ajudan Jokowi, Sigit dipromosikan menjadi Kepala Polda Ban-ten. Sebagai nonmuslim, penempatan Si-git itu ditolak sejumlah ulama dan pemimpin pondok pesantren. Mereka beralasan Banten adalah wilayah kesultanan yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fathaniyah, Matin Syarkowi, membenarkan penolakan tersebut.


 

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal mengatakan penunjukan Kepala Bareskrim merupakan hak prerogatif Kepala Polri.

 


 

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal/TEMPO/Hilman Fathurrahman W

Namun Sigit mampu merangkul para ulama yang menolaknya. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Majelis Dzikir Hubbul Wathon, Hery Heryanto Azumi, mengatakan Sigit rutin mengunjungi para kiai sepuh Banten. Ia pun rajin mengundang ulama muda ke rumah dinasnya. “Sekadar mengobrol saja, bisa soal bangsa dan negara,” ujar Hery, Jumat, 13 Desember lalu.

Sigit membenarkan jika disebut menda-tangi para ulama. “Saya siap menjadi pe-la-yan Bapak-bapak,” katanya, menceritakan percakapannya dengan tokoh muslim yang ditemuinya. Para ulama itu luluh dan berbalik mendukung Sigit. “Pemimpin kepolisian bisa dari agama apa saja,” ujar Ketua Majelis Ulama Kabupaten Tangerang saat itu, Uwes Nawawi.

Kala gelombang unjuk rasa menerpa Ibu Kota pada 2016—akibat Gubernur DKI Jakar-ta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, menyi-tir Surat Al-Maidah—Sigit ikut meredam gejolak di Banten. Dia mengimbau para ulama Banten agar tak mengirimkan massa berjumlah besar ke Jakarta. Bersama sejumlah ulama, Sigit menggelar istigasah saat demonstrasi besar 4 November 2016, dikenal sebagai “Aksi 411”.

Tak hanya bergerilya ke akar rumput, Sigit bahkan memboyong belasan ulama Banten ke Istana Presiden untuk bertemu dengan Jokowi. “Ada hambatan komunikasi yang membuat mereka tidak mengenal sosok Jokowi,” kata Sigit. Matin Syarko-wi, yang ikut dalam rombongan, mengatakan agenda pertemuan itu adalah -untuk mengetahui perkembangan kasus hukum yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Matin, tak semua ulama Banten ingin Ahok—panggilan Basuki—dipenjara. “Me--reka menganggap Ahok hanya salah ucap.”

Kedekatan Sigit dengan kelompok -Islam kembali diuji dalam persoalan pembebas-an pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Abu Bakar Ba’a-syir, yang menjadi terpidana kasus teroris-me. Ba’asyir divonis 15 tahun penjara kare-na pengadilan menyebutkan dia terlibat dalam pelatihan militer kelompok teroris di Aceh. Pertengahan Januari 2019, pemerintah berencana membebaskan Ba’asyir. Ma’ruf Amin, saat itu calon wakil presiden, beralasan Jokowi mempertimbangkan alasan kemanusiaan untuk membebaskan Ba’asyir.

Belakangan, pemerintah menarik-ulur pembebasan Ba’asyir. Padahal -pengurus Pesantren Al-Mukmin telah menyiapkan rencana penyambutan dengan -memasang tenda di halaman pondok dan menyedia-kan konsumsi untuk 1.600 orang.

Tak ingin situasi memburuk, Sigit—yang kala itu menjadi Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri—terbang langsung ke Surakarta. Dia menemui Direktur Pondok Pesantren Al-Mukmin, Kiai Haji Wahyudin—kini telah almarhum. “Saya berkomunikasi untuk menenangkan,” ujarnya. Lobi Sigit membuat potensi gejolak di kota itu luntur. Sigit mengaku dekat dengan peng-urus Al-Mukmin sejak bertugas sebagai Kepala Polres Kota Solo. Menurut dia, Solo ter-bilang daerah “keras” karena memiliki banyak laskar Islam.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Sunanto menilai Sigit cu--kup dekat dengan kelompok Islam. Menurut dia, Sigit kerap mengundang organi-sasi kemasyarakatan Islam makan bersama di kantornya. Dalam pertemuan itu, kata Sunanto, Sigit menyampaikan pemerintah tak antikritik. “Dia hanya berpesan supaya jangan anarkistis,” ujarnya. Sunanto ikut membela Sigit tatkala ada pengurus Muhammadiyah yang menolak dia menja-di Kepala Badan Reserse Kriminal karena nonmuslim. “Kabares-krim harus dipegang tokoh yang dekat dengan semua kalang-an.”

Kepercayaan Presiden Jokowi terhadap Si--git juga terlihat saat dia diutus mene-ngahi konflik dua calon Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dan Bambang Soesatyo. Pagi hari sebelum pembukaan Musyawarah Nasional Golkar, Selasa, 3 Desember lalu, Sigit hadir dalam sarapan pagi bersama kubu Airlangga dan Bambang di Restoran Le Quartier, Jakarta Selatan. Airlangga membenarkan kabar kehadiran Sigit meskipun, kata dia, “Kehadirannya tak signifikan.”

Sigit tersenyum ketika dimintai konfirmasi soal kehadirannya menjelang suksesi di partai beringin. “Pak Airlangga sudah bicara juga, kan?” Sigit mengaku kerap menjadi titik tengah di antara para pihak yang berkonflik. Dia, misalnya, menyelesaikan persoalan konflik antara suku Mandar dan Bugis di Kalijodo, Jakarta Utara, saat bertugas sebagai Kepala Polsek Tambora pada 2001. “Saya memang pekerja klandestin,” ucapnya.

Dua teman seangkatan Sigit menilai dia lebih sering bekerja dalam senyap. Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menilai rekannya itu sangat kalem. Sedangkan Komisaris Besar Agus Suryonugroho menilai Sigit pintar berstrategi. Adapun Sigit ketika ditanyai mengapa bisa mudah mendekati ulama mengatakan, “Kuncinya dialog. Itu untuk memastikan saya bukan orang yang berbahaya bagi mereka.”

WAYAN AGUS PURNOMO, AHMAD FAIZ (JAKARTA), AHMAD RAFIQ (SURAKARTA)

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus